Share

Bab 9. Kemarahan Bibi

"Tidak Bibi, aku tidak melakukannya," Syadilla menggeleng cepat.

Tapi sepertinya jawaban Syadilla tak membuat Sani percaya begitu saja. Dengan intonasi makin meninggi ia kembali bertanya, "Jawab yang jujur atau aku tidak akan segan memuk*lmu dengan rotan!"

Ancaman sang Bibi tentu saja membuat Syadilla semakin bingung sekaligus ketakutan. Dengan cara apalagi dia harus meyakinkannya? Setengah menangis gadis itu kembali berusaha menjelaskan, "Bibi, aku sungguh tidak mengambil uang itu. Atas nama Tuhan aku berani bersumpah, Bibi!"

"Bu, mana ada pencuri yang mau mengaku. Sudahlah Bu, buat saja ia untuk berkata jujur!" Elena berkata dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada, angkuh. Gadis itu memandang sinis Syadilla yang kian tertunduk.

Sejenak kening Sani berkerut memikirkan kata kata putrinya yang provokatif. Ia melihat Syadilla yang meremas ujung kemejanya sebab saking ketakutannya.

"Lihatlah,Bu! Dia begitu ketakutan. Orang yang tidak bersalah, tidak akan merasa takut bukan?"

"Tidak Elena, bukan begitu! Tolong jangan menuduhku dan mempengaruhi Bibi lagi, Elena! Aku sungguh tidak mencuri!" Syadilla menggelengkan kepalanya. Setitik air mata mulai jatuh tak tertahan lagi dari kedua matanya yang berkaca kaca semenjak tadi.

"Baiklah, akan kubuat kamu mengakuinya," Sani berkata datar dan berjalan cepat keluar kamar. Lalu kembali lagi masuk dengan sebatang rotan di satu tangannya.

"Kita lihat apa kamu masih berani dusta?" Sani mengayunkan rotannya dan berteriak, "Cepat akui perbuatanmu!"

"Baaaghh!"

"Tidak, Bibi aku tidak berbohong!" ratap Syadilla begitu rotan itu melayang dan mengenai lengannya. Seketika rasa perih tercipta karenanya.

"Baaagh!"

"Baaghh!"

Sani menyerang semakin membabi buta. Emosi membuat dirinya kalap hingga mendaratkan rotan itu tanpa ampun di tubuh Syadilla.

"Bibi, ampun! Sakit Bibi! Ampun!Hu hu hu..." jerit Syadilla pilu diiringi tangisan tak berdaya darinya. Kedua tangannya menutup kepala dan dadanya agar terhindar dari sabetan rotan.

Sementara, sepasang mata terlihat berbinar dan bibir yang tersenyum puas melihat Sani dengan brutal memuk*l Syadilla. Ya, Elena begitu senang sebab ibunya terprovikasi oleh perkataannya. Rasa senangnya ini semakin menjadi tatkala mendengar jeritan dan tangis Syadilla yang tergugu pilu. Seolah itu adalah sebuah lagu merdu di telinga Elena.

"Ha ha ha! Ha ha ha..." suara tawa yang sangat keras tiba tiba terdengar di dalam rumah. Membuat ketiga perempuan di dalam kamar itu tertegun dan menajamkan telinga mereka kemudian.

Sepertinya suara laki laki, dan itu sangat tidak asing. Begitulah kurang lebihnya yang ketiga perempuan itu pikirkan.

Juang!

Ternyata itu memang benar dia. Lelaki itu tertawa terbahak bahak masuk ke dalam rumah dengan cara berjalan yang sempoyongan. Bau alkohol yang pekat menguap dari mulutnya.

"Juang, kau mabuk?" cecar Sani melihat keadaan Juang yang pulang dengan keadaan demikian. Tapi Juang yang memang dalam kondisi mabuk malah sama sekali tak mengacuhkan pertanyaan Sani. Ia pun menjatuhkan bobot tubuhnya ke sofa begitu saja.

"Juang!"

"Baagghh...!"

Sani berteriak karena tak di respon. Ia memukulkan rotan di tangannya tepat di sisi sofa, tempat Juang duduk. Seakan sedang memaksa kesadaran lelaki itu untuk pulih.

"Ada apa kau berteriak Sani?" bukannya menjawab pertanyaan, Juang justru balik bertanya dengan suaranya yang berat. Lalu terdengar olehnya suara isakan tangis yang ia tahu adalah Syadilla. "Kenapa lagi dengan si gadis buta itu?"

"Aku menghajarnya dengan rotan. Ia berani mencuri uangku!"

"Ha ha ha..." tawa Juang semakin keras sebab penjelasan istrinya. Ia lalu berbicara ngelantur, "Bukan bocah buta itu yang mengambilnya. Tapi aku!"

"Hik..., kamu begitu pelit tiap kali aku meminta uang. Padahal sudah ku bilang, aku juga butuh kesenangan di luar," celoteh Juang dengan cegukannya yang sesekali terdengar. "Tapi jangan khawatir, aku hanya mengambil sedikit saja dari uang itu. Sisanya masih banyak kutinggalkan, bukan?"

"Sedikit, katamu? Apa yang sisa? Kamu telah mengambil semuanya!" raung Sani begitu marah mendengar pengakuan Juang.

"Aku berani bersumpah, aku hanya mengambil sedikit saja untuk membeli dua botol minuman,"

Meski Juang mabuk, tapi sebenarnya dia belum sepenuhnya mabuk, atau masih dalam sedikit kesadaran. Dan yang dikatakan olehnya adalah benar. Sebab bagaimanapun ia juga takut dengan kemarahan Sani bila sampai ia mencuri semua uangnya.

Braaaakkk!

Sani menghantamkan rotan dengan sangat keras. Membuat jantung siapapun yang ada di ruangan itu hampir copot karenanya.

"Juang, aku tidak mau tahu, kamu harus mengganti semua uang itu bagaimanapun caranya!"

"Istriku, a - aku..."

"Hu hu hu...! Ya Tuhan, kenapa nasibku begini sekali? Baru saja ingin sedikit senang mempunyai uang sedikiit lebih. Tapi suamiku ini sungguh tega sekali," Sani mulai meratap. Berbeda dengan sikapnya sebelumya yang selalu marah dan berteriak garang, kini ia justru nampak terkulai lemah. Berkali kali ia mengelus dada tanda menahan kesedihannya.

"Eh, Istriku, kamu jangan menangis seperti ini. A - aku minta maaf! Dan aku pasti akan mencarikan lebih banyak uang lagi untuk mengganti uangmu yang hilang. Percayalah!" kata Juang membujuk sang istri. Meskipun Sani sangat galak bagai singa betina saat marah, tapi sejujurnya Juang sangat mencintainya hingga tak tega melihatnya menangis.

"Ibu, sudahlah! Ayah sudah minta maaf dan berjanji mengganti uang Ibu. Jangan menangis lagi!" Elena menepuk pelan bahu ibunya. "Aku tidak suka melihat kalian bertengkar!"

Mendengar perkataan putri kesayangannya, seketika tangis Sani pun terhenti. Ia meremas lembut tangan Elana yang masih bersarang di bahunya, sambil mengangguk mengatakan, "Kamu memang anakku yang paling baik!"

Elena tersenyum mendengar pujian untuknya. Tapi, ekspresi di wajahnya terlihat sedikit aneh kala ia tersenyum tadi. Lalu, ia pun ingin menyudahi pembicaraan dengan ibunya dan berkata, "Ibu aku ingin kembali ke kamarku. Aku merasa lelah setelah seharian berjalan jalan!"

Elena pun berjalan meninggalkan ayahnya yang sudah mendengkur tertidur setelah mengatakan kata kata terakhirnya tadi, dan ibunya yang masih terduduk lemas di ruang tamu.

Sampai di kamar Elena langsung mengunci pintu, lalu menjatuhkan tubuhnya di kasur. Satu tangannya merayap ke bawah bantal mencari cari sesuatu di sana. "Haha, dapat!" serunya sambil menarik sesuatu itu dari bawah bantalnya.

Bibir Elena tersenyum lebar kemudian memandangi puluhan lembar uang berwarna merah di tangannya. Uang yang telah membuat Syadilla harus merasakan sabetan rotan dari ibunya, sekaligus uang yang telah membuat ayah dan ibunya baru saja bertengkar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status