“Telepon siapa, Ra?” Saat bersiap ke kantor Dini melihat Rahma menarik napas panjang usai menutup telepon. Ia baru mengaktifkan ponsel dan menelepon seseorang.“Habis telepon Ibu, Mbak. Anakku katanya lagi kurang sehat. Aku mau pulang pagi ini, Mbak Dini."“Iya nggak apa, Ra. Semoga anakmu cepat sehat." Dini menyentuh pundak Rahma, memberikan dukungan kalau ia pasti bisa melewati semua."Aamiin. Makasih banyak ya Mbak. Kebaikan Mbak Dini nggak akan saya lupakan seumur hidup.""Jangan berlebihan. Justru kamu yang banyak bantu mbak. Mbak akan kangen nggak ada teman ngobrol lagi. Pokoknya jangan marah kalau mbak minta Dimas jemput kamu buat ke sini. Bawa Azka juga tentunya, hum?"Rahma mengulas senyum haru. “Aku juga akan kangen sama Mbak Dini.""Nunggu Jay dulu Ra buat anterin.”“Enggak usah, Mbak Din. Aku naik taksi online saja. Bisa minta nomernya kalau mbak Dini punya langganan?”Rahma belum pernah naik taksi daring sebelumnya. Ia terbiasa pakai sepeda, atau angkutan umum.“Nanti ak
“Mau kamu bawa ke mana cucuku, Rahma?!” Bu Tami menghadang Rahma yang menggendong Azka keluar rumah.“Azka aku bawa, Bu.” Wajah anak itu pucat, jika belum membaik nanti Rahma bermaksud membawanya berobat.“Jangan! Azka jangan dibawa keluar dari sini! bentak Bu Tami."Jangan kamu bawa anakku!" Harlan pun ikut-ikutan, ia loncat berdiri dari duduknya."Mau ngapain Mbak bawa Azka? Diajak nginap bareng gitu?"Rahma menatap geram Safea. “Jaga mulutmu, Fea! Aku ibunya Azka, jadi siapa pun nggak boleh melarangku bawa anakku!” Gegas langkahnya bergerak menjauh dari teras. Namun tertahan Bu Tami menarik punggung bajunya. Harlan bergerak cepat meraih tubuh Azka yang ditahan Rahma kuat. Tarik-tarikan itu membuat Azka menangis.“Azka lagi sakit, Mas! ” pekik Rahma dengan mata berkilat. “Dia juga anakku! Ngapain kamu bawa dia! Di sini ada bapaknya ini! Pura-pura lugu kamu, padahal kamu mau main gila bawa anak-“"Tutup mulut anda!" Dimas menyela, badannya berdiri menghalangi Harlan dari Rahma. Memb
Rahma kembali berada di rumah Dini. Ia sekuat mungkin bersikap tegar, walau menahan malu di bawah belas kasihan mereka.Wanita bermata bulat ini mengurai senyum sebisa mungkin, meski di dalam dada luka hati masih berdarah. Rahma tak ingin murung dan menjadi beban orang lain, atau membuat suasana rumah ini jadi tidak nyaman karena kehadirannya.Cahaya keoptimisan harus tumbuh dari diri sendiri. Meski Dimas tulus menawarkan cinta yang belum bisa dijawabnya untuk sementara ini."Kita akan melewati apa pun bersama ke depannya. Ini bukan janji kosong, Rahma. Ini janji untuk diriku sendiri, dari rasa yang aku punya untukmu." Di perjalanan ke sini kemarin sore Dimas mengucapkan kalimat itu sambil menggenggam jemari kanannya.Tak dipungkiri ada kenyamanan dan ketenangan yang dirasa, tapi lelaki baik itu bukan utama sekarang. Membuktikan pada ibu kalau telah salah menilai dirinya itu lebih penting. Ia berharap hubungan keluarga kembali membaik demi Azka.Masalah asmara belum terbersit, Rahma m
Bu Tami mengerut dahi melihat Safea datang menenteng banyak belanjaan. Dua paperbag sedang di tangan Safea, lalu Harlan membawa plastik belanjaan penuh di kedua tangan.“Ini buat Ibu.” Satu plastik merah Safea tinggalkan ke pangkuan ibunya, sambil berlalu ke kamar. Bu Tami melihat isinya dua lembar daster batik bermerk."Dari mana mereka dapat uang sampai belanja segitu banyak?" gumamnya pelan.Perasaan Bu Tami jadi sangat tidak enak. Apa lagi di dalam kamar yang terkunci terdengar Harlan dan Safea kembali bicara berbisik-bisik, kadang keluar tawa yang segera ditahan dengan desis."Apa yang mereka sembunyikan dariku?"*Malam ini di rumah Dini ….Selepas makan malam Dini mengajak Rahma ngobrol di kamarnya.Mengingat di kantor tadi ia memikirkan pekerjaan yang cocok untuk Rahma. Namun, bukan akan mencari pekerjaan yang muncul, tapi sosok teman barunya itu menghadirkan lagi sesuatu yang dulu sempat terhapus dari mimpinya.Seorang perempuan sederhana dengan prinsip kuat, wajah alami, ta
Rambut ikal tadi terikat kini terurai menutupi wajah yang tertelungkup diantara lengan dan lutut. Hati Rahma merasakan perih menyayat atas kejadian tadi pagi. Meski bisa berpura kuat di depan orang lain, begitu di sini sendiri tangisnya pun tumpah. Andai di pantai mungkin ia akan menjerit kuat, teriakkan luapan rasa di dadanya sekarang ini."Kupegang kata-katamu, setelah selesai urusan segera menjauh dari putraku!""Mami?""Kamu melawan mami demi dia?! Mana kesopananmu, Jay?!"Keributan ibu dan anak itu karena alasan dirinya terasa menyakitkan Rahma. Andai Dimas tak segera diam dan membiarkan sang ibu memarahinya habis-habisan, mungkin akan menambah emosi wanita itu.Memang bukan salah hati merasakan cinta, tapi juga bukan kebenaran mengikutinya dengan harus menyakiti orang yang dicintai sejak kecil. Rahma tidak ingin Dimas melakukan itu pada ibunya. Alasan kenapa menangis sampai sesesak ini Rahma pun tak tahu, ia hanya merasa ada bagian hati yang lepas saat membohongi diri tak mempuny
“Nek ... apa Mama ada telepon?” Anak lelaki bermata bening itu bertanya sambil mendudukkan diri di pangkuan Bu Tami.“Oh, tidak ada, Ka. Handphone nenek sering bunyi itu ... orang salah sambung. Nomornya nenek tidak tahu,” dusta Bu Tami sambil menggeser benda kecil yang sudah dinonaktifkannya ke bawah kaki.“Kapan Azka ketemu Mama?” rengek bocah itu, mungkin merasakan kontak batin di sana sang ibu tengah memikirkannya.“Mama kerja, Sayang. Azka sabar. Kalau sudah libur mama pasti pulang.” Kalimat yang sama terucap untuk menenangkan cucunya ini.Bagaimanapun amarah dan kecewa pada Rahma, Bu Tami tak ingin cucunya menjadi korban kelakuan kedua orangtuanya. Ia lebih menyayangi cucu dibanding anak sendiri."Ayo main sana sama nenek." Pipi Azka dicium lama sambil menggelitiki perut anak itu hingga terkikik geli. Keduanya tertawa bersahutan saat si bocah bisa membalas menggelitiki telapak kaki neneknya.Azka adalah pelipur lara, Bu Tami sekarang tak bisa jauh dari cucu tercinta ini.Bruk!
"Apa yang harus saya lakukan, Bu?" tanya lelaki kurus yang terlihat bingung, ia menerima kotak berukuran cukup besar dari majikannya.“Pokoknya sepintar kamulah ngomong, asal dapat di mana alamat rumahnya,” perintah wanita paruh baya itu."Ba-baiklah, Bu. Saya akan coba."Bu Hakim melipat tangan di dada. "Pokoknya harus dapat alamatnya, ya, Parman,. Aku tidak mau tau bagaimana caramu," ucapnya penuh penekanan, membuat sang supir mengiyakan meski ragu. Baru kali ini majikan memberi perintah cukup aneh padanya. Berpura menjadi tukang paket untuk mendapatkan alamat seseorang.'Aku mau lihat siapa keluarganya,' benak Bu Hakim sembari memandangi mobil yang dibawa sopir keluar dari halaman.Saat akan berbalik masuk matanya jadi cerah melihat kehadiran sebuah mobil sedan putih datang. Seorang gadis tinggi langsing turun, dan berjalan cepat menghampirinya. “Hai Tante." Nadine tersenyum lebar, penuh percaya diri."Oh, Nadine. Tante senang kamu dateng." Keduanya saling tempel pipi kiri kanan
Pulang dari rumah Dimas--usai jalan bertiga dengan Rahma--bibir Nadine terus mengerucut. Genggaman tangannya pada setir kuat, menggambarkan kesalnya teramat sangat pada perempuan yang baru dikenalnya tersebut.Meski tak diabaikan, tapi dari cara bicara dan tatapan Dimas pada Rahma nyata jauh berbeda dengan dirinya.Ia kesal hingga ke ubun-ubun Dimas malah mengajak serta perempuan itu pergi.Bagaimana ia lupa, perhatian Dimas pada Rahma menurutnya terlalu berlebihan."Suka yang mana, Sayang?" Dimas seolah sengaja membuat hatinya sakit.“Janda itu ditanya? Lah, gue mana pernah loe ditanya begitu, Jay!” decaknya sembari memukul setir.“Jay kok jadi bucin banget, heran, deh! Pasti perempuan itu ada apa-apanya. Ilmu santet atau apalah!" Sambil fokus pada jalan Nadine menggerutu sendiri.Bayangan wajah Rahma yang terlihat sok lugu, minta perhatian makin mengeratkan genggamannya pada setir.Tambah lagi wajah Dimas yang selalu semringah menanggapi. Tatapan untuk Rahma jelas terlihat begitu da