Hilman langsung memelukku dan mengecup kepalaku berkali-kali, lalu memanjatkan doa syukurnya. Aku yang masih tidak percaya hanya diam saja, aku masih memikirkan bagaimana bisa hamil tapi aku sendiri tidak bisa mengingatnya, bahkan tidak merasakan apapun tentang kehamilan ini.Setelah mengucapkan terima kasih, dan bersalaman. Aku dan Hilman keluar dari ruang dokter, ingin sekali langsung pulang dan menyampaikan kabar gembira pada kedua orang tuaku, juga mama Rumi dan Dhisa."Terima kasih menjadikanku lelaki paling bahagia, sayang," ujar Hilman dengan mengecup keningku singkat.***Kehamilanku tidak terlalu merepotkan, hanya beberapa kali menginginkan sesuatu. Dua cafe yang dibangun Hilman juga sudan beroperasi, salah satunya dipegang oleh Radit dan yang satunya masih dikelola bersama. Sedangkan cafe utama aku yang mengelolanya. Sekarang, hasil investasi kami sudah bisa dinikmati. "Berapa hari lagi jadwal melahirkan?" tanya mama Rumi."Sesuai dengan petunjuk dokter, sekitar sepuluh har
Kini, aku sudah ada di ruang rawat, ditemani mama dan Hilman. Mama terus saja memarahi Dhita yang mengambil keputusan secara sepihak, sedangkan Dhita, hanya tertawa puas. Gadis itu berhasil membuat mama dan kakaknya kesal."Ma, kakak ipar dan keponakan semuanya baik-baik saja, jika terlambat sedikit apa yang terjadi pada mereka!" ketus Dhita yang terus memandangi wajah keponakannya, Dhita mengambil gambar twins, sesaat setelah mereka dibersihkan oleh suster. "Kalau masalah memanggil mama, aku beneran lupa! Aku ingat setelah Mbak Yumna sudah dipindah ke sini!" sambung Dhita dengan cuek, aku hanya menggelengkan kepala."Makasih sayang," Hilman mengecup kening dan menggenggam tanganku dengan erat.Mama Rumi mendekatiku dan tersenyum manis, mengucapkan terima kasih dan memberikan dukungan padaku. Sesekali melontarkan kekesalannya pada anak bungsu yang sangat dia sayangi."Aku mau jemput ibu, bapak dan Aqila dulu, ya," Hilman, mengecup keningku sekali lagi dan keluar setelah menitipkan dir
Hari-hari kulalui dengan sangat bahagia, hingga asi pun sangat melimpah, bisa memenuhi kebutuhan si kembar. Dukungan orang tua, mertua, Mbak Naura dan Dhita, membuat rasa lelah dan lainnya bisa berkurang. "Sayang, ini tabungan untuk si kembar sampai dewasa. Aku ingin memastikan dia tidak kekurangan apapun kelak. Untuk Aqila, kita ada satu cafe yang baru dibangun khusus untuk masa depannya," Hilman mendekatiku dan memberika sebuah kotak kayu berukuran sedang. "Apa ini, Bang?" tanyaku penasaran. "Sayang, bisa enggak kamu panggil aku sayang hingga aku bosan," pinta Hilman, yang membuatku mengernyitkan dahi. Benar-benar ada yang aneh dengan Hilman, tidak biasanya dia berlaku seperti itu. Setelah 40 hari si kembar, Hilman memang banyak perubahan yang sangat positif, tapi membuatku takut. Setiap melihatnya, air mataku meleleh tanpa bisa dicegah. "Kamu kenapa, sih, Bang?" tanyaku penasaran. "Loh, kok nangis!" Hilman mengusap air mata yan sudah membasahi pipiku. "Aku enggak kenapa-kenap
"Jangan berpikiran buruk, ingat ada kembar yang masih membutuhkan kasih sayangmu dan perhatian yang leih darimu. Terlebih Asi yang melimpah, karena bukan hanya satu anak yang kamu susui!" Mama Rumi mencoba menenangkanku dan itu tidak membuatku lebih baik."Iya, Ma." Aku hanya bisa berkata dengan lirih.Ketakutan itu terus saja menghantuiku, bagaimana aku bisa jika harus menjadi janda untuk yang kedua kalinya. Apa aku sanggup menjalankannya seperti dulu, saat Mas Attar menceraikan demi wanita lain. Ah, entahlah, kenapa aku menjadi melow seperti ini. Aku pun menjadi takut kalau rasa curigaku ini akan menjadi boomerang pada hubunganku dan Hilman."Banyak-banyak istigfar, ya. Kita doakan agar pernikahan kalian langgeng hingga maut memisahkan kalian," ujar Mama Rumi yang masih melihat aku terdiam.Aku mengangguk, lalu melangkah pergi setelah berpamitan pada mama untuk ke kamar. Mama hanya menepuk pundakku, memintaku untuk tenang menghadapi Hilman yang berubah lebih baik.***Setelah berhar
Ada desiran aneh dalam hatiku, dan juga rasa takut dengan ketenangan yang dia ucapkan. Ingin bertanya lebih padanya, tapi aku sendiri lebih takut. Hilman membuatku serba salah dan tidak bisa berbuat banyak, aku sudah meminta Radit untuk mengikuti Hilman beberapa waktu lalu. Tidak ada yang aneh dengan suamiku itu, dia hanya fokus dipekerjaannya. Selesai kerja dia langsung pulang dan menghabiskan waktunya bersama kami, lalu perubahannya karena apa dan kenapa dia meminta bapak untuk membereskan perkakas di rumah?Ah, makin banyak hal yang tidak bisa aku pikirkan. Karena Hilman bukan seperti dia yang selama ini aku kenal. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk anak, dan memperbaiki ibadahnya. Bukan aku tidak suka, akan tetapi merasa aneh dengan perubahannya yang sudah dua bulan lalu kurasakan. meski tidak secara spontan, tapi tetap membuatku tidak nyaman."Jangan pernah berpikiran buruk padaku, aku selalu setia padamu sejak dulu. Kamu saja yang tidak pernah melirikku," Kekehan khas
Hilman bergeming, dalam keheningan yang dia ciptakan. Tidak ada candaan lagi dari bibirnya, wajah yang biasanya riang, kini diam membisu. Pucat pasi, tidak ada warna legamnya bola mata yang dia miliki."Na," sapa ibu.Tubuhku seakan tidak mampu, untuk bergerak. Kenyataan ini sangat menyakitiku, bagaimana bisa dia pergi seenaknya saja. Tidak memperdulikanku, bahkan membiarkan anak-anaknya sedirian. "Yang sabar, ya, Yumna. Doakan agar suamimu diterima dengan baik di sisinya dan mendapatkan tempat yang layak, ikhlaskan dia agar jalannya lapang," Bapak merangkul pundakku dengan sangat erat."Dia jahat padaku, Pak. Bisa kembalikan dia, aku tidak ingin dia pergi. Bagai mana aku tanpanya," lirihku. "Bang, bangun! Kasian anak-anak, aku selalu bergantung padamu. Bahkan saat aku masih menjadi istri Mas Attar. Bang, bangun!" Aku hanya bisa meratap.Tubuhku sudah tidak berdaya, tenagaku seolah-olah pergi menghilang. Aku hanya bisa tergugu dan meringkuk, menatap tubuh di depanku yang terbujur kak
Aku menatap dua bayi yang sedang ada di ayunannnya masing-masing, lalu menatap Aqila yang tersenyum padaku. Setetes demi setetes air mata mengalir tanpa bisa kuhalangi. Benar apa yang dikatakan oleh bapak, aku harus bisa menata hati, agar bisa menyelamatkan mental anakku. Masa depan mereka masih panjang, dan aku harus berjuang demi mereka. Akulah harapan mereka satu-satunya di dunia ini. Jika aku terpuruk, bagaimana mereka menjalani kehidupan yang keras."Kamu bisa, Yumna," ujar ibu dengan menepuk pundakku."Pasti kami bisa, Bu. Karena kalian selalu ada di sisiku," lirihku.Ibu memeluk dan membelai kepalaku dengan lembut, kemudian mengecup kepalaku berkali-kali. Aku tahu, ibu menyalurkan kekuatan tanpa kata dan aku hanya bisa mengeratkan pelukan.Ibu pun berllalu, sepertinya menyusul bapak. Mungkin mereka ingin melihat kebun yang sudah lama terbengkalai atau yang dititipkan oleh orang terpercaya.Aqila menghampiriku, tapi sepertinya dia ragu untuk mendekat. Aku tidak ingat, apa saja y
Tidak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Aqila kini sudah dewasa, dan si kembar sudah bisa membuatku sangat bangga dengan kehadiran mereka. Ibu dan bapak sudah wafat lima tahun yang lalu, mereka selalu menemaniku dalam suka dan duka dan mereka sudah lelah dan Tuhan lebih sayang pada mereka.Radit sudah bahagia dengan keluarga kecilnya, hanya sesekali mereka datang berkunjung. Melepaskan kerinduan dan nostalgia bersama, mengenang semua yang kami lalui dengan banyaknya suka dan duka.Mbak Naura pun sudah bahagia dengan keluarganya, mereka pindah ke luar pulau yang cukup jauh. Kami hanya bisa bertukar kabar melalui telepon dan sesekali melakukan video call. Sering kali Mbak Naura bertanya tentang Mas Attar, tapi aku tidak mengetahui kabar apapun tentang ayahnya Aqila tersebut."Ma, seharusnya mama sudah waktunya pensiun dan beristirahat leih banyak di rumah. Untuk cafe, biarkan Om Radit saja yang mengurusnya," Aqila yang baru saja pulang kerja duduk di sampingku."Ini adalah kenangan te