"Kalian sedang bertengkar? Apa Hilman membuat kesalahan padamu?" tanya bapak dengan nada tinggi.Kelemahanku ada di lelaki yang bergelar ayah di hadapanku ini. Teramat takut kehilangan mereka yang mencintaiku, dan sangat menjagaku hingga saat ini."Enggak, Pak. Aku sangat mencintaiku suamiku ini, iya, kan sayang?" tanyaku pada Hilman dengan sedikit mencubit perutnya yang masih rata.Hilman dengan senang hati merangkulku dan memberikan sebuah ciuman di kening. Ibu yang tadi ada di dapur langsung mengernyitkan dahinya, saat melihat tingkah Hilman yang sangat romantis."Ada apa sih?" tanya ibu aneh."Anakmu sedang bertengkar dengan suaminya!" ketus bapak dan ditanggapi dengan kekehan oleh Hilman, mereka berdua seperti sedang mencemburuiku."Oya, ibu ingin membicarakan sesuatu pada kalian, tentang keinginan almarhumah mantan ibu mertuamu sebelum menghembuskan napas terakhirnya!" " ujar ibu.Aku pun berniat bertanya pada ibu dan bapak mengenai keinginanku mengunjungi Mas Attar yang sedang
"Bu, ini menyalahi hukum waris, aku tidak bisa menerimanya!" tegasku dan berharap bisa memusyawarahkan tentang hal ini dengan Mbak Naura, Ustad Idris yang lebih kompeten dalam hal ini, dan Juga Mas Attar yang seharusnya mendapat bagian harta dari almarhumah mantan ibu mertua."Kamu memang benar, tapi menurut ibu, harta yang diberikan untukmu adalah haknya Attar dan diberikan ke Aqila," ujar ibu dengan memegang dagunya,"Tapi Mas Attar mempunyai anak laki-laki dan dia lebih berhak atas harta Mas Attar dari pada Aqila," terangku dan ibu mengangguk, membenarkan ucapankuIbu membenarkan posisinya, lalu menyandarkan kepalanya di bahu ranjang. Menghela napas panjang dan berat, menatapku dengan pandangan kesal. Mungkin pikiran kami berbeda, karena aku tidak ingin memakan hak orang lain yang lebih berhak daripada aku dan Aqila."Bu, aku mau masak dulu, Hilman belum makan," ujarku lirih. "Nanti kita obrolin lagi ini bersama setelah makan.Aku beranjak dan keluar untuk menemui Hilman, kemudian
Lagi-lagi, ni tetangga mulutnya perlu dikasih pelajaran. Cukup kesal setiap mendengar ucapan yang terlontar dari mulutnya yang seperti bisa ular."Terus kenapa kalau kami enggak punya kendaraan?" tanyaku dengan santai, tapi berusaha menutup kekesalanku."Sok cantik!" ketus wanita yang tubuhnya sama gempalnya dengan diriku dulu."Aneh, dijawab malah ngatain orang, eh, tapi aku memang cantik loh, Mbak!" balasku tak kalah ketusnya. "Mbak, diet! Biar tambah cantik kayak aku!" ujarku dengan menyeringai puas, karena melihat tetanggaku itu sudah pias."Sssst!" Hilman menarik tanganku untuk melingkar di pinggangnya. Sebanrnya, aku sudah lama ingin membantah setiap ucapan wanita yang jadi biang gosip itu. Akan tetapi, selalu saja ada yang membelanya, bukan membela kekurang ajarannya, tapi lebih ke menjaga kewarasan sendiri. Ujar para tetangga yang tidak luput menjadi bahan gosipnya.Entahlah, kali ini aku sudah sangat kesal. Sehingga menjawab apa yang dia lontarkan, bukan tidak ingin menghorma
"Sudah dapat!" jawab Mbak naura dengan mengusap kepala anak-anaknya.Namun, aku tidak percaya begitu saja. Hal ini bukanla hal yang bisa dibawa main-main. Setidaknya, aku harus tahu bagaimana pembagiannya dan apakah memang benar-benar adil."InsyaaAllah, kamu tenang saja!" Mbak Naura menjawab dengan pasti semua yang kupertanyakan."Saat ini, kita harus memberitahu Mas Attar. Aku tidak ingin masalah harta ini akan membawa musibah dikemudian hari," Aku benar-benar ingin menyelesaikan urusan ini, agar tidak menjadi boomerang di kehidupanku ke depannya.Belum ada yang menanggapi ucapanku, di depan sana terdengar suara ribut-ribut. Membuatku dan yang lainnya serempak melihat ke arah suara. Mulutku menganga, ketika mengetahui siapa yang membuat onar di hari ketujuh Almarhumah mantan ibu mertuaku meninggal dunia."Hei, Shanum! Jangan buat ribut di sini!" bentakku.Rasanya, kemarahanku yang dulu, kini akan kukeluarkan melihat sikap Shanum yang mulai kurang ajar di hari berkabung keluarga suam
"Siapkan semuanya, agar saat kekalah kalian masih mampu membayar pengacara yang kalian sewa!" ketusku yang sudah tidak tahan dengan kelakuan wanita tua itu.Aku mendekati kedua wanita itu dan juga beberapa lelaki di belakanganya. Menatap tajam mereka satu persatu, dengan perasaan mendidih. "Saya selama ini diam, tidak pernah melakukan tindakan anarkis pada anak ibu dan juga ibu yang berani menghancurkan kehidupan rumah tangga saya, mencuri uang masa depan anak saya dan sekarang?" tanyaku mengejek. "Datang di rumah orang yang sedang berkabung, membahas harta yang tidak pernah ada sangkut pautnya dengan kalian! Meski saya sudah bercerai dengan Mas Attar, saya pastikan dia akan menjandakan anak ibu saat tes DNA yang dia lakukan sudah keluar, dan saya akan membantunya untuk menuntut kalian yang telah melakukan tindakan penipuan besar-besaran dan terencana. Jangan berpikir jika saya terlalu bodoh untuk kalian bodoh-bodohi terus. Saya terus belajar menjadi manusia yang berguna untuk orang
Hari ini, aku dan Hilman menuju ke rutan untuk menjenguk Mas Attar dan mengabarkan tentang kepergian mantan ibu mertua. Meski dia telah menyakitiku, tapi keluarganya sangat baik padaku dan selalu merangkulku dengan erat. Apa lagi, ada Aqila diantara kami. "Kamu yakin ingin bertemu dengannya bersamaku?" Pertanyaan Hilman membuatku terkejut. "Maksud kamu apa, bang?" ketusku, rasanya aku tidak percaya dengan pertanyaannya yang seperti ini. "Aku tidak ingin dia menyakitimu, jika kamu datang bersamaku!" terang Hilman yang membuat atiku teriris. "Kamu malu?" tanyaku membuat langkah Hilman berhenti. Hilman menangkup wajahku dengan erat, sehingga bibirku mengerucut. Pasti dia ingin menertawaiku, tapi ditahan. "Jika aku malu, maka aku tidak akan menikahimu cintaku!" sanjungnya yang membuat pipiku merona. Aku memang masih membandingkan Hilman dengan Mas Attar yang sudah lama membersamaiku, bukan bermaksud mencari mana yang terbaik dan mana yang buruk. Akan tetapi, mereka berdua memiliki
Aku dan Hilman menunggu di ruangan khusus untuk menemui narapidana, cukup lama menanti Mas Attar. Sembari menunggu, aku dan Hilman saling bercerita dan membahas tentang perkembangan cafe. Hilman pun memberitahu tentang cafe yang sedang dia bangun di daerah lain, semua itu memang dia peruntukkan untuk masa depan kami. Aku terharu dengan apa yang dia lakukan selama ini, terlalu dalam mencintaiku dalam diam."Untuk apa kalian datang ke sini?" tanya Mas Attar ketus, saat datang bersama sipir pendampingnya."Tentu saja untuk menemuimu, Mas!" jawabku lirih dengan memasang senyuman di wajah.Mas Attar duduk di depan kami dengan membuang pandangannya ke arah lain, terlihat jelas rasa kecewa di matanya. Juga rasa yang tidak bisa dia sembunyikan."Kamu sehat, Mas?" tanyaku."Jangan basa-basi, katakan ada apa?" tanya Mas Attar ketus.Aku menghela napas panjang dan berat, lalu melihat ke arah Hilman sejenak. Meminta ijin dengan tatapan, dan seolah-olah mengerti, Hilman menganggukkan kepalanya."M
Selama perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Entah mengapa hatiku sedikit merasa bersalah pada Mas Attar, bukan karena aku menikah lagi, tapi karena diriku juga dia menjadi seperti itu. Aku jadi berpikiran buruk tentang pernikahan keduaku ini."Jangan melamun terus seperti itu, kita mau ke rumah mama. Nanti Dhita akan memperolok aku yang membuatmu ngambek atau marah, padaal aku kan enggak melakukan kesalahan apapun," keluh Hilman menyadarkanku."Maaf, Bang!" lirihku, menahan rasa yang bergemuruh di dada.Aku kembali larut dalam pikiranku sendiri, memikirkan kehidupanku ke depannya akan bagaimana. Apakah ada kemungkinan Hilman berselingkuh dan pergi dariku, ataukah kami akan menua bersama."Yuk, kita makan bakso dulu, udah lama kita enggak menghabiskan waktu sambil bercerita," ajak Hilman, saat mobil berhenti tepat di warung bakso langganan kami.Aku menatap wajah Hilman lekat, dan mengangguk patuh. Hatiku sedang tidak baik-baik saja saat ini dan butuh teman curhat yang mengerti di