Share

Dijadikan Ipar oleh Mantan Suami
Dijadikan Ipar oleh Mantan Suami
Penulis: Li Na

Part 1 Tertangkap Basah

“Papa di kamal sama Tante Pia, Ma.”

Rahma terkejut mendengar kalimat polos sang anak. Wanita 24 tahun ini memang masih di rumah majikan, seperti biasa di sela bekerja ia menelepon rumah, sekadar bertanya putranya yang berusia 5 tahun itu sedang apa selama ditinggal dengan papanya.

“Azka bilang apa? Papa di kamar?”

“Iya, Mama. Papa lagi tidul sama Tante Pia.”

“Astaghfirullah …!” Jantung Rahma langsung dirasa terpukul keras. Putra satu-satunya yang belum bisa menyebut ‘R’ itu mana mungkin bicara begitu tanpa sebab. Namun ia juga tak percaya sang suami tidur dengan adiknya.

Bisa saja Safea memang ke rumah, lalu mengambil sesuatu di kamar dan … Azka salah mengerti, tapi … ‘apa benar Safea ke kamar sama Mas Harlan?’

Pertanyaan itu langsung bercokol di kepala Rahma, membuat jantungnya semakin berdebar-debar. Ia pun segera mengakhiri panggilan, mengikuti dorongan kata hatinya.

Banyak pikiran buruk seketika menggelayut di kepala, menyesakkan dada. Gegas Rahma menuruni tangga menuju lantai dasar, setelah meninggalkan alat bersih-bersihnya di sisi dinding.

Safea, memang sering datang ke rumah antar makanan, titipan ibunya untuk Azka, si cucu semata wayang.

Tergopoh ia menemui majikan di sofa ruang tengah. Tangan kotor bekas membersihkan ruang atas tadi hanya dilapkan pada ujung kausnya yang kusam.

“Bu, maaf, saya boleh izin pulang sebentar?"

“Ada apa Mbak, kok pucat gitu mukanya?” Wanita berkaca mata, yang sedang membuka buku tebal itu menatapnya heran.

“Eh, anu, nggak apa-apa, Bu. Saya mau nengok Azka sebentar saja.”

“Ya sudah, tapi nanti kembali lagi, kan? Pekerjaanmu masih banyak yang belum selesai.”

“Iya, Bu. Saya akan segera kembali.”

Setelah diizinkan Rahma gegas keluar.

Rumah ini tempatnya mencari uang tambahan sejak tiga bulan terakhir. Menjadi tukang cuci dan bersih-bersih sampai sore, meninggalkan warung kecil yang sebelumnya ia buka di rumah untuk dijaga suami sementara. Sebab, sepulang bekerja ia lah yang menjaga warung sambil mengasuh Azka.

Sejak menganggur Harlan sempat bekerja serabutan, hasilnya kadang ada, tapi lebih banyak pulang dengan tangan kosong. Sementara simpanan Rahma sudah menipis karena sering dipakai untuk biaya dapur. Itulah alasan kenapa ia rela menjadi ART, daripada diam berharap, dan menunggu hasil suami bisa-bisa anaknya tidak makan atau malah tidak minum susu.

Cepat kaki Rahma mengayun sepeda butut, menuju rumah sekitar satu kilometer jaraknya. Pikirannya berkecamuk, sampai belokan jalan menuju rumah sempat terlewat jauh. Rahma pun kembali memutar arah.

Ucapan tetangga dulu jadi kembali terngiang memenuhi kepalanya. Mengingatkan agar ia berhati-hati dengan adik yang sering lama berada di dalam rumah saat ia tidak ada.

Menurut desas-desus, saat belanja ke warung panggilan mereka sering tak disahut Harlan, padahal jelas ada motor matic Safea terparkir di depan rumah. Itu sangat mencurigakan. Hanya, Rahma saat itu tidak pernah percaya. Ia merasa mana mungkin adik kandung sendiri berbuat jahat padanya.

Menurut wanita berpenampilan super sederhana ini, Safea itu masih terlalu muda, dan amat cantik. Mana mungkin bod*h, mau dengan Harlan yang wajahnya pas-pasan. Lubang bekas jerawat suaminya hampir di seluruh pipi, kadang membuatnya geli dan ngilu melihat kalau jerawat batu suaminya muncul dan meradang. Belum lagi sekarang Harlan jadi pengangguran. Pastilah Safea sangat tidak mungkin tertarik, pikirnya.

Rahma juga tahu selera sang adik yang baru menginjak usia 20 tahun itu tinggi. Dari cara berpakaian saja Safea sangat modis, jauh beda dengan dirinya yang suka kesederhanaan.

Sampai di halaman, sepeda Rahma sandarkan pada tembok.

Motor Safea memang ada, tapi pintu lipat warung tertutup rapat.

‘Jangan-jangan ...?’ Rahma mulai menduga-duga.

Gemetar tubuhnya yang bermandi peluh, sebab siang-siang mengayuh sepeda dengan kecepatan balap. Bertambah dengan hati kacau balau, jadilah sangat melelahkan. Napas Rahma tersengal-sengal.

Ia masuk lewat pintu belakang yang tak terkunci. Sengaja tak bersuaa atau memanggil. Sampai di ruang tengah TV masih menyala, menayangkan kartun kesukaan Azka, tapi anak itu tidak ada di tempat.

Rahma mengendap seperti pencuri di rumah sendiri.

Kamar utama ia dorong perlahan, mengintip di dalam. Terlihat Azka berbaring sendirian, sambil mengisap botol susu, benda yang sampai sekarang belum disapih.

Azka tak menyadari kedatangannya, Rahma menggeser badan, menyandarkan punggung pada dinding, mengatur napas yang makin menyesak.

Kalau Azka sedang sendiri di kamar, lalu di mana keberadaan Harlan dan Safea?

Rumah ini tak terlalu besar, tapi ada dua kamar lain yang kadang dipakai kalau keluarga datang.

‘Jangan-jangan mereka ...?’

Pikiran buruk itu begitu menyiksa, menusuk-nusuk nyeri hati Rahma. Ia berharap dugaan buruknya tidaklah benar.

Langkah Rahma perlahan mendekati satu kamar yang tertutup rapat.

“Mas Har sudah …, hehee … geli, Maaas … ih! Masa mau lagi, sihh …?” Sontak, suara manja yang amat dikenalnya itu membuat tubuh Rahma nyaris jatuh pingsan. Itu suara Safea!

‘Ya Allah! Benarkah dugaanku …?’

Mata bulat Rahma sekejap memburam. Air mata pun jatuh seketika. Sesak di dadanya kian menyulitkan ia bernapas.

Tak tertahan, tubuhnya merosot terduduk. Ia menangis sambil membekap mulu agar tak bersuara.

‘Teganya kamu Fea ... Mas Harlan ...! Teganya kalian ...!’

Ratapan Rahma hanya sesaat, sakit dadanya berubah mendidihkan amarah menjadi lahar panas. Amarahnya benar-benar terpancing mendengar des*han, dan ucapan tak lazim adiknya berulangkali menyebut nama sang suami, bahkan dengan nada begitu manja

Jika tak memikirkan Azka, mungkin Rahma sudah ambil pisau, menendang pintu kamar itu sampai hancur, lalu melenyapkan dua orang di dalam sana!

Sakit hatinya tak terkira mendengar dua orang itu makin terkikik bahagia. Tanpa melihat pun sudah jelas apa yang sedang mereka lakukan.

Raut wajah Rahma sontak berubah. Beranjak berdiri dalam gerak kasar, ia mengusap basah di wajah sebelum lari ke luar rumah.

Rahma mengetuk beberapa rumah tetangga, meminta tolong dengan sangat.

Dalam keadaan rambut awut-awutan, muka pucat pasi ia menjelaskan masalahnya sambil menahan tangis. Hitungan detik kemudian, puluhan tetangga langsung menyerbu rumah Rahma dalam gerak cepat.

"Tolong bawa Azka, Bu Ida!" Seorang tetangga langsung mengangkat bocah yang sudah hampir terlelap itu menjauh dari rumah.

Tanpa banyak ribut pintu ditendang bergantian dua bapak tetangga yang bertubuh besar. Dalam sekejap pintu sukses terbuka lebar. Puluhan pasang mata di depan pintu, langsung tertuju pada dua orang yang tengah panik berusaha menutup badan, tampaknya pakaian mereka masih belum sempurna terpasang.

"Mas Harlan! Safea! Set*n kalian, ya!!" teriak Rahma histeris.

Dua orang di dalam itu makin panik saja, Safea lari merapat ke sudut, menutupi bagian tubuh yang masih terbuka di balik gorden. Sementara Harlan sudah menarik selimut, melilitkan cepat ke tubuh bawahnya.

Menyaksikan itu Rahma dengan mata kepala sendiri membuat berubah bagai singa kelaparan. Ia lari menerjang, menarik rambut panjang Safea sambil memaki-maki perbuatan kotor adiknya itu.

Tangis kesakitan Safea tak didengarkan, satu tangan Rahma bahkan mencakar sembarang tubuh gadis cantik berkulit seputih susu itu.

Rahma dulu adalah gadis tomboy, cukup bar-bar bertindak jika orang tersayangnya disakiti orang lain. Dulu ia sering berkelahi demi menjaga Safea yang sering digoda lemah, sekarang kenapa justru Safea yang menyakitinya?

Warga berhasil melerai, saling menjauhkan keduanya.

“Apa yang ada di otakmu, Fea? Apa?!” Rahma membuang gumpalan rambut Safea yang tercabut dalam genggaman. Ia masih marah meski melihat wajah cantik mulus Safea sudah berdarah terkena cakarannya.

Safea menangis keras sambil mengaduh.

Harlan jadi bingung, akan kabur ataukah bertahan. Sementara pakaiannya belum lengkap terpasang. Tanpa mau terlibat panjang urusan adik kakak itu ia pun lari keluar kamar. Namun, belum sempat melewati banyak orang di dekat pintu, Rahma yang juga marah padanya sempat menyambar gunting di meja, dan menghadiahkannya ke punggung Harlan.

"Arrgg!" Harlan memekik dengan suara serak.

"Itu untuk rasa sakit hatiku, Mas! Sakit! Bahkan lebih dari ituu!!" teriak Rahma keras.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status