Share

6. Lari

Mata Aldan membelalak sempurna, jantungnya memompa begitu cepat. Sementara pria bersepatu tersenyum penuh arti bersitatap dengan mangsanya.

“Kita bertemu lagi, nak.”

Tak menunggu lama, Aldan memutar badan dan berlari sekencang mungkin. Pria bersepatu pun tak tinggal diam, dia mengejar anak itu.

Aldan berlari dengan napas yang tersengal-sengal. Rasa sedih, takut, serta panik menjadi satu dalam hatinya. Yang ada di pikirannya hanya berlari dan berlari meloloskan diri dari kejaran pria bersepatu.

“Tolong!” sambil berlari kencang, Aldan berteriak. Namun suaranya seperti tertahan, tak terdengar nyaring karena napas dan jantungnya ikut berlari. Rasa takut sangat jelas menyelimuti anak itu.

Bagai seekor kucing yang mengejar tikus, mereka berlari adu kecepatan dengan tujuan masing-masing. Di sekolah itu sangat luas, Aldan terus menyusuri lantai dua hingga akhirnya dia menuruni tangga.

Aldan memenangkan adu lari. Selepas dari tangga, ada sebuah lorong yang mengarah ke kanan dan ke kiri. Anak itu mengelabuhi pria bersepatu dengan tidak langsung turun ke bawah, tetapi memilih berlari ke arah kiri lantai dua dan masuk ke dalam kelas yang tak terkunci.

Awalnya berhasil, pria bertopeng terus menuruni anak tangga. Namun, sialnya Aldan tak sengaja menyenggol kursi yang membuat pemangsanya berhenti dan memutar badan kembali ke lantai dua.

“Sial,” umpat Aldan dalam hatinya. Lalu dia keluar kelas dan berlari ke arah lain karena kelas itu tidak bisa dikunci dari dalam.

Pengejaran pun terulang, Aldan menyusuri lorong lantai dua. Anak itu memasuki ruangan lab sains yang ada di pojok. Dengan napas tersengal-sengal, dia mengunci pintu lab dari dalam.

Aldan mengatur napas sejenak sembari berpikir keras meloloskan diri. Dia harus mencari jalan keluar dari lab sains karena pria bersepatu pasti dengan mudah bisa mendobrak pintu itu.

Brak!

Pria bersepatu mulai mendobrak pintu, “Nak, kamu tak ‘kan bisa lari dariku.”

“Aku harus selamat,” gumam Aldan di tengah kepanikan. Lalu dia berlari mengambil sebuah botol berisi cairan yang berada di meja ruangan lab. 

Aldan bersembunyi di tempat yang kekurangan cahaya. Salah satu alasan yang mendasari ingin tetap hidup, dia ingin balas dendam pada pria bersepatu karena sudah membunuh kedua orang tuanya.

BRAK!

Akhirnya pintu lab sains berhasil di dobrak. Pria bersepatu melangkah santai menoleh ke berbagai arah mencari keberadaan Aldan, “Nak, kemarilah. Jangan bersembunyi dariku.”

Pria bersepatu berhenti di depan salah satu meja. Dia berjongkok dengan pelan-pelan untuk mengecek keberadaan Aldan, “Nak?”

Aldan tidak ada di bawah meja itu, pria bersepatu kembali berdiri. Namun, baru saja tubuh pria itu tegak dengan sempurna, tiba-tiba seorang anak yang dicarinya muncul dari arah tempat yang gelap.

SUARRR!

Aldan menyiramkan sebuah cairan kimia ke arah mata pria bersepatu.

“Akhhhh.” Pria bersepatu menjerit kesakitan dan spontan menutupi mata dengan kedua tangan. Sangat perih, cairan kimia itu lumayan keras. Bahkan di area wajah pria itu terlihat asap yang sedikit mengepul.

Pria bersepatu berulang kali menjerit kesakitan, hingga dia sempoyongan dan akhirnya terjatuh sambil kedua tangan tetap menutupi mata. Bukan hanya perih, cairan itu benar-benar menyiksanya.

Sementara Aldan berdiri di ambang pintu memperhatikan pria bersepatu. Dia melihat di leher sang pembunuh ada bekas luka bakar. Setelah mengamati ciri-ciri pria bersepatu, anak itu pergi meninggalkan ruangan lab sains sebelum penglihatan pemangsa kembali normal.

Awalnya Aldan merasa cukup aman, tetapi nyatanya tidak demikian. Di lantai bawah, dia sudah ditunggu polisi itu.

“Dimana kalung itu? Berikan padaku,” pinta ramah polisi yang bernama Hendrawan. 

Aldan takut dan gusar karena dia yakin polisi di depannya sudah bekerja sama dengan pria bersepatu. Buktinya setelah dia menghubungi Hendrawan, justru pria pembunuh itu datang ke sekolah untuk membunuhnya.

Tanpa pikir panjang lagi, Aldan berlari ke arah gerbang sekolah. Kecurigaan anak itu terbukti benar, Hendrawan terlihat marah dan mengejarnya.

“Tunggu! Jangan lari anak kecil!” raung Hendrawan sambil berlari mengejar mangsanya. “Aku akan membunuhmu!”

Jantung Aldan berdetak cepat melebihi kecepatan larinya. Lari, lari, dan lari selamatkan diri! Hanya itu yang ada dipikiran anak itu. Jelas sekali wajahnya penuh keringat dingin, aura ketakutan tampak kuat menyelimutinya.

“Tolong!” teriak Aldan ketika hampir mencapai pintu gerbang. “Tolong!”

DERR! BREKK!

Baru saja Aldan berhasil ke luar dari pintu gerbang, tubuhnya disambut oleh mobil avansa berwarna hitam. 

“Akkkhhhhhhh!”

Tubuh Aldan terpental, cairan merah seketika menyuar dari dalam mulutnya. Dia melihat samar-samar orang yang telah menabraknya.

Orang itu ke luar dari dalam mobil. Dia seorang wanita yang memakai topi, wajahnya samar-samar karena Aldan tak mampu menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya hingga akhirnya dia menutup mata.

Beberapa menit kemudian.

“Nak, bangunlah,” pinta seorang pria dengan ramah. 

Anak  tampan yang terikat di kursi itu perlahan mengerjap. Butuh beberapa waktu untuk mengembalikan penglihatan ke keadaan normal, apalagi tabrakan itu masih membuat tubuhnya merasakan kesakitan. Ketika penglihatannya benar-benar terbuka, dia melihat jelas seorang pria gagah berdiri di depannya dengan gaya khas yang terlihat santai tapi menakutkan. Siapa lagi kalau bukan pria bersepatu!

“Lepaskan aku,” pinta Aldan memelas di tengah rasa takutnya. Dia sebenarnya penasaran kenapa pria bersepatu masih belum membunuhnya.

“berikan kalungnya padaku, nak. Baru aku akan memikirkan permintaanmu,” pinta pria bersepatu menatap Aldan dengan seulas senyuman licik. Lalu dia sejenak memejamkan mata karena efek cairan kimia itu masih terasa perih.

“Ambil kalungnya,  lepaskan aku. Aku mohon, om. Jangan bunuh aku.” Aldan merengek mengharap belas kasihan pria bersepatu.

Masih dengan gaya khasnya, pria bersepatu masih murah senyum dan santai, “Dimana kalungnya, nak?”

“Lepaskan tali ini dulu,” pinta Aldan setengah mencoba mengelabuhi pria bersepatu.

Pria bersepatu tersenyum penuh arti, “Kamu anak yang pintar, nak. Kamu mau berbuat curang? Emmm ... Cepat beritahu dimana kau sembunyikan kalungnya?”

Dirasa usahanya sia-sia, Aldan menunduk sedih lebih ke arah takut. Dia terlihat pasrah.

“Dimana, nak?” tanya pria bersepatu sekali lagi.

“Di saku bajuku.”

“Jangan bodohi aku. Kalungnya gak ada, nak. Dimana kamu sembunyikan kalung itu?” tanya pria bersepatu, masih dengan gaya khasnya. Tidak ada emosi sedikitpun di wajahnya.

Aldan mendongak, dia baru sadar bahwa dia tidak merasakan sebuah kalung di saku baju maupun celananya. Lalu terlintas dibenaknya, ‘Jadi ini alasan dia belum membunuhku?’

Sejujurnya Aldan tidak tahu kalung lliontin itu ada dimana, kemungkinan besar jatuh di area sekolah saat kejar-kejaran dengan pria bersepatu. Namun, hal ini justru membuat Aldan mempunyai ide untuk meloloskan diri dari pria bersepatu, “Aku baru ingat dimana kalung itu berada.”

“Dimana?”

“Tapi Om janji dulu. Lepaskan aku.”

“Hem baiklah,” kata pria bersepatu dengan mengulas senyuman licik.

“Aku menjatuhkannya di ruang kelas Delapan A, lantai dua,” kilah Aldan dengan wajah yang terlihat meyakinkan. “sekarang tepati janji Om. Lepaskan aku.”

Mendengar itu, pria bersepatu tersenyum penuh arti. Lalu dia melepaskan tali yang mengikat tubuh Aldan. 

“Sekarang izinkan aku pergi,” kata Aldan sambil berjalan, tapi pria bersepatu menghentikan langkahnya dengan mencengkram sebelah tangannya.

“Jangan buru-buru, nak. Ikuti aku dulu,” ucap pria bersepatu diiringin senyuman tipis, lalu menarik Aldan dan membawanya ke suatu tempat di belakang rumah.

“Om mau bawa Aldan kemana?” tanya Aldan curiga lebih ke arah takut.

“Bermain-main,” jawab pria bersepatu sambil tetap berjalan menarik tangan Aldan.

Aldan cemas. Dia mempunyai firasat buruk, “Om aku mau pulang.”

Pria bersepatu tidak merespon hingga akhirnya sampai di belakang rumah. Ada sebuah kandang besi berukuran besar dan luas, membuat Aldan semakin gusar dan ketakutan. Apalagi di depan kandang ada Hendrawan yang menunggu dengan tatapan seringai iblis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status