Sesampainya di rumah, orang-orang sudah berkumpul dan jenazah mantan ibu mertua sudah akan berangkat di pembaringan terakhir. Tidak terkira perihnya hatiku ditinggalkan olehnya yang selalu menyanyangiku, meski aku hanyalah seorang menantu."Sayang, aku langsung ikut mereka, ya," ujar Hilman yang meletakkan tasnya sembaranagan dan berlari untuk ikut memanggul keranda mantan ibu mertuaku.Aku hanya bisa menghela napas panjang dan berlalu untuk menghampiri Mbak Naura yang terisak dan belum bisa merelakan kepergian ibunya. Aku hanya bisa memeluknya dengan erat, dan mengusap punggungnya."Mbak, Mas Attar sudah tahu jika ibu berpulang?" tanyaku padaMbak Naura yang masih terus terisak."Untuk apa anak durhaka itu diberitahu kepergian ibu!" ujarnya dengan intonasi tinggi.Aku tahu sakit hatinya Mbak Naura dan ibunya, tapi setidaknya kasih kesempatan Mas Attar, untuk meminta maaf untuk terakhir kalinya."udah, Mbak. Kasih bayi yang dikandungan Mbak Naura kalau terus menerus meratapi kepergian
Aku terperanjat, karena sadar jika yang membangunkanku adalah ibu. Arwah ibu masih bersama kami, dan aku tidak boleh berlarut dalam kesedihan. Begitu pula Mbak Naura, aku harus memberitahunya."Eh, Bang. Udah pulang?" sapaku, saat melihat Hilman yang sedang menggelar tikar di ruangan depaan."KIta mau pulang dulu?" tanya Hilman setelah menanggapipertanyaanku dengan anggukan kepala."Sebentar, aku pamit dulu ke Mbak Naura dan ingin memberi semangat untuknya. Aku tadi nyari ibu, tapi tidak kutemukan," ujarku pada Hilman dan tanggapi dengan senyuman.Aku langsung menuju kamar Mbak Naura, melihatnya tertidur pulas aku tidak sanggup membangunkannya. Sebaiknya aku menitipkan pesan pada Ustadz Idris dan menuliskan pesan singkat melalui WA."Ayo, Bang!" ajakku pada Hilman yang sedang duduk."Ngobrol apa cepat banget?" tanya Hilman.Aku hanya menanggapinya dengan senyuman dan menarik tangan Hilman, untuk segera keluar dan pulang ke rumah.Dalam perjalanan, aku lebih banyak diam. Memikirkan bag
"Kalian sedang bertengkar? Apa Hilman membuat kesalahan padamu?" tanya bapak dengan nada tinggi.Kelemahanku ada di lelaki yang bergelar ayah di hadapanku ini. Teramat takut kehilangan mereka yang mencintaiku, dan sangat menjagaku hingga saat ini."Enggak, Pak. Aku sangat mencintaiku suamiku ini, iya, kan sayang?" tanyaku pada Hilman dengan sedikit mencubit perutnya yang masih rata.Hilman dengan senang hati merangkulku dan memberikan sebuah ciuman di kening. Ibu yang tadi ada di dapur langsung mengernyitkan dahinya, saat melihat tingkah Hilman yang sangat romantis."Ada apa sih?" tanya ibu aneh."Anakmu sedang bertengkar dengan suaminya!" ketus bapak dan ditanggapi dengan kekehan oleh Hilman, mereka berdua seperti sedang mencemburuiku."Oya, ibu ingin membicarakan sesuatu pada kalian, tentang keinginan almarhumah mantan ibu mertuamu sebelum menghembuskan napas terakhirnya!" " ujar ibu.Aku pun berniat bertanya pada ibu dan bapak mengenai keinginanku mengunjungi Mas Attar yang sedang
"Bu, ini menyalahi hukum waris, aku tidak bisa menerimanya!" tegasku dan berharap bisa memusyawarahkan tentang hal ini dengan Mbak Naura, Ustad Idris yang lebih kompeten dalam hal ini, dan Juga Mas Attar yang seharusnya mendapat bagian harta dari almarhumah mantan ibu mertua."Kamu memang benar, tapi menurut ibu, harta yang diberikan untukmu adalah haknya Attar dan diberikan ke Aqila," ujar ibu dengan memegang dagunya,"Tapi Mas Attar mempunyai anak laki-laki dan dia lebih berhak atas harta Mas Attar dari pada Aqila," terangku dan ibu mengangguk, membenarkan ucapankuIbu membenarkan posisinya, lalu menyandarkan kepalanya di bahu ranjang. Menghela napas panjang dan berat, menatapku dengan pandangan kesal. Mungkin pikiran kami berbeda, karena aku tidak ingin memakan hak orang lain yang lebih berhak daripada aku dan Aqila."Bu, aku mau masak dulu, Hilman belum makan," ujarku lirih. "Nanti kita obrolin lagi ini bersama setelah makan.Aku beranjak dan keluar untuk menemui Hilman, kemudian
Lagi-lagi, ni tetangga mulutnya perlu dikasih pelajaran. Cukup kesal setiap mendengar ucapan yang terlontar dari mulutnya yang seperti bisa ular."Terus kenapa kalau kami enggak punya kendaraan?" tanyaku dengan santai, tapi berusaha menutup kekesalanku."Sok cantik!" ketus wanita yang tubuhnya sama gempalnya dengan diriku dulu."Aneh, dijawab malah ngatain orang, eh, tapi aku memang cantik loh, Mbak!" balasku tak kalah ketusnya. "Mbak, diet! Biar tambah cantik kayak aku!" ujarku dengan menyeringai puas, karena melihat tetanggaku itu sudah pias."Sssst!" Hilman menarik tanganku untuk melingkar di pinggangnya. Sebanrnya, aku sudah lama ingin membantah setiap ucapan wanita yang jadi biang gosip itu. Akan tetapi, selalu saja ada yang membelanya, bukan membela kekurang ajarannya, tapi lebih ke menjaga kewarasan sendiri. Ujar para tetangga yang tidak luput menjadi bahan gosipnya.Entahlah, kali ini aku sudah sangat kesal. Sehingga menjawab apa yang dia lontarkan, bukan tidak ingin menghorma
"Sudah dapat!" jawab Mbak naura dengan mengusap kepala anak-anaknya.Namun, aku tidak percaya begitu saja. Hal ini bukanla hal yang bisa dibawa main-main. Setidaknya, aku harus tahu bagaimana pembagiannya dan apakah memang benar-benar adil."InsyaaAllah, kamu tenang saja!" Mbak Naura menjawab dengan pasti semua yang kupertanyakan."Saat ini, kita harus memberitahu Mas Attar. Aku tidak ingin masalah harta ini akan membawa musibah dikemudian hari," Aku benar-benar ingin menyelesaikan urusan ini, agar tidak menjadi boomerang di kehidupanku ke depannya.Belum ada yang menanggapi ucapanku, di depan sana terdengar suara ribut-ribut. Membuatku dan yang lainnya serempak melihat ke arah suara. Mulutku menganga, ketika mengetahui siapa yang membuat onar di hari ketujuh Almarhumah mantan ibu mertuaku meninggal dunia."Hei, Shanum! Jangan buat ribut di sini!" bentakku.Rasanya, kemarahanku yang dulu, kini akan kukeluarkan melihat sikap Shanum yang mulai kurang ajar di hari berkabung keluarga suam
"Siapkan semuanya, agar saat kekalah kalian masih mampu membayar pengacara yang kalian sewa!" ketusku yang sudah tidak tahan dengan kelakuan wanita tua itu.Aku mendekati kedua wanita itu dan juga beberapa lelaki di belakanganya. Menatap tajam mereka satu persatu, dengan perasaan mendidih. "Saya selama ini diam, tidak pernah melakukan tindakan anarkis pada anak ibu dan juga ibu yang berani menghancurkan kehidupan rumah tangga saya, mencuri uang masa depan anak saya dan sekarang?" tanyaku mengejek. "Datang di rumah orang yang sedang berkabung, membahas harta yang tidak pernah ada sangkut pautnya dengan kalian! Meski saya sudah bercerai dengan Mas Attar, saya pastikan dia akan menjandakan anak ibu saat tes DNA yang dia lakukan sudah keluar, dan saya akan membantunya untuk menuntut kalian yang telah melakukan tindakan penipuan besar-besaran dan terencana. Jangan berpikir jika saya terlalu bodoh untuk kalian bodoh-bodohi terus. Saya terus belajar menjadi manusia yang berguna untuk orang
Hari ini, aku dan Hilman menuju ke rutan untuk menjenguk Mas Attar dan mengabarkan tentang kepergian mantan ibu mertua. Meski dia telah menyakitiku, tapi keluarganya sangat baik padaku dan selalu merangkulku dengan erat. Apa lagi, ada Aqila diantara kami. "Kamu yakin ingin bertemu dengannya bersamaku?" Pertanyaan Hilman membuatku terkejut. "Maksud kamu apa, bang?" ketusku, rasanya aku tidak percaya dengan pertanyaannya yang seperti ini. "Aku tidak ingin dia menyakitimu, jika kamu datang bersamaku!" terang Hilman yang membuat atiku teriris. "Kamu malu?" tanyaku membuat langkah Hilman berhenti. Hilman menangkup wajahku dengan erat, sehingga bibirku mengerucut. Pasti dia ingin menertawaiku, tapi ditahan. "Jika aku malu, maka aku tidak akan menikahimu cintaku!" sanjungnya yang membuat pipiku merona. Aku memang masih membandingkan Hilman dengan Mas Attar yang sudah lama membersamaiku, bukan bermaksud mencari mana yang terbaik dan mana yang buruk. Akan tetapi, mereka berdua memiliki