Share

4. Awal Kematian Kedua Orang Tua Aldan

Aldan tiba di sebuah rumah kontrakan yang sudah disediakan oleh Bundanya. Ukuran Kota Jakarta, di daerah itu tidak terlalu padat penduduk.

Saat Aldan membuka pintu rumah, ujung matanya bergerak ke arah tembok tak jauh di samping kanannya.

‘Hemm rupanya kamu tidak bisa berpisah denganku.’

Aldan tersenyum kecut, menyadari siapa yang membuntutinya. Lalu dia memutar tubuh, menatap ke arah tembok samping kanannya.

“Kaluarlah, Faiz. Aku tahu kamu bersembunyi di sana.”

Faiz malu-malu menyembul dari balik tembok. Dia berjalan mendekat dan berdiri dengan membungkukkan badan di hadapan Aldan.

“Maaf, Bos. Aku ingin liburan ke Indonesia. Aku ingin tahu indahnya Negara ini,” kilah Faiz menyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. 

Aldan tersenyum kecut, “Kenapa kamu mengikutiku, Faiz?”

Faiz menghembus napas pelan, “Aku mau berada di dekat-dekat Bos. Siapa tau tenagaku dibutuhkan.”

Aldan tersenyum lebar, “Apa kamu mengkhawatirkan keselamatanku?”

Faiz mendongak menatap Aldan. Dia bingung harus memberi jawaban apa atas pertanyaan itu. Selama tinggal di Malaysia, Aldan seringkali bermain-main dengan kematian. Jadi untuk apa mengkhawatirkannya? Tapi saat melihat energi pembunuh keluar dari diri Aldan sebelum pulang ke Indonesia, Faiz merasa perlu mendampinginya. 

Melihat Faiz mematung dalam lamunannya, Aldan tersenyum sebelum akhirnya memutar badan untuk masuk ke dalam rumah.

“Jangan bengong, nanti kenak serangan mendadak,” sindir Aldan sambil berjalan ke arah sofa di ruang tamu.

“Ah ... Iya, Bos. Maaf.” Faiz masuk ke dalam dan duduk di sofa setelah Aldan memberikan sebuah isyarat dengan menepuk sofa.

“Sudah kubilang aku kangen Kota kelahiranku, tapi sepertinya kamu terlalu pintar untuk dibodohi,” ucap Aldan.

“Bukannya aku mau ikut campur, Bos. Tapi aku merasa tujuan Bos pulang ke Indonesia bukan karena itu. Jika ada masalah, aku yakin Bos bisa mengatasinya. Tapi izinkan aku membantu,” respon Faiz sungkan.

“Karena kamu sudah berani mengikutiku, aku akan menceritakan masa laluku yang belum pernah kamu dengar.”

Aldan menghembus napas pelan sebelum akhirnya dia menceritakan kejadian kelam yang menimpa kedua orang tuanya.

10 tahun silam!

Saat itu, hujan sangat deras. Chandra menjemput Aldan pulang dari sekolah.

Turun dari mobil di pekarangan rumah, Aldan berlari sambil menutupi kepalanya dengan sebelah tangan, “Ma, Mama.”

Langkah Aldan terhenti di depan pintu ketika dia melihat sebuah kalung cantik tergeletak di bawah. Anak itu memungutnya dan mengamati sejenak. Setahu dirinya, dia tidak pernah melihat Sang Mama memakai kalung itu.

“Mungkin Mama baru beli,” gumam Aldan sambil memasukkan kalung itu ke dalam saku baju sekolahnya. Lalu dia mendorong pintu yang setengah terbuka. “Ma, Mama, Aldan pulang.”

Aldan melongo ketika melihat keadaan ruang depan sangat berantakan. Rumah berukuran 7 x 12 itu tampak seperti kapal pecah. Banyak perabotan rumah tangga seperti, meja, kursi, vas bunga, botol, dan masih banyak lagi yang berserakan di lantai. 

“Ma?” Aldan memanggil sambil berjalan pelan memperhatikan setiap sudut yang ada di ruangan depan. Dia mulai khawatir. “Ma? Mama? Aldan pulang. Mama ada dimana?”

Chandra yang baru masuk ke dalam, juga sangat terkejut melihat pemandangan yang membuat dirinya seketika mempunyai firasat buruk tentang istrinya.

“Sayang?” panggil Chandra sambil berjalan mendekati Aldan.

“Kenapa rumah kita berantakan, Pa?” tanya Aldan cemas.

“Papa juga enggak tau,” jawab Chandra cemas. Lalu dia perlahan menggerakkan kakinya kembali, berjalan menuju kamar. Jantungnya berdetak kencang, “Sayang, kenapa rumah kita berantakan? Sayang?”

“Ma?” Aldan berjalan mengikuti Chandra, kegelisahannya semakin menjadi.

“Sayang?” Chandra membuka pintu kamarnya. Matanya terbelalak, jantungnya berdetak sangat kencang ketika melihat Yuyun tergeletak di lantai depan kasur dalam keadaan mengenaskan, kepala istrinya itu mengalir darah segar. Disamping tubuh wanita itu ada toples beling yang pecah berlumuran darah. Keadaan kamar itu juga sangat berserakan.

“Sayang!”

“Mama!”

Chandra dan Aldan bersamaan berteriak histeris menghampiri Yuyun.

“Sayang, sadarlah.” Chandra menangis histeris memegang tubuh Yuyun. “Kumohon sadarlah, Siapa yang melakukan ini?”

“Mama, Mama bangunlah. Mama, Mama, jangan mati.” Aldan menangis lebih histeris dari Chandra. Dia berpikir Yuyun sudah meninggal. “Mama, mama jangan tinggalkan Aldan.”

“Mamamu masih hidup.” Chandra mengecek nadi tangan Yuyun. Dia sangat lega. “Bertahanlah, Sayang. Aku akan membawamu ke rumah sakit. Kamu pasti selamat. Tidak akan terjadi apa-apa padamu, bertahanlah.”

“Ayo Pa, cepat bawa Mama ke rumah sakit.”

Namun, baru saja Chandra ingin mengangkat tubuh Yuyun, tiba-tiba terdengar suara pintu depan yang dibuka oleh seseorang. Bukan hanya itu, ada suara langkah sepatu yang terdengar begitu jelas.

Chandra mengangkat jari telunjuk di depan mulutnya, memberi isyarat pada Aldan untuk tidak mengeluarkan suara. 

Chandra berdiri dan berjalan mengendap-endap mendekati pintu kamar. Perlahan sebelah tangannya bergerak membuka pintu. Dia mengintip, ada seorang pria gagah memakai topi, sepatu sejenis boot, dan pakaian serba hitam. Pria itu sibuk mengelap beberapa perabotan rumah tangga.

Chandra sangat yakin, pria bersepatu datang untuk menghilangkan bukti sidik jari.

Chandra menoleh ke belakang, “Aldan kunci kamar ini. Jangan buka sebelum Papa yang minta.” Aldan mengangguk menuruti perintah, sedangkan Chandra keluar dari kamar.

Chandra memperhatikan pria bersepatu masih sibuk mengelap vas bunga dengan sapu tangan plastik yang dikenakan, hingga akhirnya pria itu menoleh dan mata mereka bersitatap.

“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Chandra sambil mengepalkan tangan kuat-kuat dengan amarah yang terlihat jelas di wajahnya. “Atau kau sendiri yang sudah mencelakai istriku?

Pria bersepatu tersenyum miring, “Anda tidak perlu tau. Bersiaplah untuk mati!”

***

“Begitulah awal kematian kedua orang tuaku. Pertarungan itu dimenangkan pria bersepatu. Papaku dibunuh secara sadis. Iblis itu menggores-gores perut Papa di depan mataku.” Aldan mengakhiri cerita dengan setetes air mata. Aura balas dendam tergambar jelas di dalam tatapannya yang begitu mengerikan, bahkan Faiz takut melihatnya.

Wajah Faizal memerah mendengar cerita masa lalu Aldan yang begitu sangat menyedihkan. Ternyata itu alasannya kenapa aura pembunuh keluar dari dalam diri sang Bos setiap kali mendengar nama Indonesia.

Faiz perlahan menoleh samar-samar ke arah Aldan. Dia tidak berani menatap langsung ke arah tatapan mata menyala milik sang Bos.

“Bos. Izinkan aku mencari pria bersepatu. Biar kucabik-cabik tubuhnya—”

Belum sempat Faiz menyelesaikan amarahnya, Aldan berucap, “Aku gak ingin langsung membunuhnya.” Aldan berdiri dengan tangan mengapal kuat-kuat dan tatapan mata berkikat iblis. “Bukan hanya pria bersepatu. Ada banyak orang-orang biadap yang bersekongkol membunuh Papa Mamaku. Aku harus menemukan siapa saja yang terlibat. Sebelum mati, mereka harus menderita berkali-kali lipat daripada apa yang aku dan Papa Mama rasakan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status