Hilman bergeming, dalam keheningan yang dia ciptakan. Tidak ada candaan lagi dari bibirnya, wajah yang biasanya riang, kini diam membisu. Pucat pasi, tidak ada warna legamnya bola mata yang dia miliki."Na," sapa ibu.Tubuhku seakan tidak mampu, untuk bergerak. Kenyataan ini sangat menyakitiku, bagaimana bisa dia pergi seenaknya saja. Tidak memperdulikanku, bahkan membiarkan anak-anaknya sedirian. "Yang sabar, ya, Yumna. Doakan agar suamimu diterima dengan baik di sisinya dan mendapatkan tempat yang layak, ikhlaskan dia agar jalannya lapang," Bapak merangkul pundakku dengan sangat erat."Dia jahat padaku, Pak. Bisa kembalikan dia, aku tidak ingin dia pergi. Bagai mana aku tanpanya," lirihku. "Bang, bangun! Kasian anak-anak, aku selalu bergantung padamu. Bahkan saat aku masih menjadi istri Mas Attar. Bang, bangun!" Aku hanya bisa meratap.Tubuhku sudah tidak berdaya, tenagaku seolah-olah pergi menghilang. Aku hanya bisa tergugu dan meringkuk, menatap tubuh di depanku yang terbujur kak
Aku menatap dua bayi yang sedang ada di ayunannnya masing-masing, lalu menatap Aqila yang tersenyum padaku. Setetes demi setetes air mata mengalir tanpa bisa kuhalangi. Benar apa yang dikatakan oleh bapak, aku harus bisa menata hati, agar bisa menyelamatkan mental anakku. Masa depan mereka masih panjang, dan aku harus berjuang demi mereka. Akulah harapan mereka satu-satunya di dunia ini. Jika aku terpuruk, bagaimana mereka menjalani kehidupan yang keras."Kamu bisa, Yumna," ujar ibu dengan menepuk pundakku."Pasti kami bisa, Bu. Karena kalian selalu ada di sisiku," lirihku.Ibu memeluk dan membelai kepalaku dengan lembut, kemudian mengecup kepalaku berkali-kali. Aku tahu, ibu menyalurkan kekuatan tanpa kata dan aku hanya bisa mengeratkan pelukan.Ibu pun berllalu, sepertinya menyusul bapak. Mungkin mereka ingin melihat kebun yang sudah lama terbengkalai atau yang dititipkan oleh orang terpercaya.Aqila menghampiriku, tapi sepertinya dia ragu untuk mendekat. Aku tidak ingat, apa saja y
Tidak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Aqila kini sudah dewasa, dan si kembar sudah bisa membuatku sangat bangga dengan kehadiran mereka. Ibu dan bapak sudah wafat lima tahun yang lalu, mereka selalu menemaniku dalam suka dan duka dan mereka sudah lelah dan Tuhan lebih sayang pada mereka.Radit sudah bahagia dengan keluarga kecilnya, hanya sesekali mereka datang berkunjung. Melepaskan kerinduan dan nostalgia bersama, mengenang semua yang kami lalui dengan banyaknya suka dan duka.Mbak Naura pun sudah bahagia dengan keluarganya, mereka pindah ke luar pulau yang cukup jauh. Kami hanya bisa bertukar kabar melalui telepon dan sesekali melakukan video call. Sering kali Mbak Naura bertanya tentang Mas Attar, tapi aku tidak mengetahui kabar apapun tentang ayahnya Aqila tersebut."Ma, seharusnya mama sudah waktunya pensiun dan beristirahat leih banyak di rumah. Untuk cafe, biarkan Om Radit saja yang mengurusnya," Aqila yang baru saja pulang kerja duduk di sampingku."Ini adalah kenangan te
Setelah mendapatkan ijin dariku, Aqila beserta kembar mencari keberadaan Mas Attar. Kembar membantu Aqila dengan alasan menjaga kakak satu-satunya, mereka hanya takut jika ayah Aqila akan berbuat jahat lagi pada Aqila. Meski Aqila sudah menolak mereka dan meminta mereka untuk tidak ikut campur, si kembar tetap kekeh ingin membantu, membuat Aqila pasrah dengan kelakuan dua remaja yang tampan-tampan. "Kakak mulai pencarian di mana?" tanya Candra dengan wajah keponya. Sedangkan Catra sibuk dengan tugasnya yang belum selesai dikerjakan, Aku sendiri sedang memeriksa pengeluaran dan pemasukan cafe setiap minggunya. "Bagaimana kita cari di rumah lama papa Attar saja?" usul Catra yang masih berkutat dengan tugas-tugasnya. Aqila mendekati Catra dan melihat apa yang sedang dilakukan oleh adiknya, dan sedikit memberikan jeweran di telinganya. "Selesaikan dulu, baru ikut bergabung!" kesal Aqila dan Catra hanya meringis. "Tapi yang dikatakan Catra bener loh, Kak!" Candra membela adiknya yang