Bu Tami mengerut dahi melihat Safea datang menenteng banyak belanjaan. Dua paperbag sedang di tangan Safea, lalu Harlan membawa plastik belanjaan penuh di kedua tangan.“Ini buat Ibu.” Satu plastik merah Safea tinggalkan ke pangkuan ibunya, sambil berlalu ke kamar. Bu Tami melihat isinya dua lembar daster batik bermerk."Dari mana mereka dapat uang sampai belanja segitu banyak?" gumamnya pelan.Perasaan Bu Tami jadi sangat tidak enak. Apa lagi di dalam kamar yang terkunci terdengar Harlan dan Safea kembali bicara berbisik-bisik, kadang keluar tawa yang segera ditahan dengan desis."Apa yang mereka sembunyikan dariku?"*Malam ini di rumah Dini ….Selepas makan malam Dini mengajak Rahma ngobrol di kamarnya.Mengingat di kantor tadi ia memikirkan pekerjaan yang cocok untuk Rahma. Namun, bukan akan mencari pekerjaan yang muncul, tapi sosok teman barunya itu menghadirkan lagi sesuatu yang dulu sempat terhapus dari mimpinya.Seorang perempuan sederhana dengan prinsip kuat, wajah alami, ta
Rambut ikal tadi terikat kini terurai menutupi wajah yang tertelungkup diantara lengan dan lutut. Hati Rahma merasakan perih menyayat atas kejadian tadi pagi. Meski bisa berpura kuat di depan orang lain, begitu di sini sendiri tangisnya pun tumpah. Andai di pantai mungkin ia akan menjerit kuat, teriakkan luapan rasa di dadanya sekarang ini."Kupegang kata-katamu, setelah selesai urusan segera menjauh dari putraku!""Mami?""Kamu melawan mami demi dia?! Mana kesopananmu, Jay?!"Keributan ibu dan anak itu karena alasan dirinya terasa menyakitkan Rahma. Andai Dimas tak segera diam dan membiarkan sang ibu memarahinya habis-habisan, mungkin akan menambah emosi wanita itu.Memang bukan salah hati merasakan cinta, tapi juga bukan kebenaran mengikutinya dengan harus menyakiti orang yang dicintai sejak kecil. Rahma tidak ingin Dimas melakukan itu pada ibunya. Alasan kenapa menangis sampai sesesak ini Rahma pun tak tahu, ia hanya merasa ada bagian hati yang lepas saat membohongi diri tak mempuny
“Nek ... apa Mama ada telepon?” Anak lelaki bermata bening itu bertanya sambil mendudukkan diri di pangkuan Bu Tami.“Oh, tidak ada, Ka. Handphone nenek sering bunyi itu ... orang salah sambung. Nomornya nenek tidak tahu,” dusta Bu Tami sambil menggeser benda kecil yang sudah dinonaktifkannya ke bawah kaki.“Kapan Azka ketemu Mama?” rengek bocah itu, mungkin merasakan kontak batin di sana sang ibu tengah memikirkannya.“Mama kerja, Sayang. Azka sabar. Kalau sudah libur mama pasti pulang.” Kalimat yang sama terucap untuk menenangkan cucunya ini.Bagaimanapun amarah dan kecewa pada Rahma, Bu Tami tak ingin cucunya menjadi korban kelakuan kedua orangtuanya. Ia lebih menyayangi cucu dibanding anak sendiri."Ayo main sana sama nenek." Pipi Azka dicium lama sambil menggelitiki perut anak itu hingga terkikik geli. Keduanya tertawa bersahutan saat si bocah bisa membalas menggelitiki telapak kaki neneknya.Azka adalah pelipur lara, Bu Tami sekarang tak bisa jauh dari cucu tercinta ini.Bruk!
"Apa yang harus saya lakukan, Bu?" tanya lelaki kurus yang terlihat bingung, ia menerima kotak berukuran cukup besar dari majikannya.“Pokoknya sepintar kamulah ngomong, asal dapat di mana alamat rumahnya,” perintah wanita paruh baya itu."Ba-baiklah, Bu. Saya akan coba."Bu Hakim melipat tangan di dada. "Pokoknya harus dapat alamatnya, ya, Parman,. Aku tidak mau tau bagaimana caramu," ucapnya penuh penekanan, membuat sang supir mengiyakan meski ragu. Baru kali ini majikan memberi perintah cukup aneh padanya. Berpura menjadi tukang paket untuk mendapatkan alamat seseorang.'Aku mau lihat siapa keluarganya,' benak Bu Hakim sembari memandangi mobil yang dibawa sopir keluar dari halaman.Saat akan berbalik masuk matanya jadi cerah melihat kehadiran sebuah mobil sedan putih datang. Seorang gadis tinggi langsing turun, dan berjalan cepat menghampirinya. “Hai Tante." Nadine tersenyum lebar, penuh percaya diri."Oh, Nadine. Tante senang kamu dateng." Keduanya saling tempel pipi kiri kanan
Pulang dari rumah Dimas--usai jalan bertiga dengan Rahma--bibir Nadine terus mengerucut. Genggaman tangannya pada setir kuat, menggambarkan kesalnya teramat sangat pada perempuan yang baru dikenalnya tersebut.Meski tak diabaikan, tapi dari cara bicara dan tatapan Dimas pada Rahma nyata jauh berbeda dengan dirinya.Ia kesal hingga ke ubun-ubun Dimas malah mengajak serta perempuan itu pergi.Bagaimana ia lupa, perhatian Dimas pada Rahma menurutnya terlalu berlebihan."Suka yang mana, Sayang?" Dimas seolah sengaja membuat hatinya sakit.“Janda itu ditanya? Lah, gue mana pernah loe ditanya begitu, Jay!” decaknya sembari memukul setir.“Jay kok jadi bucin banget, heran, deh! Pasti perempuan itu ada apa-apanya. Ilmu santet atau apalah!" Sambil fokus pada jalan Nadine menggerutu sendiri.Bayangan wajah Rahma yang terlihat sok lugu, minta perhatian makin mengeratkan genggamannya pada setir.Tambah lagi wajah Dimas yang selalu semringah menanggapi. Tatapan untuk Rahma jelas terlihat begitu da
Bu Tami akan keluar rumah menemui Azka yang tengah bermain di pekarangan samping. Setelah mendapat kiriman dari ibunya kemarin, anak itu jadi anteng memainkan mobil mainan beroda trail bersama anak-anak tetangga. Mereka tengah menyoraki riang benda yang bergerak lincah itu."Seru banget mainnya." Senyum wanita itu merekah. Sebuah kendaraan berbodi panjang berhenti tepat di depan halaman, menarik perhatian Bu Tami."Eh, bukankah itu mobil yang kemarin mengantar mainan untuk cucuku?" Tak lepas memandang ia menunggu siapa yang akan turun dari kendaraan berkilau itu.Tampak lelaki yang kemarin datang sendiri itu keluar dari balik kemudi, membukakan pintu penumpang. Kaki seorang wanita bersepatu pentofel coklat mengkilap, dengan betis putih bersih. Mata Bu Tami bergerak naik, bertemu wajah wanita paruh baya bertahi lalat cukup besar di atas bibir. "Siapa ya?" gumamnya lirih.Dari penampilan sudah terlihat jelas wanita itu berkelas. Bu Tami spontan teringat menteri perempuan yang pernah
Selama di rumah Harlan, bibir Safea cemberut sepanjang waktu. Terlebih saat ibu mertua yang berwajah pasi di ruang sebelah terus mengerang tidak jelas.“Aaaa, uuuunggg …!” Suara Bu Mira makin keras membuatnya menutupi kedua telinga.Lekas beranjak, bukan mendekat tapi Safea malah mencari dua ipar yang lagi asyik cekikikan di kamar.“Hesti, Hasna! Tuh, dipanggil mamamu!”Kedua kakak beradik itu menoleh, lalu saling bertatapan.“Kak Hesti aja, Hasna lagi ada tugas.” Gegas bergerak dari kasur gadis berambut model bob itu menuju meja belajar, mengambil buku dan berpura membaca.“Kenapa nggak Mbak aja, sih?” kesal Hesti. Meski hampir seumuran dengan Safea, karena jadi kakak iparnya terpaksa ia memanggil ‘Mbak’.“Aku ini hamil, susah gerak. Masa gitu aja nggak paham,” alasan Safea sembari pergi.Komat-kamit bibir Hesti mengumpat tanpa suara, di belakang iparnya yang memegang pinggang.‘Perut masih kecil juga lagaknya kayak sudah mau beranak! Alesan!’“Apa sih, Ma? Ganggu aja!” gerutu Hesti
Getar terdengar dari ponsel Dimas dalam laci.“Eh, mungkin itu telepon Nadine lagi?” ujar Rahma mengingatkan.Dimas mengambil ponselnya. “Iya.” Ia perlihatkan pada Rahma 10 panggilan tak terjawab Nadine.“Kayaknya penting, Dim. Coba telepon balik.”“Kamu nggak papa?” Dimas menatapnya dengan raut memindai.“Ya nggak apa.” Rahma mengusap wajah pria itu gemas. Tangannya ditangkap Dimas, dan tidak dilepaskan lagi.“Oke kita coba telepon balik.”Nomor Nadine terhubung, baru sekali nada sambung sudah diangkat.“Jay lo sibuk apa sih kok susah banget dihubungin?!”Suara yang di’speaker itu membuat Dimas dan Rahma saling pandang.“Iya. Ada apa, Nad?” Dimas berusaha tenang. Sebelah kiri memegang ponsel, tangan kanannya erat menggenggam jemari Rahma.“Gue butuh lo sekarang, Jay. Pliss ke sini ….” Suara yang tadi keras berubah isak tangis. Sepertinya suara itu menggema, mungkin Nadine telepon dari kamar mandi.“Gue sakit, Jay ... gue cuma butuh elo di sini,” isak gadis di seberang makin menyayat