Mata Aldan membelalak sempurna, jantungnya memompa begitu cepat. Sementara pria bersepatu tersenyum penuh arti bersitatap dengan mangsanya.
“Kita bertemu lagi, nak.”
Tak menunggu lama, Aldan memutar badan dan berlari sekencang mungkin. Pria bersepatu pun tak tinggal diam, dia mengejar anak itu.
Aldan berlari dengan napas yang tersengal-sengal. Rasa sedih, takut, serta panik menjadi satu dalam hatinya. Yang ada di pikirannya hanya berlari dan berlari meloloskan diri dari kejaran pria bersepatu.
“Tolong!” sambil berlari kencang, Aldan berteriak. Namun suaranya seperti tertahan, tak terdengar nyaring karena napas dan jantungnya ikut berlari. Rasa takut sangat jelas menyelimuti anak itu.
Bagai seekor kucing yang mengejar tikus, mereka berlari adu kecepatan dengan tujuan masing-masing. Di sekolah itu sangat luas, Aldan terus menyusuri lantai dua hingga akhirnya dia menuruni tangga.
Aldan memenangkan adu lari. Selepas dari tangga, ada sebuah lorong yang mengarah ke kanan dan ke kiri. Anak itu mengelabuhi pria bersepatu dengan tidak langsung turun ke bawah, tetapi memilih berlari ke arah kiri lantai dua dan masuk ke dalam kelas yang tak terkunci.
Awalnya berhasil, pria bertopeng terus menuruni anak tangga. Namun, sialnya Aldan tak sengaja menyenggol kursi yang membuat pemangsanya berhenti dan memutar badan kembali ke lantai dua.
“Sial,” umpat Aldan dalam hatinya. Lalu dia keluar kelas dan berlari ke arah lain karena kelas itu tidak bisa dikunci dari dalam.
Pengejaran pun terulang, Aldan menyusuri lorong lantai dua. Anak itu memasuki ruangan lab sains yang ada di pojok. Dengan napas tersengal-sengal, dia mengunci pintu lab dari dalam.
Aldan mengatur napas sejenak sembari berpikir keras meloloskan diri. Dia harus mencari jalan keluar dari lab sains karena pria bersepatu pasti dengan mudah bisa mendobrak pintu itu.
Brak!
Pria bersepatu mulai mendobrak pintu, “Nak, kamu tak ‘kan bisa lari dariku.”
“Aku harus selamat,” gumam Aldan di tengah kepanikan. Lalu dia berlari mengambil sebuah botol berisi cairan yang berada di meja ruangan lab.
Aldan bersembunyi di tempat yang kekurangan cahaya. Salah satu alasan yang mendasari ingin tetap hidup, dia ingin balas dendam pada pria bersepatu karena sudah membunuh kedua orang tuanya.
BRAK!
Akhirnya pintu lab sains berhasil di dobrak. Pria bersepatu melangkah santai menoleh ke berbagai arah mencari keberadaan Aldan, “Nak, kemarilah. Jangan bersembunyi dariku.”
Pria bersepatu berhenti di depan salah satu meja. Dia berjongkok dengan pelan-pelan untuk mengecek keberadaan Aldan, “Nak?”
Aldan tidak ada di bawah meja itu, pria bersepatu kembali berdiri. Namun, baru saja tubuh pria itu tegak dengan sempurna, tiba-tiba seorang anak yang dicarinya muncul dari arah tempat yang gelap.
SUARRR!
Aldan menyiramkan sebuah cairan kimia ke arah mata pria bersepatu.
“Akhhhh.” Pria bersepatu menjerit kesakitan dan spontan menutupi mata dengan kedua tangan. Sangat perih, cairan kimia itu lumayan keras. Bahkan di area wajah pria itu terlihat asap yang sedikit mengepul.
Pria bersepatu berulang kali menjerit kesakitan, hingga dia sempoyongan dan akhirnya terjatuh sambil kedua tangan tetap menutupi mata. Bukan hanya perih, cairan itu benar-benar menyiksanya.
Sementara Aldan berdiri di ambang pintu memperhatikan pria bersepatu. Dia melihat di leher sang pembunuh ada bekas luka bakar. Setelah mengamati ciri-ciri pria bersepatu, anak itu pergi meninggalkan ruangan lab sains sebelum penglihatan pemangsa kembali normal.
Awalnya Aldan merasa cukup aman, tetapi nyatanya tidak demikian. Di lantai bawah, dia sudah ditunggu polisi itu.
“Dimana kalung itu? Berikan padaku,” pinta ramah polisi yang bernama Hendrawan.
Aldan takut dan gusar karena dia yakin polisi di depannya sudah bekerja sama dengan pria bersepatu. Buktinya setelah dia menghubungi Hendrawan, justru pria pembunuh itu datang ke sekolah untuk membunuhnya.
Tanpa pikir panjang lagi, Aldan berlari ke arah gerbang sekolah. Kecurigaan anak itu terbukti benar, Hendrawan terlihat marah dan mengejarnya.
“Tunggu! Jangan lari anak kecil!” raung Hendrawan sambil berlari mengejar mangsanya. “Aku akan membunuhmu!”
Jantung Aldan berdetak cepat melebihi kecepatan larinya. Lari, lari, dan lari selamatkan diri! Hanya itu yang ada dipikiran anak itu. Jelas sekali wajahnya penuh keringat dingin, aura ketakutan tampak kuat menyelimutinya.
“Tolong!” teriak Aldan ketika hampir mencapai pintu gerbang. “Tolong!”
DERR! BREKK!
Baru saja Aldan berhasil ke luar dari pintu gerbang, tubuhnya disambut oleh mobil avansa berwarna hitam.
“Akkkhhhhhhh!”
Tubuh Aldan terpental, cairan merah seketika menyuar dari dalam mulutnya. Dia melihat samar-samar orang yang telah menabraknya.
Orang itu ke luar dari dalam mobil. Dia seorang wanita yang memakai topi, wajahnya samar-samar karena Aldan tak mampu menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya hingga akhirnya dia menutup mata.
Beberapa menit kemudian.
“Nak, bangunlah,” pinta seorang pria dengan ramah.
Anak tampan yang terikat di kursi itu perlahan mengerjap. Butuh beberapa waktu untuk mengembalikan penglihatan ke keadaan normal, apalagi tabrakan itu masih membuat tubuhnya merasakan kesakitan. Ketika penglihatannya benar-benar terbuka, dia melihat jelas seorang pria gagah berdiri di depannya dengan gaya khas yang terlihat santai tapi menakutkan. Siapa lagi kalau bukan pria bersepatu!
“Lepaskan aku,” pinta Aldan memelas di tengah rasa takutnya. Dia sebenarnya penasaran kenapa pria bersepatu masih belum membunuhnya.
“berikan kalungnya padaku, nak. Baru aku akan memikirkan permintaanmu,” pinta pria bersepatu menatap Aldan dengan seulas senyuman licik. Lalu dia sejenak memejamkan mata karena efek cairan kimia itu masih terasa perih.
“Ambil kalungnya, lepaskan aku. Aku mohon, om. Jangan bunuh aku.” Aldan merengek mengharap belas kasihan pria bersepatu.
Masih dengan gaya khasnya, pria bersepatu masih murah senyum dan santai, “Dimana kalungnya, nak?”
“Lepaskan tali ini dulu,” pinta Aldan setengah mencoba mengelabuhi pria bersepatu.
Pria bersepatu tersenyum penuh arti, “Kamu anak yang pintar, nak. Kamu mau berbuat curang? Emmm ... Cepat beritahu dimana kau sembunyikan kalungnya?”
Dirasa usahanya sia-sia, Aldan menunduk sedih lebih ke arah takut. Dia terlihat pasrah.
“Dimana, nak?” tanya pria bersepatu sekali lagi.
“Di saku bajuku.”
“Jangan bodohi aku. Kalungnya gak ada, nak. Dimana kamu sembunyikan kalung itu?” tanya pria bersepatu, masih dengan gaya khasnya. Tidak ada emosi sedikitpun di wajahnya.
Aldan mendongak, dia baru sadar bahwa dia tidak merasakan sebuah kalung di saku baju maupun celananya. Lalu terlintas dibenaknya, ‘Jadi ini alasan dia belum membunuhku?’
Sejujurnya Aldan tidak tahu kalung lliontin itu ada dimana, kemungkinan besar jatuh di area sekolah saat kejar-kejaran dengan pria bersepatu. Namun, hal ini justru membuat Aldan mempunyai ide untuk meloloskan diri dari pria bersepatu, “Aku baru ingat dimana kalung itu berada.”
“Dimana?”
“Tapi Om janji dulu. Lepaskan aku.”
“Hem baiklah,” kata pria bersepatu dengan mengulas senyuman licik.
“Aku menjatuhkannya di ruang kelas Delapan A, lantai dua,” kilah Aldan dengan wajah yang terlihat meyakinkan. “sekarang tepati janji Om. Lepaskan aku.”
Mendengar itu, pria bersepatu tersenyum penuh arti. Lalu dia melepaskan tali yang mengikat tubuh Aldan.
“Sekarang izinkan aku pergi,” kata Aldan sambil berjalan, tapi pria bersepatu menghentikan langkahnya dengan mencengkram sebelah tangannya.
“Jangan buru-buru, nak. Ikuti aku dulu,” ucap pria bersepatu diiringin senyuman tipis, lalu menarik Aldan dan membawanya ke suatu tempat di belakang rumah.
“Om mau bawa Aldan kemana?” tanya Aldan curiga lebih ke arah takut.
“Bermain-main,” jawab pria bersepatu sambil tetap berjalan menarik tangan Aldan.
Aldan cemas. Dia mempunyai firasat buruk, “Om aku mau pulang.”
Pria bersepatu tidak merespon hingga akhirnya sampai di belakang rumah. Ada sebuah kandang besi berukuran besar dan luas, membuat Aldan semakin gusar dan ketakutan. Apalagi di depan kandang ada Hendrawan yang menunggu dengan tatapan seringai iblis.
“Lepaskan aku!” Aldan memberontak sekuat tenaga. Namun, kekuatannya tak sebanding, cengkraman pria bersepatu sangat kuat.Pria bersepatu melemparkan Aldan ke dalam kandang, “Aku menepati janjiku padamu, nak. Bermainlah, kamu pasti menyukai permainan ini.”“Apa yang Om mau dariku? Jangan sakiti Aldan.”“Siapa yang mau menyakitimu,nak? Kami gak bakalan menyentuhmu,” respon Hendrawan mengulas senyuman licik. Aldan tidak percaya, dia sangat yakin kedua orang jahat itu sudah mempersiapkan suatu yang buruk untuknya. Mungkin sebentar lagi dirinya akan menyusul Chandra dan Yuyun ke surga.“Tolong lepaskan Aldan, Om.” Berulang kali Aldan memelas mengharap belas kasihan, tetapi itu tidak ada artinya.“Itu tergantung dirimu, nak. Kamu sendiri yang menentukan nasibmu,” kata pria bersepatu.“Apa maksudmu, Om? Aldan gak ngerti?” tanya Aldan yang terlihat semakin gusar.Hendrawan menjawab dengan bertepuk tangan berulang kali, seolah memberi isyarat pada seseorang. Hal itu membuat jantung Aldan memo
Pria bersepatu dan Hendrawan sangat kesal karena tidak menemukan kalung liontin di sekolah.“Bocah ingusan itu telah menipu kita,” kata Hendrawan.“Kau tidak perlu khawatir, Hendra. Meskipun kalungnya tidak ditemukan, kasus ini akan tertutup rapi. Tidak ada saksi hidup yang tersisa, anak Chandra sekarang pasti sudah ada di perut seekor anjing ... Tugasmu hanya mengurus di kantor polisi.” sahut pria bersepatu. Mendengarnya, perlahan senyum mengambang di bibir Hendrawan, “Benar, kita gak perlu repot-repot mencarinya. Sisanya serahkan padaku. Aku seorang polisi, sangat mudah bagiku menutup kasus ini.”Sementara itu,Aldan mengusap mulutnya yang dipenuhi darah dengan tetap menatap nanar pada seekor Anjing yang berhasil dibunuhnya. Perlahan kedua tangannya bergerak di perut binatang itu.“yaakkkkkkkk ...” Aldan berperilaku seperti seekor binatang buas. Dia mencakar dan mengoyak hingga akhirnya berhasil membelah perut Anjing. Aldan mengeluarkan isi perut Anjing dan menatapnya dengan mata
Pagi hari, nampak seorang pria tampan nan gagah berjalan ke arah gedung tinggi pencakar langit. Dia Aldan Pratama Chandra Putra, tetapi di perusahaan dia mengganti namanya menjadi Putra Saputra. Ketampanannya nyaris sempurna. Dengan tinggi 175 cm dan kulit putih, siapapun yang melihatnya pasti jatuh cinta pada pandangan pertama. Hari ini adalah hari pertama kerja Aldan di perusahaan cosmo indofood. Sekarang misi balas dendamnya dimulai. Dia berhasil menjadi asisten direktur keuangan di perusahaan cosmo indofood, jabatan yang sama seperti mendiang Papanya. Tentu ini semua berkat orang dalam yang berjasa memasukkan Aldan ke perusahaan, tetapi sebenarnya dia orang yang sangat cerdas dan pantas menduduki jabatan yang dia inginkan. “Saya harap anda bekerja dengan baik. Satu lagi, anda harus cepat beradaptasi dengan lingkungan perusahaan,” kata Ridwan , direktur keuangan. “Baik, Pak. Saya sangat senang bisa menjadi bagian perusahaan terbesar yang ada di Indonesia. Saya berjanji akan beke
Jam istirahat kerja, Aldan dan Rangga pergi bersama ke restoran yang ada di belakang perusahaan. “Kamu sudah berapa tahun kerja di sini?” tanya Aldan sambil berjalan di sisi kanan Rangga. “Sudah satu tahun ... Ow ya aku yakin kamu banyak prestasinya, baru masuk kerja langsung ditempatkan di posisi asisten divisi keuangan. Satu tingkat di atasku,” jawab Rangga setengah memberikan pujian pada Aldan. “Aku hanya orang biasa. Aku hanya beruntung saja.” Di tengah perjalanan dari arah berlawanan ada seorang pria tua berkacamata berjalan sambil fokus memainkan ponselnya, sehingga tanpa sengaja menabrak Aldan yang sudah mencoba menghindar. “Ah sialan, kalau jalan lihat-lihat. Pakai matamu!” berang pria tua itu dengan nada yang begitu tinggi. “Maaf, pak. Tapi anda yang salah. Anda fokus bermain hp saat berjalan,” protes Aldan. PLAK! Aldan memegang pipinya yang mendapat tamparan dari pria tua berkacamata. “Lancang sekali! Kau tau siapa aku? Hah?!” sergah pria tua berkacamata dengan sor
Lukman mengangkat dagu dan menatap Aldan dengan tatapan menyala-nyala, “Kau melawanku? Kau tidak tau siapa aku, hah?! Jika Lukman sudah marah, orang itu tidak akan selamat dariku!” “Lepaskan tanganku, bodoh!” kelakar Lukman penuh emosi melihat Aldan masih mencengkram tangannya di udara.Sementara, Rangga dan beberapa karyawan lainnya dibuat semakin tak percaya atas sikap berani pria tampan itu.Aldan tersenyum miring sambil melepaskan tangan Lukman, dan seketika itu pula pria tua itu menarik kerah baju Aldan dengan tatapan mata berkilat iblis, “Kau bukan hanya dipecat. Bersiap-siaplah menerima kemarahan Lukman Wafa!” ancamnya, lalu mendorong kasar tubuh Aldan.Sementara Rangga hanya diam, saat ini dia tidak bisa berbuat sesuatu ketika seorang Lukman Wafa sudah marah. Siapa saja yang menghentikan kemarahan sang sekeretaris CEO, maka orang itu juga akan terkena imbasnya.Namun, Aldan terlihat santai. Tidak ada ketakutan sedikitpun, bahkan senyuman tetap mengalir berhias di wajahnya, “
Aldan tersenyum dan melepaskan jabatan tangannya, “Emm apa Bapak mau menemani saya makan?” “Tidak, terima kasih,” jawab Lukman mengulas senyum paksa, meskipun hatinya saat ini tengah panas dan tidak sabar ingin memberi pelajaran pada Aldan. “Hemm baiklah, saya rasa permasalahan sudah selesai. Saya harap di kemudian hari tidak terulang lagi,” sahut Dhea tersenyum lega. Aldan tersenyum, “Iya Bu ... Oh ya, izinkan saya pergi duluan, Bu.” “Ah, iya iya, silahkan,” jawab Dhea, lalu Aldan dan Rangga pun pergi. Berjalan bersisian dengan Aldan, terlihat jelas ada kecemasan berlebihan pada diri Rangga. “Putra, aku tau kamu tidak bersalah. Tapi kamu gak tau siapa pak Lukman. Dia gak akan tinggal diam. Dia pasti berusaha mencari cara memecatmu, begitupun denganku. Mungkin aku juga akan dipecat,” tutur Rangga menghembus napas dengan raut wajah kecewa. “sungguh aku benar-benar gak percaya dengan sikapmu barusan. Sebagai karyawan dibawahnya pak Lukman, seharusnya kamu diam.” “Hem jadi dia te
“Serius, aku benar-benar serius. Kamu wanita paling sempurna yang aku temui. Jarang sekali ada wanita cantik yang pintar, murah senyum, pokoknya kamu perfect pakek banget,” goda Aldan yang semakin membuat Verra melayang-layang. “aku penasaran tentang kehidupanmu. Kamu berasal darimana, bagaimana keseharianmu ... aku yakin orang tuamu sangat hebat, bisa mempunyai anak secantik dan sepintar kamu.”Pujian maut yang dilancarkan Aldan berhasil membuat hati Anggun meleleh. Sebenarnya sudah banyak lelaki yang memberikan kata-kata puitis padanya, tetapi entah kenapa wanita cantik itu merasa berbunga-bunga meskipun baru mengenal Aldan. Sepertinya dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.“Telingaku membesar nih,” canda Verra sambil menatap jauh ke dalam mata bermanik gelap milik Aldan yang juga tengah menatapnya tanpa kedip. Tatapan wanita cantik itu berubah dari panas ke dingin dalam hitungan detik kala mencoba melepaskan dirinya dari perangkap ketampanan yang terasa mematikan kewarasanny
Mereka menyelesaikan makan siang dan kembali ke kantor. Sebelum masuk ke ruangan divisi keuangan, Rangga menggoda teman barunya itu, “Ehemmm ada yang lagi kasmaran nih.”“Gimana menurutmu? Apa Verra wanita idaman lelaki?” tanya Aldan yang ingin mencari informasi tambahan mengenai Verra. “Wah pepet terus, bro. Dia bukan hanya cantik, tapi juga baikkkk sekali orangnya. Dia orangnya friendly, mudah bergaul dengan orang lain,” jelas Rangga sambil mengamati penampilan Aldan yang berjalan bersisian dengannya.“Kenapa? Ada yang salah dengan penampilanku?” tanya Aldan heran.“Aku rasa Bu Verra suka sama kamu deh. Pas di restoran, aku perhatiin tatapan matanya ada cinta. Jadi kamu punya modal buat ngedapetin Bu Verra.”“Tebakanmu bisa saja salah.”“Aku yakin bro, orang yang jatuh cinta itu tergambar jelas dari tatapan mata dan perilakunya. Tadi aku lihat dia curi-curi pandang melulu. Padahal banyak pria yang mengincarnya loh, tapi gak ada satu pun yang bisa meluluhkan hatinya.”“Emmm kamu se