Share

Part 3 Pertemuan Berujung Tragis

Rahma kembali bekerja tadi pagi, ia harus menjalani hari seperti biasa untuk bertahan hidup. Pekerjaan lancar dan tetap bisa mendapat gaji.

Ia tidak bisa membawa serta Azka yang masih tidur, tapi jadi sedikit tenang saat Bu Ida dan Wiwin mengatakan akan bergantian menjaga putranya sementara.

"Maaf Mbak, tadi Azka dibawa sama mertuamu. Ibu tidak bisa menahan,” tutur Bu Ida dengan raut menyesal. Namun senyum lembut Rahma membuat wanita itu menarik napas lega.

“Gak apa, Bu Ida. Sekarang saya juga belum tahu harus apa dan ke mana, biar Azka tenang dulu sama neneknya.” Rahma mengusap keringat usai bersepeda di tengah hari yang panas.

“Iya, ibu pikiran logis begitu yang harus kamu pertahankan. Hadapi dulu urusan ini sampai selesai. Sana istirahat, kalau belum makan makan dulu, masih ada lauk di bawah tudung saji.” Bu Ida menganggapnya sudah seperti saudara, Rahma bahkan diminta tak segan, dan menganggap ini di rumah sendiri.

“Terima kasih banyak, Bu.”

Hati Rahma dipenuhi haru. Di saat orang tua juga menyalahkannya, masih ada tetangga baik yang tulus perhatikan.

Tadi ia ditelepon ibu, bukan dukungan yang didapat malah dampratan kalimat bernada sengit. Menurut mereka, tindakan ia mengundang tetangga menangkap basah adik dengan suami dianggap sangat salah. Mempermalukan keluarga.

"Kamu dengar jelas ini, Rahma! Kami sakit hati dengan perbuatanmu dibanding perbuatan Safea. Lebih sakit!!"

Kalimat bapak yang sangat ia hormati serasa begitu menusuk, mengiris luka semakin terbuka dalam.

Dari yang ia dengar, cakaran kukunya melukai kulit mulus sang adik. Tangan, wajah, leher, pun kepala Safea sakit hingga sekarang.

"Kamu itu memalukan keluarga saja!"

Agh! Andai bisa menahan diri kemarin … tapi hati Rahma kembali membantah tidak bisa terima perbuatan Safea pada suaminya.

Ini kelakuan gadis tidak punya otak, orang tidak sekolah saja pasti mikir jutaan kali melakukan. Ini? Katanya Safea di sekolah itu lebih pintar darinya dulu, tapi kenapa sampai mau mes*m dengan suami kakak sendiri!

Adik yang diharap bisa mengangkat nama keluarga ternyata berbuat miris.

Rasa geram muncul lagi hingga menyesak dadanya.

Harlan bukanlah orang yang bisa diandalkan. Lelaki itu dipecat karena ketahuan menyelip uang dari tiap laporan, awalnya dibiarkan ternyata sebuah jebakan untuk bukti kuat mengeluarkannya tanpa pesangon. Masih beruntung pihak kantor tidak menyeretnya ke penjara.

Atas nama dukungan pada suami Rahma rela menggunakan uang modal jualan pakaian untuk bayar kerugian perusahaan. Berharap Harlan melihat pengorbanannya, menyesali dan mau berubah lebih baik.

Namun, harapan Rahma tinggallah hanya harapan. Harlan tidak berniat mencari pekerjaan baru, malah keenakan ongkang-ongkang kaki sampai isi dompet kering, modal barang kurang, susu Azka habis, dan beras di rumah tinggal sekaleng.

Mertua yang masih bisa bergaya dan tampak berkecukupan seperti sengaja tak ingin tahu apa-apa. Hanya ibunya Rahma yang sering mengirim makanan melalui Safea, tapi malah ada kejadian begini.

Malam ini, Rahma berusaha tidur meski berurai air mata. Mertua tidak perbolehkan mereka kontak sama sekali walaupun hanya via telepon. Terbayang di pelupuk mata Azka pasti menangis mencarinya.

Wanita berparas manis tanpa polesan make up itu mencoba tegar, meski merasa ada yang hilang dari hati.

*

“Biar mulut mereka menyalahkanmu, tapi yakin aja hati mereka sebenarnya tahu kamu benar, Rahma.”

Dukungan kalimat Bu Ida menambah optimis ia bisa melalui semua dengan tenang.

“Sudah siap?” Bu Ida bertanya sebelum mereka berangkat ke rumah Pak RT.

Pagi ini jam Sembilan pertemuan itu dilaksanakan. Rahma sudah izin pada majikan tidak masuk kerja hari ini.

“Lihat apa yang kamu lakukan, Rahma?! Sedunia jadi tau! Kita jadi tontonan orang!"

Begitu datang ibu menarik Rahma, memukul-mukul lengannya dengan kesal. Ia disuruh melihat kondisi Safea yang juga turut hadir lebih dulu tadi.

Gadis bertubuh sintal itu tertunduk, terlihat pipi kanannya bergaris panjang acak, luka cakaran kuku dalam. Di lengan, juga lehernya. Terlihat jelas karena bajunya tanpa lengan, dan rambut panjang dikuncir satu. Mungkin sengaja memperlihatkan lukanya.

Bu Ida mendampingi Rahma duduk di sebelah kiri Pak RT, masih satu deretan dengan keluarganya.

Tak sampai beberapa menit datang rombongan keluarga Harlan. Pertama masuk Bu Mira, dengan gaya mentereng baju warna merah terang, juga suara gemerincing gelang khas dirinya. Langkahnya disusul Harlan dan Hesti yang bergaya nyaris kembar dengan sang ibu. Dress selutut dengan tas tangan dan aksesoris persis, hanya beda corak dan warna.

“Kurang aj*r kamu Harlan!” Bapak Rahma berdiri, emosi melihat gaya menantu yang melenggang santai dengan masih berkacamata hitam. Sikapnya seolah tanpa rasa bersalah.

“Yang kurang aj*r itu anak-anakmu, Pak!” balas Bu Mira. Ia melihat pada Rahma, tudingan telunjuk dan makian keluar dari bibir merah darah, tanpa peduli ada empat perwakilan warga yang langsung melerai.

“Ingat, kita sudah sepakat tidak membawa masalah ini ke jalur hukum. Saya menghargai keinginan masing-masing keluarga, tapi kalau tidak mau dingin kepala ya terpaksa saya lepas tangan!” suara Pak RT membungkam mulut Bu Mira dan putrinya yang bersahutan dengan kemarahan bapaknya Rahma.

Sementara Rahma memilih diam demi suasana kondusif, ia hanya terpikir bagaimana perjuangkan Azka bisa bersamanya lagi. Ini tadi anak itu tak dibawa. Mungkin tinggal bersama Hasna

Setelah semua sudah bisa menahan diri untuk tidak menyela pembicaraan, Ketua RT mulai membuka suara.

Di awali dari duduk permasalahan, yaitu Harlan berbuat zina dengan adik ipar.

“… dua bulan, Pak ...” Sambil menyugar rambut, lelaki yang tak mau melepas kacamata itu menjawab pertanyaan sudah berapa lama berhubungan dengan Safea.

“Berhubungan badan sudah puluhan kali,” lanjutnya santai.

"Astaghfirullah ...," Rahma benar-benar tidak mencurigai hal itu sejak awal.

"Yang murahan itu ceweknya, si Safea kenapa mau-maunya ke sana, sudah tau Rahma lagi di luar!" desis Bu Mira sembari melirik tajam sosok Safea.

Orang tua Rahma menegang, menahan beban malu luar biasa. Ingin membalas kata seketika dihentikan ketua RT.

"Biarkan Mas Harlan bicara dulu."

Setelah Harlan mengakui hubungan terlarang itu, ia katakan akan menceraikan Rahma saat ini juga.

Safea yang tadi diam tiba-tiba menyambung ucapan Harlan, “Pak RT, aku juga sekalian mau ngomong di sini. Em, kami ... maksudnya aku juga terbuka minta tanggung jawab Mas Harlan atasku di depan semua-“

“Safea?” bentak Rahma, Bu Ida langsung menahan tangannya, mengisyaratkan untuk tenang.

Ibu bapaknya Rahma juga protes dengan kemauan Safea. Lebih baik menahan malu daripada menikahi lelaki sudah jelas rusak adabnya.

“Fea, apapun yang sudah terjadi lepasin diri kamu dari lelaki busuk ini! Kamu bisa nyesal!” Rahma mengingatkan adiknya.

"Cukup aku saja yang merasakan, Fea … gimana pun mbak menyayangimu."

“Nggak bisa, Mbak. Mas Harlan udah lama janji nikahin Fea, ya ‘kan, Mas?” Semua mata memandang lelaki yang tertegun, tengah mencubit-cubit ujung dagunya.

"Apa? Kapan?" Harlan berlagak polos.

“Aku hamil anakmu Mas!” ucap gadis belum setahun lulus SMA itu. Kalimat yang mengguncang hati semua.

Bapaknya Rahma di ujung kursi sontak ternganga, lalu terkulai lemas. Begitu pun Bu Mira yang sama kagetnya mendadak sesak napas, asmanya kumat.

Suasana jadi panik, riuh tangis Hesti, dan pekik amarah Harlan pada Safea.

Rahma segera mendekati bapak yang sudah tak sadar.

"Semua jadi rusuh begini karenamu juga Rahma!" Kemarahan Harlan berpindah padanya.

Pak RT membentaknya untuk diam.

"Biar skalian ribut, Pak! Aku talak dia sekarang! Aku talak kamu hei wanita bau terasi! Kita cerai!" teriak Harlan penuh emosi.

Rahma tak menggubris kegil4an lelaki itu, tetap melanjutkan bantu mengangkat bapaknya ke luar, lantas masuk ke mobil tetangga yang sudah dibuka pintunya.

"Maafkan Rahma sudah bikin Bapak sakit …." Di perjalanan menuju rumah sakit Rahma tak lepas memegang tangan bapak.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status