Share

Kenalan

“Syukurlah kakinya gak apa-apa ya Bos. Aku sempat kira patah semalam.” Lelaki gemuk bicara sambil melihat pria gondrong di sebelahnya yang tengah mengusap wajah.

“Motornya enggak rusak parah, kan?” Pria bernama Dimas itu menepuk bahu pegawai sekaligus temannya.

“Gak sih, langsung ke bengkel tadi. Sudah bisa hidup, tapi nanti cek lagi.”

“Ya sudah, tinggalin aja aku, thanks udah bawa baju gantinya. Biar aku urus semua sampai beres dulu di sini.”

“Siap, Bos.” Lelaki itu memberi hormat layaknya pada komandan, tapi sudut bibirnya terangkat. “Perhatian banget, awas pake hati loh.”

Ucapannya segera mendapat hadiah toyoran di dahi. Bukannya marah lelaki berwajah jenaka itu malah terkikik geli.

“Mbaknya manis banget kayak gula,” desisnya sebelum beranjak. Lalu tawa lebar tanpa suara sembari gesit menjauh begitu melihat reaksi pria berjaket kulit mengepalkan tangan ke arahnya.

Sepeninggal temannya Dimas pun masuk rawat. Sedikit terkejut ia melihat wanita di bed sudah duduk sambil melihat balutan perban di kaki dan tangan kirinya.

“Ehm, hei, gimana? Udah kurang sakitnya?”

“Su-sudah gak pa-pa, kok, Pak. Saya mau pulang,” jawab Rahma sembari menggerakkan kaki akan turun dipan rawat.

“Jangan gerak dulu, Mbak. Sementara ini kamu masih harus dirawat. Biar dicek lagi luka-lukanya.” Pria itu menahan kedua bahu Rahma.

“Maaf, Pak. Saya sudah sehat, kok. Saya baik-baik aja. Cuma luka kecil.” Pegangan tangan lelaki itu dilepasnya.

Rahma sudah merasa tidak nyaman sejak semalam. Di ruang ini, saat ia diputuskan dirawat sementara untuk melihat perkembangan luka di tulang keringnya, cuma lelaki asing ini yang bolak-balik menjaga. Kadang keluar, kadang masuk. Sepertinya pria itu juga tak enak bersamanya berduaan di dalam.

'Bisa saja dia sudah beristri. Bukannya pulang tapi malah di sini nungguin aku,' pikir Rahma gelisah. Ia sangat tahu sakitnya rasa cemburu dan marah andai istrinya tahu sang suami bersama wanita lain.

Rahma menahan nyeri di kaki kirinya saat berusaha turun. Bermaksud coba menapak biar yakin kakinya baik-baik saja.

“Sebentar, jangan dipaksa dulu. Biar ku panggilkan perawat.” Sigap Dimas membantunya kembali naik ke dipan.

Tulang kering kaki Rahma terluka cukup serius, bekas terhimpit motor dan sisi trotoar yang lancip.

“Maaf, sudah bikin kamu luka. Ini sama sekali enggak sengaja. Aku nyetir sambil ngantuk berat.” Lelaki itu kembali jelaskan kesalahannya. Padahal tadi malam sudah berulang dikatakan. “Aku akan yakinkan kamu sampai sehat untuk bayar kesalahanku, Mbak."

“O ya, kita belum kenalan. Aku Dimas. Jangan panggil 'Pak' lagi, masih umur 28 tahun.” Dimas mengulurkan tangan. Selama ini banyak yang memanggilnya begitu, mungkin sebab ia cuek dengan penampilan, membiarkan jambang dan kumis tipis tumbuh bertebaran. jadi terkesan seperti bapak-bapak.

“Rahma.” Tangan kanan Rahma menyambut telapak kokoh itu.

“Ah, ya kenapa aku nggak boleh hubungi keluargamu, Rahma? Kamu nggak bisa sendiri begini.”

Tadi malam lelaki ini berniat membantu menghubungi keluarganya. Tapi urung karena Rahma melarangnya keras. Kalau tidak, mungkin sekarang ruang ini sudah penuh keluarga yang entah akan kasian ataukah justru menyalahkannya lagi.

Rahma tak ingin mengganggu mereka yang tengah berbahagia menyiapkan pernikahan Safea.

'Luka sekecil ini bisa kulewati sendiri.'

“Cuma luka sedikit. Masih bisa sendiri,” sahutnya kemudian membuat Dimas mengangguk-angguk. Mencoba mengerti.

Rahma benar, suntik anti nyeri lewat infus tadi malam sudah cukup mengurai rasa sakitnya, lengan yang lecet juga sudah tak begitu sakit. Ia merasa sudah kuat dan bisa pulang sekarang.

“Bisa tolong tanyakan apa aku bisa pulang?”

“Oh, iya. Sebentar.”

Pria tegap bercelana jeans belel itu keluar, lalu segera kembali bersama seorang perawat.

“Saya mau pulang, Suster,” kata Rahma bernada memaksa.

“Iya, tapi kita harus nunggu visit dokter dulu, Bu. Kalau beliau izinkan pulang baru kami lepas infus dan ibu bisa pulang,” ujar perawat muda itu tenang sambil perbaiki plester penahan jarum infus yang setengah terbuka.

Tadi Rahma hampir melepasnya sendiri.

Rahma akhirnya pasrah, karena Dimas menjanjikan pada suster itu kalau mereka akan menunggu sampai dokter datang.

Setelah perawat keluar Dimas kembali mendekatinya.

“Sabar dulu, aku takut disalahkan kalau ada apa-apa denganmu.” Lalu ia menoleh pada makanan di nakas. “Ini sarapan dari rumah sakit kenapa gak dimakan?”

“Berapa biaya semua, Dimas?” tanpa melihat makanan itu Rahma malah menanyakan hal lain.

“Ya ampun, kamu pikir aku gak bisa bayar, hem? Tenang saja uangku banyak di dompet.” Dimas coba bercanda agar wanita itu tidak terlalu kaku.

Rahma mendongak, balas menatap bola matanya. Lelaki sombong beginilah yang suka menebar pesona pada perempuan. Padahal baru saja kenal dia sok akrab. "Saya akan catat biaya pengobatan ini sebagai utang saya pada Bapak."

Senyum Dimas menguap. Tatapan dingin namun penuh luka dalam manik Rahma itu terasa menggores halus hatinya.

'Kenapa dengan perempuan ini?'

“Nanti tolong berikan catatannya. Ini musibah, Pak, sudah takdir saya, jadi bukan kesalahan Pak Dimas.”

“Oh, okey, kalau kamu mau ganti sih gak apa-apa.” Merasa kalah, Dimas berbalik akan duduk di kursi sudut ruang. Meredam perasaan aneh di dada. Dua kali ia menyugar rambut sebahunya ke belakang untuk menyelami apa dirasakan barusan.

Matanya sesekali mencuri pandang pada wanita yang mengambil wadah makanan di nakas, samping bed. Makan tiga sendok dalam diam, dan mengakhirinya dengan minum. Menunggu visit dokter ia kembali duduk setengah berbaring seraya menatap kosong arah jendela.

Baru sekarang hati Dimas merasa tertarik ingin tahu urusan orang lain. Biasanya ia cuek tak peduli. Banyak tanya di kepalanya tentang apa yang dirasakan Rahma.

.

Bab selanjutnya nanti jam 11 yaa. Bantu dukung cerita ini teman-teman. makasihh

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status