Aldan melanjutkan cerita pembunuhan 10 tahun yang lalu pada Faizal Hamid.
Waktu itu!
Setelah berhasil membunuh Chandra, pria bersepatu berusaha melenyapkan Aldan yang mengunci di dalam kamar orang tuanya.
‘Bodoh!’
Aldan merutuki dirinya sendiri yang tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan nyawa kedua orang tuanya.
“Ma, Mama ... Bangun, Ma!” Aldan menangis sambil menggoyangkan tubuh Yuyun. Dia berharap sang Mama hidup kembali meskipun itu tidak mungkin terjadi.
Beberapa menit kemudian, hujan masih deras. Dengan bermandikan air mata, Aldan mencoba kuat berdiri dan melangkah ke arah pintu.
Aldan bimbang dan ketakutan. Dia tidak tahu apakah pria bersepatu masih ada di rumahnya atau sudah pergi.
“Tolong!” Satu-satunya cara yang Aldan bisa lakukan adalah berteriak meminta bantuan meskipun sulit didengar karena hujan masih deras. “Siapapun yang mendengarnya, tolong Aldan!”
“Ya aku mendengarnya, nak.” Ada suara yang menyahut dari luar kamar tepat di depan pintu, membuat Aldan sangat terkejut dan spontan melangkah mundur.
Rupanya pria bersepatu masih ada di sana, “Buka pintunya, nak. Aku akan menolongmu.”
“Pergi!” Aldan meraung sekuat tenaga dengan wajah memerah karena amarah. “Pergi!”
“Emm sepertinya kamu sangat marah, nak. Maafkan aku, tapi aku juga harus membunuhmu,” ucap pria bersepatu dengan gaya khasnya. Lalu dia menendang pintu kamar.
Aldan yang tadinya marah, kini wajahnya berubah menjadi panik. Dia takut pria bersepatu bisa mendobrak pintu kamar. Tanpa berpikir panjang, anak itu berlari mengambil sebuah kursi dan meletakkan di depan pintu sambil diberi tekanan agar sang pembunuh tidak kuat menjebol pertahanan terakhirnya.
BRAK!
“Akh!” Tangan Aldan kesakitan, tendangan pria bersepatu sangat kuat dan bertenaga sehingga menimbulkan getaran pada kursi.
“Tolong!” Sambil menekan kursi dengan sekuat tenaga, Aldan berteriak kembali meminta bantuan. Dia panik, mungkin butuh dua tendangan lagi pintu kamar akan jebol.
Alam semesta berpihak pada Aldan. setelah berteriak, hujan semakin reda. Anak itu tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyelamatkan diri dari pria bersepatu. Dia berteriak sekencang mungkin sampai suaranya serak, “Tolong! Ada orang jahat! Tolong!”
“Kali ini kamu selamat, nak,” kata pria bersepatu berhenti mendobrak. “Tapi aku tetap akan mencarimu. Kamu harus mati, nak.”
“Tolong!” Aldan menghiraukan dan terus berteriak sekuat tenaga. “Tolong!”
Usaha Aldan berhasil, teriakan keras mampu mengundang beberapa orang datang ke rumahnya. Mereka kaget bukan main melihat Chandra yang meninggal dengan sangat mengenaskan, tubuhnya dipenuhi sayatan pisau.
“Aldan?”
Mendengar suara orang banyak, Aldan membuka pintu. Dia menangis sejadi-jadinya melihat kembali Papanya yang bermandikan darah. Tubuh anak itu melemas seketika, jantungnya berdetak hebat.
“Apa yang terjadi?” tanya salah satunya. Dan mereka semakin terkejut melihat Yuyun juga tergeletak di lantai, “Kenapa ini bisa terjadi, Aldan? Siapa yang melakukannya?”
“Siapa yang membunuh Papa dan Mamamu?” tanya yang lainnya.
Aldan terpaku, dia tidak bisa menjawab pertanyaan. Pikiran anak itu tertuju pada kedua orang tua tercinta. Pagi hari mereka masih bersenda gurau, tetapi sore harinya dia harus kehilangan Papa dan Mamanya.
Tubuh Aldan semakin melemas. Perlahan dia roboh, seolah tak mampu menopang hidupnya kembali tanpa hadirnya sosok orang tua. Sementara salah satu orang dengan cekatan menangkap tubuh anak itu dan memapahnya ke kursi yang tak jauh dari sana.
“Tidak!”
Aldan tiba-tiba berteriak histeris, kejadian mengenaskan ini sulit untuk dibayangkan. Tidak ada yang tersisa! Kebersamaan dengan orang tuanya hanya tinggal kenangan.
“Tenangkan dirimu, Aldan. Ceritakan padaku siapa yang tega membunuh kedua orang tuamu?”
Aldan lagi-lagi tak menjawab, seolah-olah tidak mendengar pertanyaan dari mereka. Dia sangat terpukul, pikirannya hanya tertuju pada kedua orang tuanya.
30 menit kemudian banyak orang yang datang menyesaki sekitar rumah Chandra yang sudah diberi garis pembatas polisi.
Sementara Aldan hanya duduk di kursi teras dengan pandangan kosong. Salah satu polisi yang bertugas berjalan mendekat dan mengusap air mata anak itu.
“Tenangkan dirimu. Kami akan mencari pelaku yang membunuh Papa dan Mamamu. Jika nak Aldan sudah tenang, ceritakan pada kami ciri-ciri pelakunya agar kami segera menangkapnya,” Kata polisi itu yang usianya sekitar 30 tahunan.
Aldan masih membisu, bayangannya terpatri pada pria bersepatu yang sudah menghabisi nyawa kedua orang tuanya.
“Ow ya ini kartu namaku,” ucap polisi itu sambil mengeluarkan kartu nama berukuran kecil dan memasukkannya ke saku baju milik Aldan. “Jika nak Aldan sudah tenang, hubungi aku. Aku berjanji akan menghukum penjahat itu.”
Bukan hanya kartu nama, polisi itu juga memasukkan sebuah ponsel ke dalam saku baju milik Aldan, “Pelakunya harus segera ditangkap sebelum dia melarikan diri. Segera hubungi aku jika nak Aldan melihat atau menemukan sebuah bukti yang mengarah pada pelaku.”
Aldan masih diam seribu kata, tetapi suara-suara berisik semua orang yang ada di sekeliling rumah, membuat dirinya mulai menangis kembali.
“Siapa yang membunuh pak Chandra dan buk Yuyun?”
“Pak Chandra dan buk Yuyun orang baik, aku tidak menyangka mereka dibunuh.”
“Sangat kejam, biadap! Pelakunya harus dihukum mati!”
Ucapan bersahutan dari semua orang, membuat Aldan berdiri dan berlari menerobos garis pembatas polisi dan pergi meninggalkan rumahnya.
Semua orang melihatnya dan bertanya-tanya kemanakah Aldan pergi? Tetapi polisi yang barusan bersama anak itu memberi isyarat kepada temannya agar membiarkan Aldan pergi.
Sementara Aldan berlari ke sekolahnya yang memang tak jauh dari rumah. Dia duduk, menyandarkan tubuhnya ke tembok depan kelas di lantai dua.
Aldan menangis sejadi-jadinya, “Papa, Mama! Kembalilah, Aldan tidak bisa hidup tanpa Papa Mama.”
Di tengah tangis, Aldan tiba-tiba teringat pada kalung liontin yang dia temukan di depan pintu rumah. Anak itu mengambil di saku baju dan memperhatikan dengan cermat, mungkin kalung itu bisa dijadikan bukti. Dia juga baru ingat, ada seorang polisi yang memberikan sebuah ponsel dan kartu nama.
Aldan menghubungi polisi yang bernama Hendrawan, “Halo. Ini aku, Aldan. Aku tahu ciri-ciri pelaku. Aku ingat wajah orang yang menghabisi Papa Mamaku. Aku juga menemukan sebuah kalung di rumahku. Mungkin kalung ini yang dia cari,” ungkap Aldan dengan sesegukan tangisan.
“Ya kalung ini ada di tanganku,” kata Aldan lagi.
“Aku ada di lantai dua sekolahku,” ucap Aldan mengakhiri, sambungan telepon pun terputus.
Aldan menangis kembali mengingat kematian tragis yang menimpa kedua orang tuanya, tetapi tangisnya terhenti ketika ada suara langkah kaki yang mendekat. Anak itu berdiri dan menoleh ke sumber suara.
Suara langkah itu berasal dari arah lantai dua yang kekurangan sumber cahaya. Perlahan, jantung Aldan berdetak kencang. Sepertinya dia sangat mengenal suara itu.
‘Pria bersepatu?’ tanya Aldan dalam hatinya. Dia sangat panik dan takut. pandangannya fokus ke arah depan,suara langkah sepatu semakin dekat.
Deg!
Pertama kali yang Aldan lihat adalah sepatu, lalu badan dan kini pemilik langkah itu terlihat jelas. Dia adalah pria bersepatu!
Mata Aldan membelalak sempurna, jantungnya memompa begitu cepat. Sementara pria bersepatu tersenyum penuh arti bersitatap dengan mangsanya. “Kita bertemu lagi, nak.” Tak menunggu lama, Aldan memutar badan dan berlari sekencang mungkin. Pria bersepatu pun tak tinggal diam, dia mengejar anak itu. Aldan berlari dengan napas yang tersengal-sengal. Rasa sedih, takut, serta panik menjadi satu dalam hatinya. Yang ada di pikirannya hanya berlari dan berlari meloloskan diri dari kejaran pria bersepatu. “Tolong!” sambil berlari kencang, Aldan berteriak. Namun suaranya seperti tertahan, tak terdengar nyaring karena napas dan jantungnya ikut berlari. Rasa takut sangat jelas menyelimuti anak itu. Bagai seekor kucing yang mengejar tikus, mereka berlari adu kecepatan dengan tujuan masing-masing. Di sekolah itu sangat luas, Aldan terus menyusuri lantai dua hingga akhirnya dia menuruni tangga. Aldan memenangkan adu lari. Selepas dari tangga, ada sebuah lorong yang mengarah ke kanan dan ke kiri.
“Lepaskan aku!” Aldan memberontak sekuat tenaga. Namun, kekuatannya tak sebanding, cengkraman pria bersepatu sangat kuat.Pria bersepatu melemparkan Aldan ke dalam kandang, “Aku menepati janjiku padamu, nak. Bermainlah, kamu pasti menyukai permainan ini.”“Apa yang Om mau dariku? Jangan sakiti Aldan.”“Siapa yang mau menyakitimu,nak? Kami gak bakalan menyentuhmu,” respon Hendrawan mengulas senyuman licik. Aldan tidak percaya, dia sangat yakin kedua orang jahat itu sudah mempersiapkan suatu yang buruk untuknya. Mungkin sebentar lagi dirinya akan menyusul Chandra dan Yuyun ke surga.“Tolong lepaskan Aldan, Om.” Berulang kali Aldan memelas mengharap belas kasihan, tetapi itu tidak ada artinya.“Itu tergantung dirimu, nak. Kamu sendiri yang menentukan nasibmu,” kata pria bersepatu.“Apa maksudmu, Om? Aldan gak ngerti?” tanya Aldan yang terlihat semakin gusar.Hendrawan menjawab dengan bertepuk tangan berulang kali, seolah memberi isyarat pada seseorang. Hal itu membuat jantung Aldan memo
Pria bersepatu dan Hendrawan sangat kesal karena tidak menemukan kalung liontin di sekolah.“Bocah ingusan itu telah menipu kita,” kata Hendrawan.“Kau tidak perlu khawatir, Hendra. Meskipun kalungnya tidak ditemukan, kasus ini akan tertutup rapi. Tidak ada saksi hidup yang tersisa, anak Chandra sekarang pasti sudah ada di perut seekor anjing ... Tugasmu hanya mengurus di kantor polisi.” sahut pria bersepatu. Mendengarnya, perlahan senyum mengambang di bibir Hendrawan, “Benar, kita gak perlu repot-repot mencarinya. Sisanya serahkan padaku. Aku seorang polisi, sangat mudah bagiku menutup kasus ini.”Sementara itu,Aldan mengusap mulutnya yang dipenuhi darah dengan tetap menatap nanar pada seekor Anjing yang berhasil dibunuhnya. Perlahan kedua tangannya bergerak di perut binatang itu.“yaakkkkkkkk ...” Aldan berperilaku seperti seekor binatang buas. Dia mencakar dan mengoyak hingga akhirnya berhasil membelah perut Anjing. Aldan mengeluarkan isi perut Anjing dan menatapnya dengan mata
Pagi hari, nampak seorang pria tampan nan gagah berjalan ke arah gedung tinggi pencakar langit. Dia Aldan Pratama Chandra Putra, tetapi di perusahaan dia mengganti namanya menjadi Putra Saputra. Ketampanannya nyaris sempurna. Dengan tinggi 175 cm dan kulit putih, siapapun yang melihatnya pasti jatuh cinta pada pandangan pertama. Hari ini adalah hari pertama kerja Aldan di perusahaan cosmo indofood. Sekarang misi balas dendamnya dimulai. Dia berhasil menjadi asisten direktur keuangan di perusahaan cosmo indofood, jabatan yang sama seperti mendiang Papanya. Tentu ini semua berkat orang dalam yang berjasa memasukkan Aldan ke perusahaan, tetapi sebenarnya dia orang yang sangat cerdas dan pantas menduduki jabatan yang dia inginkan. “Saya harap anda bekerja dengan baik. Satu lagi, anda harus cepat beradaptasi dengan lingkungan perusahaan,” kata Ridwan , direktur keuangan. “Baik, Pak. Saya sangat senang bisa menjadi bagian perusahaan terbesar yang ada di Indonesia. Saya berjanji akan beke
Jam istirahat kerja, Aldan dan Rangga pergi bersama ke restoran yang ada di belakang perusahaan. “Kamu sudah berapa tahun kerja di sini?” tanya Aldan sambil berjalan di sisi kanan Rangga. “Sudah satu tahun ... Ow ya aku yakin kamu banyak prestasinya, baru masuk kerja langsung ditempatkan di posisi asisten divisi keuangan. Satu tingkat di atasku,” jawab Rangga setengah memberikan pujian pada Aldan. “Aku hanya orang biasa. Aku hanya beruntung saja.” Di tengah perjalanan dari arah berlawanan ada seorang pria tua berkacamata berjalan sambil fokus memainkan ponselnya, sehingga tanpa sengaja menabrak Aldan yang sudah mencoba menghindar. “Ah sialan, kalau jalan lihat-lihat. Pakai matamu!” berang pria tua itu dengan nada yang begitu tinggi. “Maaf, pak. Tapi anda yang salah. Anda fokus bermain hp saat berjalan,” protes Aldan. PLAK! Aldan memegang pipinya yang mendapat tamparan dari pria tua berkacamata. “Lancang sekali! Kau tau siapa aku? Hah?!” sergah pria tua berkacamata dengan sor
Lukman mengangkat dagu dan menatap Aldan dengan tatapan menyala-nyala, “Kau melawanku? Kau tidak tau siapa aku, hah?! Jika Lukman sudah marah, orang itu tidak akan selamat dariku!” “Lepaskan tanganku, bodoh!” kelakar Lukman penuh emosi melihat Aldan masih mencengkram tangannya di udara.Sementara, Rangga dan beberapa karyawan lainnya dibuat semakin tak percaya atas sikap berani pria tampan itu.Aldan tersenyum miring sambil melepaskan tangan Lukman, dan seketika itu pula pria tua itu menarik kerah baju Aldan dengan tatapan mata berkilat iblis, “Kau bukan hanya dipecat. Bersiap-siaplah menerima kemarahan Lukman Wafa!” ancamnya, lalu mendorong kasar tubuh Aldan.Sementara Rangga hanya diam, saat ini dia tidak bisa berbuat sesuatu ketika seorang Lukman Wafa sudah marah. Siapa saja yang menghentikan kemarahan sang sekeretaris CEO, maka orang itu juga akan terkena imbasnya.Namun, Aldan terlihat santai. Tidak ada ketakutan sedikitpun, bahkan senyuman tetap mengalir berhias di wajahnya, “
Aldan tersenyum dan melepaskan jabatan tangannya, “Emm apa Bapak mau menemani saya makan?” “Tidak, terima kasih,” jawab Lukman mengulas senyum paksa, meskipun hatinya saat ini tengah panas dan tidak sabar ingin memberi pelajaran pada Aldan. “Hemm baiklah, saya rasa permasalahan sudah selesai. Saya harap di kemudian hari tidak terulang lagi,” sahut Dhea tersenyum lega. Aldan tersenyum, “Iya Bu ... Oh ya, izinkan saya pergi duluan, Bu.” “Ah, iya iya, silahkan,” jawab Dhea, lalu Aldan dan Rangga pun pergi. Berjalan bersisian dengan Aldan, terlihat jelas ada kecemasan berlebihan pada diri Rangga. “Putra, aku tau kamu tidak bersalah. Tapi kamu gak tau siapa pak Lukman. Dia gak akan tinggal diam. Dia pasti berusaha mencari cara memecatmu, begitupun denganku. Mungkin aku juga akan dipecat,” tutur Rangga menghembus napas dengan raut wajah kecewa. “sungguh aku benar-benar gak percaya dengan sikapmu barusan. Sebagai karyawan dibawahnya pak Lukman, seharusnya kamu diam.” “Hem jadi dia te
“Serius, aku benar-benar serius. Kamu wanita paling sempurna yang aku temui. Jarang sekali ada wanita cantik yang pintar, murah senyum, pokoknya kamu perfect pakek banget,” goda Aldan yang semakin membuat Verra melayang-layang. “aku penasaran tentang kehidupanmu. Kamu berasal darimana, bagaimana keseharianmu ... aku yakin orang tuamu sangat hebat, bisa mempunyai anak secantik dan sepintar kamu.”Pujian maut yang dilancarkan Aldan berhasil membuat hati Anggun meleleh. Sebenarnya sudah banyak lelaki yang memberikan kata-kata puitis padanya, tetapi entah kenapa wanita cantik itu merasa berbunga-bunga meskipun baru mengenal Aldan. Sepertinya dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.“Telingaku membesar nih,” canda Verra sambil menatap jauh ke dalam mata bermanik gelap milik Aldan yang juga tengah menatapnya tanpa kedip. Tatapan wanita cantik itu berubah dari panas ke dingin dalam hitungan detik kala mencoba melepaskan dirinya dari perangkap ketampanan yang terasa mematikan kewarasanny