Sekilas Rahma melirik dua orang pengunjung di belakang Harlan, yang langsung memberi kode anggukan kepala padanya."Baiklah, Mas. Nggak usah lama-lama. Ini uangnya." Rahma merogoh tas, seolah akan mengambil uang. Harlan pun tersenyum-senyum tak sabar."Aaagg!" Bukan uang yang diberikan tapi tempelan senjata kejut listrik pada tangan membuat Harlan sontak memekik.Di saat terkejut dan lengah itulah dua orang petugas yang menyamar jadi pengunjung tadi langsung mudah menyergap, dan mengunci tangan Harlan ke belakang. Borgol besi segera menyatukan dua pergelangan di belakang punggungnya. “Apa-apaan ini! Rahma!” bentak lelaki bopeng itu.“Anda ditangkap dengan tuduhan melakukan penipuan, dan pemerasan.” Petugas menyebut singkat kasus yang dilaporkan belakangan ini.Harlan mengelak, tapi dua petugas itu tetap tegas akan mendengar penjelasannya nanti di kantor polisi saja. Tim lain masuk bantu menyeret Harlan keluar.Lelaki yang pernah merasa hitup di atas angin itu segera menembakkan ka
Besok akad nikah Rahma-Dimas akan dilaksanakan. Malam ini dua calon pengantin itu merasakan gugup teramat sangat.Rahma merasa terus ada yang geli merayap di perut, seperti baru pertama menjadi calon pengantin saja. Bibirnya senyum-senyum sendiri membayangkan akan menjadi istri seorang Dimas Jayadi. Ia berbaring di kasur sudah sejak tadi, tapi sulit memejamkan mata. Kesendiriannya karena Azka memilih tidur bersama sang nenek membawa seraut wajah Dimas menari-nari di pelupuk mata. Geli mengingat peristiwa sore kemarin, di hari terakhir pertemuan mereka sebelum resmi besok. Saat ia minta waktu bicara berdua dengan Dimas.“Sebelum semua terlanjur, apa kamu nggak akan nyesal akan menikahiku, Mas?”“Kenapa? Kamu masih ragu?” Dimas langsung menanggapi serius, dengan menatap manik mata Rahma dalam-dalam.Terdiam sesaat, perempuan kuat ini menata kata yang tepat untuk mewakili sedikit ganjalan di hati.“Aku hadir dalam hidupmu bersama Azka, dua orang yang nggak mungkin terpisah. Apa hati Ma
"Ada apa?" Dimas mendorong dua pundak Safea untuk melepaskan diri."Ada orang ngejar aku, Mas ... makanya aku lari ke sini ...." Safea kembali memeluknya.“Sebentar, sebentar.” Merasa risi, Dimas menjauh sambil memanggil Rahma. “Sayang, ini ada adekmu,” ujar Dimas pada istrinya di kamar.Rahma langsung keluar, menghampiri Safea dengan wajah terheran-heran.“Safea? Ngapain kamu sampai ke sini?”“Mbak ... aku diganggu orang, makanya tau Mbak Rahma nginap di sini aku lari ke sini. Tolong aku, Mbak … biarkan aku di sini malam ini aja ....” Safea meminta tumpangan nginap sampai pagi, karena merasa diri sedang tidak aman keluar. Mendengar itu tubuh Rahma langsung membatu. Hatinya memang tersentuh, takut Safea benar dalam bahaya, tapi sisi lain ia juga tak ingin kembali dibodohi. Sebelum pernikahan ini terjadi Safea pernah datang ke rumah Dimas, merayu pria itu dengan sangat murahan dan memalukan dirinya sebagai kakak. Untunglah Dimas tahu kelakuan adiknya itu, ia langsung menegur keras a
“Papa di kamal sama Tante Pia, Ma.”Rahma terkejut mendengar kalimat polos sang anak. Wanita 24 tahun ini memang masih di rumah majikan, seperti biasa di sela bekerja ia menelepon rumah, sekadar bertanya putranya yang berusia 5 tahun itu sedang apa selama ditinggal dengan papanya.“Azka bilang apa? Papa di kamar?”“Iya, Mama. Papa lagi tidul sama Tante Pia.”“Astaghfirullah …!” Jantung Rahma langsung dirasa terpukul keras. Putra satu-satunya yang belum bisa menyebut ‘R’ itu mana mungkin bicara begitu tanpa sebab. Namun ia juga tak percaya sang suami tidur dengan adiknya. Bisa saja Safea memang ke rumah, lalu mengambil sesuatu di kamar dan … Azka salah mengerti, tapi … ‘apa benar Safea ke kamar sama Mas Harlan?’Pertanyaan itu langsung bercokol di kepala Rahma, membuat jantungnya semakin berdebar-debar. Ia pun segera mengakhiri panggilan, mengikuti dorongan kata hatinya.Banyak pikiran buruk seketika menggelayut di kepala, menyesakkan dada. Gegas Rahma menuruni tangga menuju lantai d
Setelah berpakaian utuh Harlan dan Safea digiring warga ke luar rumah. Rahma yang masih belum bisa mengendalikan diri mengikuti gerombolan itu, tangannya menyambar sepatu entah milik siapa di lantai teras.Bukk!!“Aduhh!!” Lemparannya tepat mengenai sisi kepala Harlan. “Rasakan itu, Mas!” ujarnya puas sambil mengibas pasir dari telapak tangannya. Rasa sakit hati Rahma sedikit berkurang melihat dua orang itu terluka dan dipermalukan. Sangat setimpal dengan perbuatan kotor yang mereka lakukan barusan di dalam rumahnya.“Sabar, Mbak Rahma ... Mbak harus banyak sabar. Kalau dibalut emosi begini bisa merugikan diri Mbak sendiri,” tegur seorang wanita berhijab lebar sambil menariknya menjauh dari sana, membiarkan orang-orang membawa Harlan dan Safea, entah kembali ke keluarganya ataukah ke puskesmas terdekat.“Mbak istirahat di rumah saya dulu sampai tenang.”“Ya, Bu Ida.” Kalimat itu diangguki Rahma lemah, sembari mengikuti langkah sang tetangga belok ke arah jalan Manggis.“Azka tadi di
Rahma kembali bekerja tadi pagi, ia harus menjalani hari seperti biasa untuk bertahan hidup. Pekerjaan lancar dan tetap bisa mendapat gaji. Ia tidak bisa membawa serta Azka yang masih tidur, tapi jadi sedikit tenang saat Bu Ida dan Wiwin mengatakan akan bergantian menjaga putranya sementara."Maaf Mbak, tadi Azka dibawa sama mertuamu. Ibu tidak bisa menahan,” tutur Bu Ida dengan raut menyesal. Namun senyum lembut Rahma membuat wanita itu menarik napas lega. “Gak apa, Bu Ida. Sekarang saya juga belum tahu harus apa dan ke mana, biar Azka tenang dulu sama neneknya.” Rahma mengusap keringat usai bersepeda di tengah hari yang panas.“Iya, ibu pikiran logis begitu yang harus kamu pertahankan. Hadapi dulu urusan ini sampai selesai. Sana istirahat, kalau belum makan makan dulu, masih ada lauk di bawah tudung saji.” Bu Ida menganggapnya sudah seperti saudara, Rahma bahkan diminta tak segan, dan menganggap ini di rumah sendiri.“Terima kasih banyak, Bu.” Hati Rahma dipenuhi haru. Di saat or
Masalah bertubi-tubi hadir, bertambah besar sampai menelan nyawa sang bapak.“Semua ini ya salah kamu! Ibu tidak sudi lihat mukamu itu lagi!"Wajah menua dengan kantung mata bengkak itu menunjuk kening Rahma, terus menyalahkan Rahma atas kematian suaminya. Serangan jantung tiba-tiba telah merenggut nyawa kepala keluarga ini. Orang yang paling disalahkan adalah Rahma, karena semua bermula dari kasus rumah tangganya.“Harusnya kamu tenang dulu, bukan gegabah ngundang warga. Begini ‘kan jadinya. Toh kamu bisa bicara dengan Harlan, Safea, biar diselesaikan baik-baik.” Kakak lelaki tertua Rahma menyampaikan pendapatnya.Dua kakak lelaki yang tinggal di luar kota datang, dan pulang tadi, dua hari setelah pemakaman bapak. Mereka pergi meninggalkan kesan kata yang juga menekan letak kesalahan juga ada pada Rahma. Sungguh, tidak ada yang peduli sakit yang Rahma rasakan.Ini bukan perselingkuhan biasa, Mas! jerit batin Rahma. Seberapa keras ia membenarkan tindakannya melabrak dua orang mes*m i
'Kakaknya gampang dibodohin. Apalagi adeknya mudah banget dikibulin. Goyang dumang dikit aja udah mangap-mangap dia, hahaa.'Kikik geli lelaki berwajah bopeng mengingat perbuatan mesumnya. Merasa diri paling tampan sedunia bisa mendapat gadis secantik Safea. Hubungan mereka berawal dari aroma badan wangi Safea. Gadis yang suka berpakaian ketat menyesakkan dada itu selalu wangi saat ke rumah, itulah awal ia melancarkan pendekatan.Harlan coba ngobrol mepet-mepet, atau sentuhan sedikit berpura tak sengaja. Melihat Safea merespon hanya dengan senyum, mulailah aksi colekan disengaja, kontak yang perlahan meningkat ke kontak fisik lebih dalam.Hubungan sembunyi-sembunyi dan sedikit sandiwara di belakang istri, ternyata memacu adrenalin Harlan naik level paling tinggi. Membuatnya candu hingga hubungan lebih terjadi.Bukannya menghindar, Safea justru datang lagi datang lagi. Seakan memancing hasratnya melihat pakaian serba kurang bahan.Senyum tipis khas Harlan Wijiyono tertarik ke sudut."