Selama perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Entah mengapa hatiku sedikit merasa bersalah pada Mas Attar, bukan karena aku menikah lagi, tapi karena diriku juga dia menjadi seperti itu. Aku jadi berpikiran buruk tentang pernikahan keduaku ini."Jangan melamun terus seperti itu, kita mau ke rumah mama. Nanti Dhita akan memperolok aku yang membuatmu ngambek atau marah, padaal aku kan enggak melakukan kesalahan apapun," keluh Hilman menyadarkanku."Maaf, Bang!" lirihku, menahan rasa yang bergemuruh di dada.Aku kembali larut dalam pikiranku sendiri, memikirkan kehidupanku ke depannya akan bagaimana. Apakah ada kemungkinan Hilman berselingkuh dan pergi dariku, ataukah kami akan menua bersama."Yuk, kita makan bakso dulu, udah lama kita enggak menghabiskan waktu sambil bercerita," ajak Hilman, saat mobil berhenti tepat di warung bakso langganan kami.Aku menatap wajah Hilman lekat, dan mengangguk patuh. Hatiku sedang tidak baik-baik saja saat ini dan butuh teman curhat yang mengerti di
"Ah, benarkan Hilman," gumam wanita cantik itu sambil mendekat ke arah kami.Aku melirik Hilman, dan entah mengapa rasanya aku tidak rela melihatnya tersenyum dengan wanita lain. Begitu ramah dan menggoda, kemudian menyambut tangan wanita itu dengan lembut. Aku hanya bisa menghela napas kasar."Winda," Hilman balik menyapa wanita itu. "Eh, iya. Kenalkan ini istriku," Hilman memperkenalkan aku sebagai istrinya.Wanita yang bernama Winda itu hanya tersenyum sekilas padaku dan kembali menatap fokus suamiku dengan tatapan merindu. Sebagai seorang wanita, aku pernah melakukan hal itu dan hal itu membuat darahku mendidih. Tidak ingin menjadi janda untuk kedua kalinya, aku mengajak Hilman untuk segera pulang, karena mama Rumi pasti sudah menunggu sejak tadi."Kenapa kamu takut istri sih!" kesal Winda, dan hanya dibalas kekehan oleh Hilman. "Lagi pula, apa kamu enggak salah pilih istri?" Pertanyaan yang aneh menurutku muncul dari bibir wanita itu, rasanya aku ingin membungkamnya dengan sambal
Seminggu setelah pertemuanku dengan wanita yang masih mencintai suamiku, dan kunjungan kami ke rumah mama Rumi. Hilman masih saja penasaran dengan apa yang aku dan Winda perbincangkan, apakah aku mengijinkan wanita itu untuk mendekatinya atau mala melarangnya. Aku memilih diam, dari pada menceritakan semuanya.Satu buku novel yang aku baca, jangan pernah kamu hina calon pelakor. Dia akan semakin nekad dan besar kepala, perlakukan dia sangat baik dengan mengintimidasi. Perlahan, semua yang kubaca dan pelajari. Mulai kupraktekan dengan cepat."Yumna, apa sih yang kamu bicarakan dengan Winda?" tanya Hilman gemas, karena selalu kuacuhkan tentang pertanyaan itu."Oya, gimana progress cafe kita, Bang?" tanyaku dengan menepuk keningku, pura-pura lupa."Kamu gitu, dech!" keluhnya. "Aku hanya penasaran saja, kenapa dia sekarang jadi berubah," imbunya."Bagus dong, kalau dia berubah menjadi lebih baik dan mendapatkan jodoh yang baik. Jangan-jangan, kamu menyukainya, ya?" tanyaku dengan nada tin
Aku menghela napas panjang dan berat, meski mahram, tapi tetap ada batasan antara ayah tiri dan anak tiri. Hilman hanya menjaga, agar tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh dengan Aqila. Mungkin, Hilman takut terjadi hal yang tidak diinginkan dikemudian hari, dan aku sangat bersyukur menjadikannya sebagian dari hidupku. Semoga kami berjodoh hingga maut memisahkan."Terima kasih, Bang," ucapku tulus.Hilman merangkul pundakku dan mengajak kami untuk segera berangkat, ibu dan bapak mengantar kami sampai di pelataran rumah."Aku sudah mencabut laporan untuk Attar, agar hukumannya bisa diperingan," Hilman mengucapkannya saat kami dalam perjalanan."Seharusnya, biarkan dia jera, Bang!" balasku."Aku memikirkan Aqila dan juga tentang urusan Attar yang belum selesai, setidaknya dia sudah terlihat berubah sekarang. Kita dukung, ya," Dengan lembut Hilman menggenggam tanganku dan mengatakannya dengan hati-hati.Adakalanya, Hilman seperti orang yang sangat membutuhkan kasih sayang, adakalany
Di ruang dokter, kami berdua sudah duduk dengan tenang, meskipun ada sedikit kekhawatiran. Namun, tangan Hilman masih menggenggam tanganku dengan sangat erat, membuatku merasa heran. Ada apa sebenarnya dengan dia.Dokter mempersilahkanku untuk duduk di atas ranjang pasien. Dengan telaten dokter memeriksaku, kemudia terbit senyum di wajahnya yang cantik. Setelah selesai, aku kembali duduk di samping Hilman yang sedang pucat."Kamu kenapa, Man?" tanya dokter itu dengan tatapan tajam.Aku tidak menyangka, jika Hilman kenal dengan dokter di depanku ini. Aku mulai menduga-duga hal yang tidak-tidak, karena inikah Hilman memintaku untuk datang ke sini."Aku hanya mencemaskan istrku, Rin," Hilman menatapku dengan tatap sendu."Sebenarnya tidak perlu mencemaskannya, kamu malah harusnya bersyukur," ujar dokter yang memasang senyum di wajanya yang sangat cantik."Maksudnya, Rin?" tanya Hilman penasaran dengan memajukan tubuhnya.Dokter wanita yang bernama Rindu itu, menatapku dengan penuh binar.
Hilman langsung memelukku dan mengecup kepalaku berkali-kali, lalu memanjatkan doa syukurnya. Aku yang masih tidak percaya hanya diam saja, aku masih memikirkan bagaimana bisa hamil tapi aku sendiri tidak bisa mengingatnya, bahkan tidak merasakan apapun tentang kehamilan ini.Setelah mengucapkan terima kasih, dan bersalaman. Aku dan Hilman keluar dari ruang dokter, ingin sekali langsung pulang dan menyampaikan kabar gembira pada kedua orang tuaku, juga mama Rumi dan Dhisa."Terima kasih menjadikanku lelaki paling bahagia, sayang," ujar Hilman dengan mengecup keningku singkat.***Kehamilanku tidak terlalu merepotkan, hanya beberapa kali menginginkan sesuatu. Dua cafe yang dibangun Hilman juga sudan beroperasi, salah satunya dipegang oleh Radit dan yang satunya masih dikelola bersama. Sedangkan cafe utama aku yang mengelolanya. Sekarang, hasil investasi kami sudah bisa dinikmati. "Berapa hari lagi jadwal melahirkan?" tanya mama Rumi."Sesuai dengan petunjuk dokter, sekitar sepuluh har
Kini, aku sudah ada di ruang rawat, ditemani mama dan Hilman. Mama terus saja memarahi Dhita yang mengambil keputusan secara sepihak, sedangkan Dhita, hanya tertawa puas. Gadis itu berhasil membuat mama dan kakaknya kesal."Ma, kakak ipar dan keponakan semuanya baik-baik saja, jika terlambat sedikit apa yang terjadi pada mereka!" ketus Dhita yang terus memandangi wajah keponakannya, Dhita mengambil gambar twins, sesaat setelah mereka dibersihkan oleh suster. "Kalau masalah memanggil mama, aku beneran lupa! Aku ingat setelah Mbak Yumna sudah dipindah ke sini!" sambung Dhita dengan cuek, aku hanya menggelengkan kepala."Makasih sayang," Hilman mengecup kening dan menggenggam tanganku dengan erat.Mama Rumi mendekatiku dan tersenyum manis, mengucapkan terima kasih dan memberikan dukungan padaku. Sesekali melontarkan kekesalannya pada anak bungsu yang sangat dia sayangi."Aku mau jemput ibu, bapak dan Aqila dulu, ya," Hilman, mengecup keningku sekali lagi dan keluar setelah menitipkan dir
Hari-hari kulalui dengan sangat bahagia, hingga asi pun sangat melimpah, bisa memenuhi kebutuhan si kembar. Dukungan orang tua, mertua, Mbak Naura dan Dhita, membuat rasa lelah dan lainnya bisa berkurang. "Sayang, ini tabungan untuk si kembar sampai dewasa. Aku ingin memastikan dia tidak kekurangan apapun kelak. Untuk Aqila, kita ada satu cafe yang baru dibangun khusus untuk masa depannya," Hilman mendekatiku dan memberika sebuah kotak kayu berukuran sedang. "Apa ini, Bang?" tanyaku penasaran. "Sayang, bisa enggak kamu panggil aku sayang hingga aku bosan," pinta Hilman, yang membuatku mengernyitkan dahi. Benar-benar ada yang aneh dengan Hilman, tidak biasanya dia berlaku seperti itu. Setelah 40 hari si kembar, Hilman memang banyak perubahan yang sangat positif, tapi membuatku takut. Setiap melihatnya, air mataku meleleh tanpa bisa dicegah. "Kamu kenapa, sih, Bang?" tanyaku penasaran. "Loh, kok nangis!" Hilman mengusap air mata yan sudah membasahi pipiku. "Aku enggak kenapa-kenap