“Papa di kamal sama Tante Pia, Ma.”Rahma terkejut mendengar kalimat polos sang anak. Wanita 24 tahun ini memang masih di rumah majikan, seperti biasa di sela bekerja ia menelepon rumah, sekadar bertanya putranya yang berusia 5 tahun itu sedang apa selama ditinggal dengan papanya.“Azka bilang apa? Papa di kamar?”“Iya, Mama. Papa lagi tidul sama Tante Pia.”“Astaghfirullah …!” Jantung Rahma langsung dirasa terpukul keras. Putra satu-satunya yang belum bisa menyebut ‘R’ itu mana mungkin bicara begitu tanpa sebab. Namun ia juga tak percaya sang suami tidur dengan adiknya. Bisa saja Safea memang ke rumah, lalu mengambil sesuatu di kamar dan … Azka salah mengerti, tapi … ‘apa benar Safea ke kamar sama Mas Harlan?’Pertanyaan itu langsung bercokol di kepala Rahma, membuat jantungnya semakin berdebar-debar. Ia pun segera mengakhiri panggilan, mengikuti dorongan kata hatinya.Banyak pikiran buruk seketika menggelayut di kepala, menyesakkan dada. Gegas Rahma menuruni tangga menuju lantai d
Setelah berpakaian utuh Harlan dan Safea digiring warga ke luar rumah. Rahma yang masih belum bisa mengendalikan diri mengikuti gerombolan itu, tangannya menyambar sepatu entah milik siapa di lantai teras.Bukk!!“Aduhh!!” Lemparannya tepat mengenai sisi kepala Harlan. “Rasakan itu, Mas!” ujarnya puas sambil mengibas pasir dari telapak tangannya. Rasa sakit hati Rahma sedikit berkurang melihat dua orang itu terluka dan dipermalukan. Sangat setimpal dengan perbuatan kotor yang mereka lakukan barusan di dalam rumahnya.“Sabar, Mbak Rahma ... Mbak harus banyak sabar. Kalau dibalut emosi begini bisa merugikan diri Mbak sendiri,” tegur seorang wanita berhijab lebar sambil menariknya menjauh dari sana, membiarkan orang-orang membawa Harlan dan Safea, entah kembali ke keluarganya ataukah ke puskesmas terdekat.“Mbak istirahat di rumah saya dulu sampai tenang.”“Ya, Bu Ida.” Kalimat itu diangguki Rahma lemah, sembari mengikuti langkah sang tetangga belok ke arah jalan Manggis.“Azka tadi di
Rahma kembali bekerja tadi pagi, ia harus menjalani hari seperti biasa untuk bertahan hidup. Pekerjaan lancar dan tetap bisa mendapat gaji. Ia tidak bisa membawa serta Azka yang masih tidur, tapi jadi sedikit tenang saat Bu Ida dan Wiwin mengatakan akan bergantian menjaga putranya sementara."Maaf Mbak, tadi Azka dibawa sama mertuamu. Ibu tidak bisa menahan,” tutur Bu Ida dengan raut menyesal. Namun senyum lembut Rahma membuat wanita itu menarik napas lega. “Gak apa, Bu Ida. Sekarang saya juga belum tahu harus apa dan ke mana, biar Azka tenang dulu sama neneknya.” Rahma mengusap keringat usai bersepeda di tengah hari yang panas.“Iya, ibu pikiran logis begitu yang harus kamu pertahankan. Hadapi dulu urusan ini sampai selesai. Sana istirahat, kalau belum makan makan dulu, masih ada lauk di bawah tudung saji.” Bu Ida menganggapnya sudah seperti saudara, Rahma bahkan diminta tak segan, dan menganggap ini di rumah sendiri.“Terima kasih banyak, Bu.” Hati Rahma dipenuhi haru. Di saat or
Masalah bertubi-tubi hadir, bertambah besar sampai menelan nyawa sang bapak.“Semua ini ya salah kamu! Ibu tidak sudi lihat mukamu itu lagi!"Wajah menua dengan kantung mata bengkak itu menunjuk kening Rahma, terus menyalahkan Rahma atas kematian suaminya. Serangan jantung tiba-tiba telah merenggut nyawa kepala keluarga ini. Orang yang paling disalahkan adalah Rahma, karena semua bermula dari kasus rumah tangganya.“Harusnya kamu tenang dulu, bukan gegabah ngundang warga. Begini ‘kan jadinya. Toh kamu bisa bicara dengan Harlan, Safea, biar diselesaikan baik-baik.” Kakak lelaki tertua Rahma menyampaikan pendapatnya.Dua kakak lelaki yang tinggal di luar kota datang, dan pulang tadi, dua hari setelah pemakaman bapak. Mereka pergi meninggalkan kesan kata yang juga menekan letak kesalahan juga ada pada Rahma. Sungguh, tidak ada yang peduli sakit yang Rahma rasakan.Ini bukan perselingkuhan biasa, Mas! jerit batin Rahma. Seberapa keras ia membenarkan tindakannya melabrak dua orang mes*m i
'Kakaknya gampang dibodohin. Apalagi adeknya mudah banget dikibulin. Goyang dumang dikit aja udah mangap-mangap dia, hahaa.'Kikik geli lelaki berwajah bopeng mengingat perbuatan mesumnya. Merasa diri paling tampan sedunia bisa mendapat gadis secantik Safea. Hubungan mereka berawal dari aroma badan wangi Safea. Gadis yang suka berpakaian ketat menyesakkan dada itu selalu wangi saat ke rumah, itulah awal ia melancarkan pendekatan.Harlan coba ngobrol mepet-mepet, atau sentuhan sedikit berpura tak sengaja. Melihat Safea merespon hanya dengan senyum, mulailah aksi colekan disengaja, kontak yang perlahan meningkat ke kontak fisik lebih dalam.Hubungan sembunyi-sembunyi dan sedikit sandiwara di belakang istri, ternyata memacu adrenalin Harlan naik level paling tinggi. Membuatnya candu hingga hubungan lebih terjadi.Bukannya menghindar, Safea justru datang lagi datang lagi. Seakan memancing hasratnya melihat pakaian serba kurang bahan.Senyum tipis khas Harlan Wijiyono tertarik ke sudut."
Telah resmi ketuk palu perceraian tidak membuat Rahma lepas dari bayang buruknya sikap mantan suami.'Asal kamu tau, adikmu itu gak sebaik yang kalian kira. Coba mikir, mikiir, masa baru sebulan sama aku perutnya sudah mblendung buncit? Gobl*k memang kalian semua!'Di hari putusan sidang, malam-malam Harlan menelepon Rahma hanya untuk bilang itu. Manusia tidak punya hati! Sudah menghancurkan Safea dia juga merendahkannya seolah sampah tidak berguna.Rahma menyampaikan perkataan buruk dan sikap lelaki itu pada ibunya, tetapi justru tak mendapat respons. Tami malah membela Harlan yang berniat baik, mau bertanggungjawab atas kehamilan Safea.“Sebaiknya Ibu pikir lagi melanjutkan pernikahan Safea-” "Kenapa kamu yang repot Rahma?! Urus saja hidupmu sampai benar dulu!"“Bu, selain ini memalukan. Safea masih ada kesempatan perbaiki kesalahannya agar lebih baik. Menikahi Mas Harlan justru akan membuatnya makin nggak bener.”“Kamu yang sudah buat semua ini lebih tidak benar! Coba pikir, ini a
“Syukurlah kakinya gak apa-apa ya Bos. Aku sempat kira patah semalam.” Lelaki gemuk bicara sambil melihat pria gondrong di sebelahnya yang tengah mengusap wajah.“Motornya enggak rusak parah, kan?” Pria bernama Dimas itu menepuk bahu pegawai sekaligus temannya.“Gak sih, langsung ke bengkel tadi. Sudah bisa hidup, tapi nanti cek lagi.”“Ya sudah, tinggalin aja aku, thanks udah bawa baju gantinya. Biar aku urus semua sampai beres dulu di sini.”“Siap, Bos.” Lelaki itu memberi hormat layaknya pada komandan, tapi sudut bibirnya terangkat. “Perhatian banget, awas pake hati loh.”Ucapannya segera mendapat hadiah toyoran di dahi. Bukannya marah lelaki berwajah jenaka itu malah terkikik geli.“Mbaknya manis banget kayak gula,” desisnya sebelum beranjak. Lalu tawa lebar tanpa suara sembari gesit menjauh begitu melihat reaksi pria berjaket kulit mengepalkan tangan ke arahnya.Sepeninggal temannya Dimas pun masuk rawat. Sedikit terkejut ia melihat wanita di bed sudah duduk sambil melihat baluta
Setengah sepuluh dokter masuk ke ruangan, perbolehkan Rahma pulang dengan terlebih dahulu menebus resep untuk diminum selama masa penyembuhan.Dimas membayar semua, sekalian biaya rawat.Rahma pasrah, uang gaji kemarin sudah ia masukkan ke rekening, di dompet hanya tiga lembar merah.“Berapa semua?”Lelaki itu terpaksa perlihatkan jumlah tertera, karena Rahma memaksa. "Ini saya simpan ya, Pak. Terima kasih banyak atas bantuannya.""Tolong jangan formal sama aku, Rahma. Kamu ngejek karena aku kelihatan tua, kan?""Bukan begitu, Pak-""Aku belum menikah dan merasa insecure kalau dipanggil begitu. Tolong sebut Dimas saja. Ok?"Mengernyit kening Rahma pun akhirnya mengiyakan. Mereka meninggalkan rumah sakit menggunakan mobil Dimas. Rahma menyebut jalan arah rumah yang akan dituju. Dia akan mampir sebentar mengabarkan musibah ini pada majikan, sekaligus menyelesaikan urusannya dengan Dimas.“Tunggu sebentar ya, Dimas,” kata Rahma saat mobil berhenti di depan rumah luas berpagar besi warna