Share

5. Seorang Polisi

Aldan melanjutkan cerita pembunuhan 10 tahun yang lalu pada Faizal Hamid.

Waktu itu! 

Setelah berhasil membunuh Chandra, pria bersepatu berusaha melenyapkan Aldan yang mengunci di dalam kamar orang tuanya.

‘Bodoh!’

Aldan merutuki dirinya sendiri yang tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan nyawa kedua orang tuanya. 

“Ma, Mama ... Bangun, Ma!” Aldan menangis sambil menggoyangkan tubuh Yuyun. Dia berharap sang Mama hidup kembali meskipun itu tidak mungkin terjadi.

Beberapa menit kemudian, hujan masih deras. Dengan bermandikan air mata, Aldan mencoba kuat berdiri dan melangkah ke arah pintu.

Aldan bimbang dan ketakutan. Dia tidak tahu apakah pria bersepatu masih ada di rumahnya atau sudah pergi. 

“Tolong!” Satu-satunya cara yang Aldan bisa lakukan adalah berteriak meminta bantuan meskipun sulit didengar karena hujan masih deras. “Siapapun yang mendengarnya, tolong Aldan!”

“Ya aku mendengarnya, nak.” Ada suara yang menyahut dari luar kamar tepat di depan pintu, membuat Aldan sangat terkejut dan spontan melangkah mundur.

Rupanya pria bersepatu masih ada di sana, “Buka pintunya, nak. Aku akan menolongmu.”

“Pergi!” Aldan meraung sekuat tenaga dengan wajah memerah karena amarah. “Pergi!”

“Emm sepertinya kamu sangat marah, nak. Maafkan aku, tapi aku juga harus membunuhmu,” ucap pria bersepatu dengan gaya khasnya. Lalu dia menendang pintu kamar.

Aldan yang tadinya marah, kini wajahnya berubah menjadi panik. Dia takut pria bersepatu bisa mendobrak pintu kamar. Tanpa berpikir panjang, anak itu berlari mengambil sebuah kursi dan meletakkan di depan pintu sambil diberi tekanan agar sang pembunuh tidak kuat menjebol pertahanan terakhirnya.

BRAK!

“Akh!” Tangan Aldan kesakitan, tendangan pria bersepatu sangat kuat dan bertenaga sehingga menimbulkan getaran pada kursi. 

“Tolong!” Sambil menekan kursi dengan sekuat tenaga, Aldan berteriak kembali meminta bantuan. Dia panik, mungkin butuh dua tendangan lagi pintu kamar akan jebol.

Alam semesta berpihak pada Aldan. setelah berteriak, hujan semakin reda. Anak itu tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyelamatkan diri dari pria bersepatu. Dia berteriak sekencang mungkin sampai suaranya serak, “Tolong! Ada orang jahat! Tolong!”

“Kali ini kamu selamat, nak,” kata pria bersepatu berhenti mendobrak. “Tapi aku tetap akan mencarimu. Kamu harus mati, nak.”

“Tolong!” Aldan menghiraukan dan terus berteriak sekuat tenaga. “Tolong!”

Usaha Aldan berhasil, teriakan keras mampu mengundang beberapa orang datang ke rumahnya. Mereka kaget bukan main melihat Chandra yang meninggal dengan sangat mengenaskan, tubuhnya dipenuhi sayatan pisau.

“Aldan?” 

Mendengar suara orang banyak, Aldan membuka pintu. Dia menangis sejadi-jadinya melihat kembali Papanya yang bermandikan darah. Tubuh anak itu melemas seketika, jantungnya berdetak hebat.

“Apa yang terjadi?” tanya salah satunya. Dan mereka semakin terkejut melihat Yuyun juga tergeletak di lantai, “Kenapa ini bisa terjadi, Aldan? Siapa yang melakukannya?”

“Siapa yang membunuh Papa dan Mamamu?” tanya yang lainnya.

Aldan terpaku, dia tidak bisa menjawab pertanyaan. Pikiran anak itu tertuju pada kedua orang tua tercinta. Pagi hari mereka masih bersenda gurau, tetapi sore harinya dia harus kehilangan Papa dan Mamanya.

Tubuh Aldan semakin melemas. Perlahan dia roboh, seolah tak mampu menopang hidupnya kembali tanpa hadirnya sosok orang tua. Sementara salah satu orang dengan cekatan menangkap tubuh anak itu dan memapahnya ke kursi yang tak jauh dari sana.

“Tidak!”

Aldan tiba-tiba berteriak histeris, kejadian mengenaskan ini sulit untuk dibayangkan. Tidak ada yang tersisa! Kebersamaan dengan orang tuanya hanya tinggal kenangan.

“Tenangkan dirimu, Aldan. Ceritakan padaku siapa yang tega membunuh kedua orang tuamu?”

Aldan lagi-lagi tak menjawab, seolah-olah tidak mendengar pertanyaan dari mereka. Dia sangat terpukul, pikirannya hanya tertuju pada kedua orang tuanya.

30 menit kemudian banyak orang yang datang menyesaki sekitar rumah Chandra yang sudah diberi garis pembatas polisi.

Sementara Aldan hanya duduk di kursi teras dengan pandangan kosong. Salah satu polisi yang bertugas berjalan mendekat dan mengusap air mata anak itu.

“Tenangkan dirimu. Kami akan mencari pelaku yang membunuh Papa dan Mamamu. Jika nak Aldan sudah tenang, ceritakan pada kami ciri-ciri pelakunya agar kami segera menangkapnya,” Kata polisi itu yang usianya sekitar 30 tahunan. 

Aldan masih membisu, bayangannya terpatri pada pria bersepatu yang sudah menghabisi nyawa kedua orang tuanya.

“Ow ya ini kartu namaku,” ucap polisi itu sambil mengeluarkan kartu nama berukuran kecil dan memasukkannya ke saku baju milik Aldan. “Jika nak Aldan sudah tenang, hubungi aku. Aku berjanji akan menghukum penjahat itu.”

Bukan hanya kartu nama, polisi itu juga memasukkan sebuah ponsel ke dalam saku baju milik Aldan, “Pelakunya harus segera ditangkap sebelum dia melarikan diri. Segera hubungi aku jika nak Aldan melihat atau menemukan sebuah bukti yang mengarah pada pelaku.”

Aldan masih diam seribu kata, tetapi suara-suara berisik semua orang yang ada di sekeliling rumah, membuat dirinya mulai menangis kembali.

“Siapa yang membunuh pak Chandra dan buk Yuyun?”

“Pak Chandra dan buk Yuyun orang baik, aku tidak menyangka mereka dibunuh.”

“Sangat kejam, biadap! Pelakunya harus dihukum mati!”

Ucapan bersahutan dari semua orang, membuat Aldan berdiri dan berlari menerobos garis pembatas polisi dan pergi meninggalkan rumahnya. 

Semua orang melihatnya dan bertanya-tanya kemanakah Aldan pergi? Tetapi polisi yang barusan bersama anak itu memberi isyarat kepada temannya agar membiarkan Aldan pergi.

Sementara Aldan berlari ke sekolahnya yang memang tak jauh dari rumah. Dia duduk, menyandarkan tubuhnya ke tembok depan kelas di lantai dua.

Aldan menangis sejadi-jadinya, “Papa, Mama! Kembalilah, Aldan tidak bisa hidup tanpa Papa Mama.”

Di tengah tangis, Aldan tiba-tiba teringat pada kalung liontin yang dia temukan di depan pintu rumah. Anak itu mengambil di saku baju dan memperhatikan dengan cermat, mungkin kalung itu bisa dijadikan bukti. Dia juga baru ingat, ada seorang polisi yang memberikan sebuah ponsel dan kartu nama.

Aldan menghubungi polisi yang bernama Hendrawan, “Halo. Ini aku, Aldan. Aku tahu ciri-ciri pelaku. Aku ingat wajah orang yang menghabisi Papa Mamaku. Aku juga menemukan sebuah kalung di rumahku. Mungkin kalung ini yang dia cari,” ungkap Aldan dengan sesegukan tangisan.

“Ya kalung ini ada di tanganku,” kata Aldan lagi. 

“Aku ada di lantai dua sekolahku,” ucap Aldan mengakhiri, sambungan telepon pun terputus.

Aldan menangis kembali mengingat kematian tragis yang menimpa kedua orang tuanya, tetapi tangisnya terhenti ketika ada suara langkah kaki yang mendekat. Anak itu berdiri dan menoleh ke sumber suara.

Suara langkah itu berasal dari arah lantai dua yang kekurangan sumber cahaya. Perlahan, jantung Aldan berdetak kencang. Sepertinya dia sangat mengenal suara itu.

‘Pria bersepatu?’ tanya Aldan dalam hatinya. Dia sangat panik dan takut. pandangannya fokus ke arah depan,suara langkah sepatu semakin dekat.

Deg!

Pertama kali yang Aldan lihat adalah sepatu, lalu badan dan kini pemilik langkah itu terlihat jelas. Dia adalah pria bersepatu!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status