Aldan tidak panik, dia pimpinan pasukan rahasia white master yang sangat ahli dalam bela diri. Jika mau, dia bisa saja melepaskan tangannya dari pegangan Mukafi tanpa menyakiti.
“Maaf, aku harus pergi. Tapi suatu saat aku akan kembali dengan membawa sebuah kebenaran.”
Namun, Aldan tidak mudah begitu saja pergi dari sana. Semua orang menghadang kepergiannya.
“Haha bukannya barusan kamu bilang melihat kejadian pembunuhan Chandra dan Yuyun 10 tahun silam? Tapi kenapa sekarang kamu malah mau pergi?” tanya Mukafi menerbitkan senyuman miring. Dia yakin orang asing di hadapannya itu adalah orang suruhan Aldan yang ingin menghasut keluarganya.
Ilham dan semua orang pun menerbitkan senyuman miring. Mereka malah semakin yakin bahwa Aldan masih hidup. Mereka juga menilai Aldan bodoh karena sudah berani mengirim orang lain untuk memberi tahu persembunyiannya.
“Aku berkata benar. Suatu hari nanti kalian akan tahu siapa pembunuh yang sebenarnya, bukan Aldan ... Aku janji akan mengungkap kejahatan mereka yang –” Belum sempat Aldan menyelesaikan penjelasan, Mukafi terlebih dahulu memotongnya.
“Sialan!” umpat Muskafi kesal. “Kamu kira mudah menipu kami? Bodoh! Aldan sangat bodoh! Dia sendiri yang memberi teka-teki persembunyiannya dengan mengirimmu. Sekarang Kami tak kan membiarkanmu pergi dari sini. Kamu harus memberi tahu keberadaan anak iblis itu ... dan kamu juga harus dihukum karena sudah bersekongkol dengan seorang pembunuh!”
Telinga Aldan memanas. Bukan karena dihadang oleh mereka, tetapi berulang kali dia mendapati sebutan iblis dari sanak familinya.
“Aldan bukan anak iblis. Aldan anak dari Chandra dan Yuyun.”
PLAK!
Syarif memberikan tamparan keras dengan penuh emosi. Keluarga yang lainnya pun demikian, mereka tampak tak terima dengan ucapan Aldan.
“Berani-beraninya kamu menyebut anak iblis itu anak saudara kami!”
“Kebenarannya memang seperti itu. Aldan terlahir dari rahim Mamanya,” respon cepat Aldan sambil menatap sanak familinya yang tengah emosi.
PLAK!
Lagi-lagi Aldan mendapatkan tamparan keras. Kali ini dari Mukafi.
“Dan kebenarannya adalah Aldan telah membunuh Chandra dan Yuyun. Dia pantas disebut anak iblis! ... Anam yang tega membunuh kedua orang tuanya sendiri pantas disebut anak iblis!” berang Mukafi meninggikan suaranya dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya.
“Aku perhatikan dari tadi kamu membela Aldan. Apa otakmu sudah dicuci atau ... kamu adalah Aldan?” Sedari tadi Nisa mengamati gerak-gerik orang asing itu. Dia menyimpukan demikian. “Dan kamu barusan memanggil kakek pada kakekku?”
Ilham dan semua orang pun semakin memicingkan mata terhadap orang asing itu. Ucapan Nisa ada benarnya. Jika orang asing itu bukan Aldan, tidak mungkin bakalan memanggil Ilham dengan sebutan Kakek.
Sementara Aldan berusaha mengatur napasnya agar tetap tenang dan tidak terlihat panik.
“Aku memanggil kakek karena beliau sudah tua,” jawab Aldan tersenyum sopan menatap Ilham, tetapi dalam hatinya dia berkata. ‘karena beliau adalah kakekku.’
Namun, semua orang tidak percaya begitu saja. Wajah mereka malah semakin memerah karena amarah.
“Siapa kamu, Anjing?!” tanya Syarif mengatupkan rahang dengan mata melotot. Lalu dia mencekik leher Aldan. “Jika kamu Aldan, sekarang juga aku akan mencincang-cincang tubuhmu!”
“Jawab, setan!” murka Mukafi ikut mengintrogasi dengan mata menyala-nyala penuh amarah.
“Jika dia diam, berarti dia adalah Aldan,” sahut Melanie ikut nimbrung.
Mendengar itu, Syarif dan Mukafi tersenyum dengan seringai tajam. Mereka menatap Aldan dengan tatapan membunuh, tetapi Aldan tetap tenang dan tidak ada gambaran rasa takut sedikitpun di wajahnya.
“Tuhan telah menjawab doa kami. Kamu sendiri yang datang. Sekarang kami akan mematahkan tulang-tulangmu!” raung Mukafi hingga air liurnya muncrat ke wajah Aldan.
“Aku akan menggantugmu dan membakarmu hidup-hidup, anak iblis!” Pembuluh darah di leher Syarif berdenyut. Dia mengepalkan tangannya dan bersiap-siap menghajar Aldan.
“Ya bunuh saja dia. Anak iblis ini harus disiksa!” sahut salah satu tamu pesta, semua orang pun mengiyakan dan menggerakkan kakinya untuk menghajar Aldan beramai-ramai.
“Tunggu!” Ilham menghentikan mereka. “Jangan main hakim sendiri. Jika kita membunuhnya, kita tidak ada bedanya dengan Aldan. Lagian kita belum tau siapa dia. Bagaimana jika dia berkata benar? Bagaimana jika dia bukan Aldan? Lebih baik kita serahkan dia ke polisi.”
Sikap Ilham tidak bisa ditebak. Barusan dia terlihat sangat marah pada orang asing yang datang ke rumahnya, tetapi sekarang seolah-olah ingin melindungi kesalamatan anak itu dari amukan massa.
Sementara Aldan tersenyum dalam hati meskipun tangan Syarif masih mencekik lehernya. Aldan merasakan bahwa Ilham sangat menyayanginya dan tidak percaya bahwa dirinya yang sudah membunuh kedua orang tuanya sendiri.
“Tapi, Pa. Dari tadi dia—”Belum selesai Mukafi protes, Ilham mengangkat tangannya.
“Tunggu sampai kebenaran terungkap. Dan biarkan negara yang menghukumnya.”
Mukafi sangat kesal. Dia melampiaskan kekesalannya dengan lebih kuat mencekik leher Aldan, “Cepat mengaku, setan! Kamu Aldan, Bukan?! Cepat katakan!”
“Ba-gaima-na aku men-jawab.” Aldan berpura-pura batuk meskipun cengkeraman itu tidak sakit. Otot-otot lehernya sudah terlatih menahan sebuah cekikan.
Mukafi melepaskan cekikannya dengan kasar, “Cepat jawab!”
“Sudah kubilang, aku bukan Aldan. Aku hanya seorang anak yang berteman baik dengan Aldan. Dan aku bersumpah kalau Aldan tidak bersalah ... karena aku melihat dengan mataku sendiri siapa orang yang membunuh Papa Mamanya Aldan,” ungkap Aldan serius.
Mukafi, Syarif, Melanie, dan Nisa tersenyum sinis. Mereka tidak percaya dengan ucapan orang asing di hadapannya. Semua orang pun demikian.
“Baiklah. Kita tunggu saja kebenarannya. Sebentar lagi polisi akan datang menjemputmu,” tutur Syarif sambil menggerak-gerakkan kepala, memberi isyarat pada semua orang untuk menjaga orang asing itu agar tidak kabur.
Aldan mengangguk patuh dengan senyuman lebar, tetapi bola matanya bergerak memperhatikan sekitar. Dia mencari celah untuk meloloskan diri dari kepungan para tamu pesta yang tak membiarkan pergi. Aldan ingin keluar dari rumah tanpa melukai satu orang pun, tetapi dia juga harus bergerak cepat sebelum polisi datang.
Senyum miring perlahan terbit di bibir Aldan, ‘Mereka menutup pintu utama, tapi tidak dengan pintu belakang,’ batinnya.
Aldan tiba-tiba memberikan dorongan kejutan pada Mukafi yang berdiri tepat di hadapannya hingga sedikit terhuyung ke belakang. Gerakannya sangat cepat, tubuh Aldan yang lain juga bekerja. Dia menggerakkan kakinya secepat kilat menuju arah dapur.
Semua orang pun hanya mematung di tempat. Mereka tak sempat menangkap tubuh Aldan yang berlari super cepat.
“Ah sialan! Tangkap dia, jangan biarkan dia lolos!” titah Syarif begitu kesal, sambil berlari mengejar Aldan.
Namun, itu sudah terlambat. Aldan sudah melewati pintu dapur yang ada di belakang.
“Janc*k!” umpat Syarif kesal sembari memukul angin di udara. Dia sangat heran orang asing itu menghilang bagaikan dedemit yang tak bisa dikejar.
“Kemana dia?” tanya Mukafi yang baru sampai di belakang rumah.
“Dia kayaknya punya ilmu hitam,” respon Syarif kesal. “Ini semua gara-gara Papa. Seharusnya tadi kita gantung saja dia. Siapapun dia, aku yakin ada hubungannya dengan Aldan.”
Sementara itu,
Di sebuah lorong kecil, Aldan melepas rambut dan kumis palsu. Dia menurunkan kaca mata hitamnya, dan ternyata dirinya juga memakai topeng wajah.
Setelah meletakkan aksesoris palsu di kantong kresek hitam, Aldan melangkahkan kakinya dengan tatapan dingin dan tajam bagaikan harimau yang hendak menerkam mangsanya. Kedua tangannya mengepal dengan kuat hingga otot-otot tangannya bereaksi.
‘Dasar manusia durjana! kejahatan kalian terencana. Kalian bukan Cuma membunuh Papa Mamaku. Kalian juga membuat sanak familiku, dan semua orang membenciku. Kalian bukan manusia! Kalian tak pantas hidup! Aku berjanji akan menghukum kalian lebih dari apa yang Aku dan kedua orang tuaku rasakan!’
Aldan tiba di sebuah rumah kontrakan yang sudah disediakan oleh Bundanya. Ukuran Kota Jakarta, di daerah itu tidak terlalu padat penduduk.Saat Aldan membuka pintu rumah, ujung matanya bergerak ke arah tembok tak jauh di samping kanannya.‘Hemm rupanya kamu tidak bisa berpisah denganku.’Aldan tersenyum kecut, menyadari siapa yang membuntutinya. Lalu dia memutar tubuh, menatap ke arah tembok samping kanannya.“Kaluarlah, Faiz. Aku tahu kamu bersembunyi di sana.”Faiz malu-malu menyembul dari balik tembok. Dia berjalan mendekat dan berdiri dengan membungkukkan badan di hadapan Aldan.“Maaf, Bos. Aku ingin liburan ke Indonesia. Aku ingin tahu indahnya Negara ini,” kilah Faiz menyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aldan tersenyum kecut, “Kenapa kamu mengikutiku, Faiz?”Faiz menghembus napas pelan, “Aku mau berada di dekat-dekat Bos. Siapa tau tenagaku dibutuhkan.”Aldan tersenyum lebar, “Apa kamu mengkhawatirkan keselamatanku?”Faiz mendongak menatap Aldan. Dia bin
Aldan melanjutkan cerita pembunuhan 10 tahun yang lalu pada Faizal Hamid.Waktu itu! Setelah berhasil membunuh Chandra, pria bersepatu berusaha melenyapkan Aldan yang mengunci di dalam kamar orang tuanya.‘Bodoh!’Aldan merutuki dirinya sendiri yang tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan nyawa kedua orang tuanya. “Ma, Mama ... Bangun, Ma!” Aldan menangis sambil menggoyangkan tubuh Yuyun. Dia berharap sang Mama hidup kembali meskipun itu tidak mungkin terjadi.Beberapa menit kemudian, hujan masih deras. Dengan bermandikan air mata, Aldan mencoba kuat berdiri dan melangkah ke arah pintu.Aldan bimbang dan ketakutan. Dia tidak tahu apakah pria bersepatu masih ada di rumahnya atau sudah pergi. “Tolong!” Satu-satunya cara yang Aldan bisa lakukan adalah berteriak meminta bantuan meskipun sulit didengar karena hujan masih deras. “Siapapun yang mendengarnya, tolong Aldan!”“Ya aku mendengarnya, nak.” Ada suara yang menyahut dari luar kamar tepat di depan pintu, membuat Aldan sangat t
Mata Aldan membelalak sempurna, jantungnya memompa begitu cepat. Sementara pria bersepatu tersenyum penuh arti bersitatap dengan mangsanya. “Kita bertemu lagi, nak.” Tak menunggu lama, Aldan memutar badan dan berlari sekencang mungkin. Pria bersepatu pun tak tinggal diam, dia mengejar anak itu. Aldan berlari dengan napas yang tersengal-sengal. Rasa sedih, takut, serta panik menjadi satu dalam hatinya. Yang ada di pikirannya hanya berlari dan berlari meloloskan diri dari kejaran pria bersepatu. “Tolong!” sambil berlari kencang, Aldan berteriak. Namun suaranya seperti tertahan, tak terdengar nyaring karena napas dan jantungnya ikut berlari. Rasa takut sangat jelas menyelimuti anak itu. Bagai seekor kucing yang mengejar tikus, mereka berlari adu kecepatan dengan tujuan masing-masing. Di sekolah itu sangat luas, Aldan terus menyusuri lantai dua hingga akhirnya dia menuruni tangga. Aldan memenangkan adu lari. Selepas dari tangga, ada sebuah lorong yang mengarah ke kanan dan ke kiri.
“Lepaskan aku!” Aldan memberontak sekuat tenaga. Namun, kekuatannya tak sebanding, cengkraman pria bersepatu sangat kuat.Pria bersepatu melemparkan Aldan ke dalam kandang, “Aku menepati janjiku padamu, nak. Bermainlah, kamu pasti menyukai permainan ini.”“Apa yang Om mau dariku? Jangan sakiti Aldan.”“Siapa yang mau menyakitimu,nak? Kami gak bakalan menyentuhmu,” respon Hendrawan mengulas senyuman licik. Aldan tidak percaya, dia sangat yakin kedua orang jahat itu sudah mempersiapkan suatu yang buruk untuknya. Mungkin sebentar lagi dirinya akan menyusul Chandra dan Yuyun ke surga.“Tolong lepaskan Aldan, Om.” Berulang kali Aldan memelas mengharap belas kasihan, tetapi itu tidak ada artinya.“Itu tergantung dirimu, nak. Kamu sendiri yang menentukan nasibmu,” kata pria bersepatu.“Apa maksudmu, Om? Aldan gak ngerti?” tanya Aldan yang terlihat semakin gusar.Hendrawan menjawab dengan bertepuk tangan berulang kali, seolah memberi isyarat pada seseorang. Hal itu membuat jantung Aldan memo
Pria bersepatu dan Hendrawan sangat kesal karena tidak menemukan kalung liontin di sekolah.“Bocah ingusan itu telah menipu kita,” kata Hendrawan.“Kau tidak perlu khawatir, Hendra. Meskipun kalungnya tidak ditemukan, kasus ini akan tertutup rapi. Tidak ada saksi hidup yang tersisa, anak Chandra sekarang pasti sudah ada di perut seekor anjing ... Tugasmu hanya mengurus di kantor polisi.” sahut pria bersepatu. Mendengarnya, perlahan senyum mengambang di bibir Hendrawan, “Benar, kita gak perlu repot-repot mencarinya. Sisanya serahkan padaku. Aku seorang polisi, sangat mudah bagiku menutup kasus ini.”Sementara itu,Aldan mengusap mulutnya yang dipenuhi darah dengan tetap menatap nanar pada seekor Anjing yang berhasil dibunuhnya. Perlahan kedua tangannya bergerak di perut binatang itu.“yaakkkkkkkk ...” Aldan berperilaku seperti seekor binatang buas. Dia mencakar dan mengoyak hingga akhirnya berhasil membelah perut Anjing. Aldan mengeluarkan isi perut Anjing dan menatapnya dengan mata
Pagi hari, nampak seorang pria tampan nan gagah berjalan ke arah gedung tinggi pencakar langit. Dia Aldan Pratama Chandra Putra, tetapi di perusahaan dia mengganti namanya menjadi Putra Saputra. Ketampanannya nyaris sempurna. Dengan tinggi 175 cm dan kulit putih, siapapun yang melihatnya pasti jatuh cinta pada pandangan pertama. Hari ini adalah hari pertama kerja Aldan di perusahaan cosmo indofood. Sekarang misi balas dendamnya dimulai. Dia berhasil menjadi asisten direktur keuangan di perusahaan cosmo indofood, jabatan yang sama seperti mendiang Papanya. Tentu ini semua berkat orang dalam yang berjasa memasukkan Aldan ke perusahaan, tetapi sebenarnya dia orang yang sangat cerdas dan pantas menduduki jabatan yang dia inginkan. “Saya harap anda bekerja dengan baik. Satu lagi, anda harus cepat beradaptasi dengan lingkungan perusahaan,” kata Ridwan , direktur keuangan. “Baik, Pak. Saya sangat senang bisa menjadi bagian perusahaan terbesar yang ada di Indonesia. Saya berjanji akan beke
Jam istirahat kerja, Aldan dan Rangga pergi bersama ke restoran yang ada di belakang perusahaan. “Kamu sudah berapa tahun kerja di sini?” tanya Aldan sambil berjalan di sisi kanan Rangga. “Sudah satu tahun ... Ow ya aku yakin kamu banyak prestasinya, baru masuk kerja langsung ditempatkan di posisi asisten divisi keuangan. Satu tingkat di atasku,” jawab Rangga setengah memberikan pujian pada Aldan. “Aku hanya orang biasa. Aku hanya beruntung saja.” Di tengah perjalanan dari arah berlawanan ada seorang pria tua berkacamata berjalan sambil fokus memainkan ponselnya, sehingga tanpa sengaja menabrak Aldan yang sudah mencoba menghindar. “Ah sialan, kalau jalan lihat-lihat. Pakai matamu!” berang pria tua itu dengan nada yang begitu tinggi. “Maaf, pak. Tapi anda yang salah. Anda fokus bermain hp saat berjalan,” protes Aldan. PLAK! Aldan memegang pipinya yang mendapat tamparan dari pria tua berkacamata. “Lancang sekali! Kau tau siapa aku? Hah?!” sergah pria tua berkacamata dengan sor
Lukman mengangkat dagu dan menatap Aldan dengan tatapan menyala-nyala, “Kau melawanku? Kau tidak tau siapa aku, hah?! Jika Lukman sudah marah, orang itu tidak akan selamat dariku!” “Lepaskan tanganku, bodoh!” kelakar Lukman penuh emosi melihat Aldan masih mencengkram tangannya di udara.Sementara, Rangga dan beberapa karyawan lainnya dibuat semakin tak percaya atas sikap berani pria tampan itu.Aldan tersenyum miring sambil melepaskan tangan Lukman, dan seketika itu pula pria tua itu menarik kerah baju Aldan dengan tatapan mata berkilat iblis, “Kau bukan hanya dipecat. Bersiap-siaplah menerima kemarahan Lukman Wafa!” ancamnya, lalu mendorong kasar tubuh Aldan.Sementara Rangga hanya diam, saat ini dia tidak bisa berbuat sesuatu ketika seorang Lukman Wafa sudah marah. Siapa saja yang menghentikan kemarahan sang sekeretaris CEO, maka orang itu juga akan terkena imbasnya.Namun, Aldan terlihat santai. Tidak ada ketakutan sedikitpun, bahkan senyuman tetap mengalir berhias di wajahnya, “