Share

Part 4 Masih Ada Orang Baik

Masalah bertubi-tubi hadir, bertambah besar sampai menelan nyawa sang bapak.

“Semua ini ya salah kamu! Ibu tidak sudi lihat mukamu itu lagi!"

Wajah menua dengan kantung mata bengkak itu menunjuk kening Rahma, terus menyalahkan Rahma atas kematian suaminya.

Serangan jantung tiba-tiba telah merenggut nyawa kepala keluarga ini. Orang yang paling disalahkan adalah Rahma, karena semua bermula dari kasus rumah tangganya.

“Harusnya kamu tenang dulu, bukan gegabah ngundang warga. Begini ‘kan jadinya. Toh kamu bisa bicara dengan Harlan, Safea, biar diselesaikan baik-baik.” Kakak lelaki tertua Rahma menyampaikan pendapatnya.

Dua kakak lelaki yang tinggal di luar kota datang, dan pulang tadi, dua hari setelah pemakaman bapak. Mereka pergi meninggalkan kesan kata yang juga menekan letak kesalahan juga ada pada Rahma. Sungguh, tidak ada yang peduli sakit yang Rahma rasakan.

Ini bukan perselingkuhan biasa, Mas! jerit batin Rahma. Seberapa keras ia membenarkan tindakannya melabrak dua orang mes*m itu, tetap saja ia dianggap salah.

Kalimat perih hanya tertelan dalam benak tanpa ingin lagi ia keluarkan. Walau hatinya belum ikhlas terima dipersalahkan semua orang.

Rahma anggap hubungan sudah selesai dengan Harlan, saat lelaki itu terus teriakan talak atas dirinya di depan umum, juga di rumah sakit. Harlan dan Hesti memang menyusul membawa sang mama ke Unit Gawat Darurat, setelah Bu Mira tak sadar bukan hanya karena kambuh asma, tapi terkena serangan stroke ringan.

Efek pengakuan Safea dan tuntutannya dinikahi Harlan sungguh dahsyat untuk kedua keluarga itu. Sudah malu, harusnya putus hubungan saja, tapi ini malah semakin malu lagi karena ada jabang bayi di kandungan adik Rahma. Haruskah mereka menambah dosa, dengan mengikat hubungan terlarang itu dalam pernikahan?

“Apa, sih, yang ada di pikiranmu, Fea? Tanggung jawab kamu urus anak itu sendiri!” Rahma jengkel, tidak habis pikir dengan apa yang diinginkan Safea.

Sangat ngotot ingin dinikahi Harlan, si kakak ipar yang belum resmi jadi mantan suami mbaknya? Ah, yang benar saja. Tidak adakah lelaki lain di dunia selain laki-laki bopeng itu?

“Pokoknya ibu tidak mau banyak menanggung malu lagi, kamu gugurkan saja anak itu, Fea. Almarhum bapakmu juga tidak rido sampai begini rusaknya kamu!” Tami sebagai ibu juga tidak ingin itu terjadi.

“Iya, Mbak, aku kenal ada dukun kampung yang bisa. Sebelum makin besar perutnya Safea," tambah tantenya Rahma yang sedang ada di rumah mereka saat ini.

"Kenapa sih pada mikir mau bunuh janin ini?" Safea memeluk perut yang masih kempis, menatap jengah beberapa saudara ibunya yang berpikiran sama.

“Mending dibuang daripada jadi istri lelaki bekas kakakmu, Fea.”

"Kalau saya, setujunya Fea tanggungjawab urus anak itu, Bu, Tante semua. Gimanapun anaknya gak salah-"

“Fea gak mau! Kalo kalian paksa Fea nurut mau kalian, lebih baik aku mati aja!” Gadis itu menghentikan suara Rahma, bangkit dari duduknya, menghentak kaki lari ke kamar.

Gaduh di rumah tua ini terjadi lagi melihat kelakuannya.

"Yasudah! Lakukan apapun maumu, Fea!" teriak Rahma tak bisa menahan geram. Dalam hidup ia merasa sudah luapkan sayang tulus pada adik perempuan satu-satunya itu, tapi perbuatan sudah tak bisa membuat sayangnya kembali seperti dulu lagi.

"Ini juga gara-gara kau, Rahma!" Bu Tami balik memarahinya.

"Kenapa jadi aku lagi yang salah, Bu?"

Memang kamu yang sudah memulai kekacauan ini! Kamu pikir siapa? Sudah jadi bisa jaga suami! Kamu juga membiarkan adikku dekat dengan laki-laki tidak berguna itu!"

"Terserah Ibu bilang apa, semua yang aku lakukan pasti salah di mata Ibu."

Rahma ke kamarnya menyambar tas. Ia memang tinggal di rumah ini saat bapak tiada sampai tahlilan terakhir semalam. Setelah libur kerja di hari duka lalu, pagi ini Rahma berangkat kerja lagi.

Gontai ia mengayuh sepeda butut yang satu-satunya tersisa, setelah motornya dijual Harlan dulu.

Rahma sejak kecil dekat dengan bapak, mungkin karena itu ia sedikit tomboy dan labij mirip bapaknya. Kulit Rahma agak gelap, beda dengan Safea yang putih persis ibunya. Pun makin mulus saat Safea remaja sudah kenal dengan beragam produk kecantikan dan perawatan.

Rahma yang berbeda pernah jadi bahan bully kalau ia bagai bumi langit dengan Safea. Kata-kata pedas, dan cara ibu membandingkan mereka berdua pun kerap masuk keluar telinganya.

Dulu, selepas lulus SMA orangtuanya tiba-tiba saja memberitahu sudah menerima lamaran Harlan, tanpa bertanya keinginan atau pun cita-citanya.

"Mumpung ada yang mau sama kamu, si Harlan juga sudah kerja. Apa salahnya?" Nada kalimat ibu itu terasa meremehkan, seperti ia tidak bakal laku saja.

Namun Rahma tak berdaya menolak, kasihan melihat wajah bapak yang seperti menanggung banyak beban akhirnya ia memilih patuh saja. Rahma muda pun menjalani kehidupan rumah tangga semampunya, belajar dewasa dari waktu ke waktu, terutama sejak kehadiran Azka.

Desir rindu pada putra kecil yang masih ditahan di pihak keluarga mertua serasa menyayat hati Rahma. Membuat jiwanya lelah. Lebih lelah dari kaki yang mengayuh sepanjang satu setengah kilometer ini.

Di saat sudah kondusif nanti, ia ingin segera membawa Azka bersama lagi.

*

“Kok sudah kerja? Padahal nggak pa-pa istirahat dulu. Kami tidak apa-apa kamu libur dulu, Mbak, kami paham masalahmu berat bertubi-tubi." Majikan perempuan dengan tatapan iba menyambut kehadiran Rahma di rumahnya.

“Kalau nggak kerja saya malah ngelamun terus, Bu."

“Ya sudah, tapi jangan paksakan diri, ya. Ibu ga mau kamu sampai sakit."

“Iya, Bu. Saya ke belakang dulu.”

“Iya, iya.”

Sendu mata majikan memandang punggung Rahma yang terlihat layu. Wajah kuyu wanita muda itu masih tampak, tapi ia terlihat berusaha tegar.

Kasihan sekali nasibmu, Rahma ....

Wanita berkacamata ini tidak bisa membayangkan berat beban pembantunya itu, sudah melihat suami berbuat tak senonoh dengan adik sendiri, lalu ditinggal bapak untuk selamanya, cobaan bagai ditimpa reruntuhan langit. Amat berat.

Rahma segera sibuk mengambil alih pekerjaan rumah ini, dari mencuci perkakas dapur bekas makan majikan di wastafel, lalu membersihkan dalam rumah mulai depan sampai gudang. Kamar mandi pun tak lepas ia sikat dan kuras isi baknya.

Keringat mengucur membasahi bajunya tak dipedulikan. Semakin bergerak kian ia merasa lepas beban hati.

Energinya mau ia tumpahkan untuk bekerja, dibanding membuang percuma memikirkan apa yang sudah terjadi.

*

Rumah sakit tempat keluarga Rahma datang kembali dengan wajah-wajah cemas. Safea dikabarkan nekat minum banyak obat sakit kepala bertanda lingkar merah di kamar tadi. Obat keras itu sempat tertelan saat aksinya dihentikan saudara yang mendobrak pintu.

Gadis itu marah dihentikan, bersikeras ingin mati hingga jatuh tidak sadarkan diri.

Keluarga Bu Tamu menelepon Harlan, meminta pertanggungjawabannya.

Di lain tempat, masih di rumah sakit yang sama, Harlan tengah menjaga ibunya di ruang rawat bagian syaraf. Ia belum menemui Safea karena masih terpukul melihat sang mama. Wanita yang selama ini banyak mendukungnya masih belum bisa bangun.

Terpekur di tempat, lelaki pengangguran ini menyimpan amarah mendalam pada Rahma.

"Dasar Terasi! Ini semua gara-gara dia!" desisnya mengepal tangan.

Tak lama, matanya berubah menyipit, mengingat sosok Safea yang menarik. Tubuh sintal semua bagian yang disukainya padat berisi.

Pikiran tentang keindahan Safea menyambung pada kondisi sulit Harlan sekarang. Safea bisa dengan mudah ia manfaatkan. Lalu senyum tipis terbit di bibirnya yang lebar.

Ada rencanakan lama yang belum selesai. Harlan terkekeh tanpa suara sambil mengusap wajahnya.

*

“Sudah, Mbak Rahma. Besok lagi.”

Majikan tidak tahan melihat Rahma tanpa henti mengerjakan semua, ia mendatangi Rahma yang tengah menggosok pakaian di ruang setrika.

“Nggak apa-apa, Bu ….” Dari jawaban tersendat-sendat sudah jelas kalau Rahma sangat lelah.

“Ini gajimu bulan ini, saya kasih dulu sekalian buat bantu nanti tujuh hari bapakmu.”

Tergagap Rahma menerima. “Tapi inikan belum tanggal 17, Bu.” Mengingat masih lima hari lagi tanggal gajiannya.

“Tidak apa saya kasih sekarang saja. Mbak Rahma pulang aja istirahat. Gosokkan sisanya buat dikerjakan besok lagi."

Setelah menyimpan amplop ke saku baju baby doll'nya Rahma kembali lanjutkan pekerjaan.

“Sisa sedikit lagi, kok, Bu.”

“Kamu jangan terlalu memaksa diri. Sekali-kali sayangi diri sendiri, Mbak. Kamu itu aslinya manis hanya cuek dengan apa yang dipakai.”

Rahma menaruh alat gosokan, lalu melihat penampilan diri yang memakai pakaian kusam.

“Ada kalanya kita menjaga penampilan supaya yang lihat itu merasa senang. Mata senang, hati jadi adem, gitu,” lanjut majikan yang masih menarik di usia menua, membuat Rahma mengangguk dan tersenyum sedikit malu. Secara penampilan ia memang kalah jauh dari sang majikan.

“I-iya, Bu.”

“Sudah sana, tinggalin aja, besok lagi.” Rahma terpaku melihat majikannya mengambil alih setrika, mencabut kabelnya. “bukannya ngusir, ya, Mbak, tapi apa kamu nggak mau ketemu Azka? Belikan apa kah dari duit di amplop itu.” Lirik jenaka wanita ramah itu pada kantong baju Rahma yang menebal.

Mau tak mau garis bibir Rahma melengkung ke atas.

“Terima kasih banyak, Bu. Iya, saya mau belikan mainan sama susu buat Azka.” Girangnya hari Rahma bisa pulang sebelum sore hari. Biasanya pulang pukul empat atau setengah lima setelah membantu siapkan makanan malam. Sekarang masih jam dua siang.

“Eh, Mbak Rahma.”

“Iya, Bu?”

“Kamu nggak mau kan nanti Azka nolak dipeluk karena bau keringat?”

Rahma melihat penampilan sendiri. Tubuhnya memang basah keringat sejak pagi tadi.

“Di depan kamar mandi itu ada baju bekas anak saya, kamu mandi dulu. Nanti sepedanya tinggalin aja, pakai motor hitam di garasi. Kuncinya di meja,” kata wanita itu lagi, membuat Rahma tercengang sekaligus senang.

Rahma mengiyakan sambil berterima kasih.

Usai mandi Rahma pergi menggunakan motor sang majikan. Padahal tadinya ia mau naik angkutan kota saja ke rumah mantan mertua yang cukup jauh jaraknya dari sini.

Dunia itu berwarna, di antara orang-orang tidak baik, pasti ada satu atau dua orang lain yang kebaikannya tak pernah terterka. Karena itu Rahma semakin optimis dengan harinya bersama Azka ke depan.

Ia yakin, pasti masih ada banyak orang baik yang akan membantunya suatu hari nanti. Manusia-manusia berhati malaikat seperti sang majikan.

Bersambung ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status