“Lepaskan aku!” Aldan memberontak sekuat tenaga. Namun, kekuatannya tak sebanding, cengkraman pria bersepatu sangat kuat.
Pria bersepatu melemparkan Aldan ke dalam kandang, “Aku menepati janjiku padamu, nak. Bermainlah, kamu pasti menyukai permainan ini.”
“Apa yang Om mau dariku? Jangan sakiti Aldan.”
“Siapa yang mau menyakitimu,nak? Kami gak bakalan menyentuhmu,” respon Hendrawan mengulas senyuman licik.
Aldan tidak percaya, dia sangat yakin kedua orang jahat itu sudah mempersiapkan suatu yang buruk untuknya. Mungkin sebentar lagi dirinya akan menyusul Chandra dan Yuyun ke surga.
“Tolong lepaskan Aldan, Om.” Berulang kali Aldan memelas mengharap belas kasihan, tetapi itu tidak ada artinya.
“Itu tergantung dirimu, nak. Kamu sendiri yang menentukan nasibmu,” kata pria bersepatu.
“Apa maksudmu, Om? Aldan gak ngerti?” tanya Aldan yang terlihat semakin gusar.
Hendrawan menjawab dengan bertepuk tangan berulang kali, seolah memberi isyarat pada seseorang. Hal itu membuat jantung Aldan memompa lebih cepat, pandangan waspada melihat ke berbagai arah.
Guk ... Guk ... Guk ...!
Tiba-tiba ada suara anjing menggonggong datang mendekat dari dalam rumah. Ada seorang pria tambun yang menuntun binatang itu menggunakan tali. Tentu saja hal itu semakin membuat tubuh Aldan bergemetar.
“Tidak!”
Aldan melangkah mundur dengan tubuh bergetar hebat. Dia sangat yakin Anjing galak itu akan dimasukkan ke kandang untuk memangsanya.
Seorang itu berhenti bersama Anjingnya di tengah-tengah pria bersepatu dan Hendrawan. Terlihat jelas binatang itu hanya menurut pada Tuannya, dia sangat agresif dan ingin menyerang siapapun yang dia lihat, termasuk pada kedua penjahat itu.
“Inilah kejutannya, nak. Kamu akan bermain dengannya. Aku beri kesempatan padamu untuk tetap hidup,” ujar pria bersepatu tersenyum menatap Aldan yang tengah ketakutan.
“Tapi mustahil kamu selamat. Anjing ini sangat buas, dia hanya jinak pada pemiliknya saja. Aku menyewanya untuk menemanimu bermain,” sambung Hendrawan. Lalu dia tertawa renyah, wajahnya begitu semringah. “Silahkan loloskan dirimu dari maut, bocah kecil.”
Tubuh Aldan semakin bergetar hebat, bahkan dia kesulitan menggerakkan tubuhnya. Apalagi anjing itu terus menggonggong tanpa henti, “Tidak! Tidak! Jangan ... Jangan bunuh Aldan.”
Namun, Hendrawan justru memberi isyarat pada seseorang itu untuk melepaskan anjingnya, “Selamat menyusul orang tuamu, bocah.”
Sang pemilik menuntun anjingnya. Di depan pintu kandang, dia melepas tali yang mengikat pada leher binatang peliharaannya.
Guk ... Guk ... Guk!
Anjing itu seperti tidak sabar ingin segera memangsa Aldan.
“Tidak! Jangan lepaskan talinya,” pinta Aldan. Terlihat jelas rasa takut yang begitu besar menyelimuti dirinya. Detak jantungnya sangat menyiksa, seolah tidak sanggup berada di tubuh anak itu.
“Tutup pintunya!” titah Hendrawan, dan seseorang itu pun menurut setelah melepas tali anjingnya.
Saat ini di dalam kandang hanya ada Aldan dan seekor anjing yang tengah menatap buas padanya.
Guk ... Guk... Guk!
Anjing itu terus menggonggong membuat bulu kidik Aldan berdiri. Ketakutan terlihat jelas dari mata bocah itu, sementara ketiga orang penjahat tersenyum puas dari luar kandang.
Aldan berusaha mundur perlahan-lahan, tetapi seekor anjing mengikuti gerakannya dengan juga berjalan pelan ke arahnya.
“Kematian ada di tanganmu sendiri, nak,” ucap santai pria bersepatu, lalu dia pergi meninggalkan tempat bersama dua orang temannya. Terlintas terdengar, mereka ingin mencari kalung liontin ke sekolah.
Sementara seekor anjing sudah semakin dekat dengan mangsanya. Binatang itu memperlihatkan giginya yang tajam. Lalu tiba-tiba mendadak berlari dan melompat menyerang Aldan.
“Akhhhhh ...!” Aldan tentu saja kaget dan tidak siap mendapat serangan. Dia terpaksa merelakan tubuhnya dicakar anjing itu.
Aldan berusaha menghindar dan memutar badannya, tapi si Anjing tidak membiarkan mangsanya lepas.
“Akkhhhhh ...!” Aldan kembali menjerit menahan sakit di punggungnya. Anjing itu kesetanan mencakar dan meenggigit melumpuhkan mangsanya.
“Sakitttt ...!” Jeritan Aldan menyayat hati, di tubuhnya banyak bekas cakaran panjang dan gigitan Anjing.
“Papa! Mama!” Sakitnya tak tertahan. Setiap kali Aldan menghindar, si Anjing terus menerkam. Bahkan di kakinya ada luka yang dalam akibat gigitan binatang itu, cakarannnya juga tak kalah mengerikan menembus kulit lembut bocah itu.
“Papa! Mama!” Aldan terus menjerit kesakitan, tangisnya bak hujan yang tak pernah berhenti. “Sakit ...!
Aldan bermandikan darahnya sendiri, membuat si Anjing semakin bernapsu melumpuhkan mangsanya.
“Sakit ...!” Entah berapa kali Aldan menjerit, sepertinya dia sudah tidak tahan lagi menerima serangan mengerikan dari seekor Anjing.
Namun, Aldan tiba-tiba mempunyai cara untuk melawan si Anjing. Dia melihat sebatang besi tipis dengan panjang perkiraan satu meter. Dia mengambilnya di tengah gempuran serangan si Anjing di kakinya.
Bukk!
Aldan memutar badan dan memukul si Anjing hingga terpental.
“Pergi ...!” titah Aldan, tetapi tatapan si Anjing malah semakin buas dan memperlihatkan gigi tajamnya yang berlumuran darah.
Si Anjing melompat ke arahnya, Aldan pun memberikan pukulan kembali. Namun, lompatan binatang itu lebih dulu sampai sehingga berhasil melumpuhkan sang bocah.
Besi yang menjadi senjata Aldan terlempar, kini si Anjing berada di atas tubuh bocah itu yang tersungkur di bawah.
“Sakit ...!” Aldan mendapat cakaran dan gigitan bertubi-tubi.
Di titik ini, Aldan lebih berani memberikan perlawan. Tubuhnya menggeliat, mereka pun saling bergulat dan bergatian menindih untuk melumpuhkan satu sama lain.
Saat Aldan berada di atas si Anjing, dia memegang kepala lawannya. Tanpa pikir panjang bocah itu menggigit dalam leher binatang yang ingin membunuhnya.
Layaknya vampir, Aldan menggigit bahkan mengoyak-ngoyak daging leher seekor anjing. Yang tadinya Aldan hampir terbunuh, kini keadaan berubah drastis. Bahkan dia berhasil melumpuhkan dan membunuh binatang itu.
“Aku akan mencari kalian! Kalian akan kubuat menderita dari apa yang kalian lakukan pada Papa dan Mamaku!” gumam Aldan menatap nanar pada seekor Anjing, membayangkan orang-orang yang terlibat membunuh kedua orang tuanya.
Pria bersepatu dan Hendrawan sangat kesal karena tidak menemukan kalung liontin di sekolah.“Bocah ingusan itu telah menipu kita,” kata Hendrawan.“Kau tidak perlu khawatir, Hendra. Meskipun kalungnya tidak ditemukan, kasus ini akan tertutup rapi. Tidak ada saksi hidup yang tersisa, anak Chandra sekarang pasti sudah ada di perut seekor anjing ... Tugasmu hanya mengurus di kantor polisi.” sahut pria bersepatu. Mendengarnya, perlahan senyum mengambang di bibir Hendrawan, “Benar, kita gak perlu repot-repot mencarinya. Sisanya serahkan padaku. Aku seorang polisi, sangat mudah bagiku menutup kasus ini.”Sementara itu,Aldan mengusap mulutnya yang dipenuhi darah dengan tetap menatap nanar pada seekor Anjing yang berhasil dibunuhnya. Perlahan kedua tangannya bergerak di perut binatang itu.“yaakkkkkkkk ...” Aldan berperilaku seperti seekor binatang buas. Dia mencakar dan mengoyak hingga akhirnya berhasil membelah perut Anjing. Aldan mengeluarkan isi perut Anjing dan menatapnya dengan mata
Pagi hari, nampak seorang pria tampan nan gagah berjalan ke arah gedung tinggi pencakar langit. Dia Aldan Pratama Chandra Putra, tetapi di perusahaan dia mengganti namanya menjadi Putra Saputra. Ketampanannya nyaris sempurna. Dengan tinggi 175 cm dan kulit putih, siapapun yang melihatnya pasti jatuh cinta pada pandangan pertama. Hari ini adalah hari pertama kerja Aldan di perusahaan cosmo indofood. Sekarang misi balas dendamnya dimulai. Dia berhasil menjadi asisten direktur keuangan di perusahaan cosmo indofood, jabatan yang sama seperti mendiang Papanya. Tentu ini semua berkat orang dalam yang berjasa memasukkan Aldan ke perusahaan, tetapi sebenarnya dia orang yang sangat cerdas dan pantas menduduki jabatan yang dia inginkan. “Saya harap anda bekerja dengan baik. Satu lagi, anda harus cepat beradaptasi dengan lingkungan perusahaan,” kata Ridwan , direktur keuangan. “Baik, Pak. Saya sangat senang bisa menjadi bagian perusahaan terbesar yang ada di Indonesia. Saya berjanji akan beke
Jam istirahat kerja, Aldan dan Rangga pergi bersama ke restoran yang ada di belakang perusahaan. “Kamu sudah berapa tahun kerja di sini?” tanya Aldan sambil berjalan di sisi kanan Rangga. “Sudah satu tahun ... Ow ya aku yakin kamu banyak prestasinya, baru masuk kerja langsung ditempatkan di posisi asisten divisi keuangan. Satu tingkat di atasku,” jawab Rangga setengah memberikan pujian pada Aldan. “Aku hanya orang biasa. Aku hanya beruntung saja.” Di tengah perjalanan dari arah berlawanan ada seorang pria tua berkacamata berjalan sambil fokus memainkan ponselnya, sehingga tanpa sengaja menabrak Aldan yang sudah mencoba menghindar. “Ah sialan, kalau jalan lihat-lihat. Pakai matamu!” berang pria tua itu dengan nada yang begitu tinggi. “Maaf, pak. Tapi anda yang salah. Anda fokus bermain hp saat berjalan,” protes Aldan. PLAK! Aldan memegang pipinya yang mendapat tamparan dari pria tua berkacamata. “Lancang sekali! Kau tau siapa aku? Hah?!” sergah pria tua berkacamata dengan sor
Lukman mengangkat dagu dan menatap Aldan dengan tatapan menyala-nyala, “Kau melawanku? Kau tidak tau siapa aku, hah?! Jika Lukman sudah marah, orang itu tidak akan selamat dariku!” “Lepaskan tanganku, bodoh!” kelakar Lukman penuh emosi melihat Aldan masih mencengkram tangannya di udara.Sementara, Rangga dan beberapa karyawan lainnya dibuat semakin tak percaya atas sikap berani pria tampan itu.Aldan tersenyum miring sambil melepaskan tangan Lukman, dan seketika itu pula pria tua itu menarik kerah baju Aldan dengan tatapan mata berkilat iblis, “Kau bukan hanya dipecat. Bersiap-siaplah menerima kemarahan Lukman Wafa!” ancamnya, lalu mendorong kasar tubuh Aldan.Sementara Rangga hanya diam, saat ini dia tidak bisa berbuat sesuatu ketika seorang Lukman Wafa sudah marah. Siapa saja yang menghentikan kemarahan sang sekeretaris CEO, maka orang itu juga akan terkena imbasnya.Namun, Aldan terlihat santai. Tidak ada ketakutan sedikitpun, bahkan senyuman tetap mengalir berhias di wajahnya, “
Aldan tersenyum dan melepaskan jabatan tangannya, “Emm apa Bapak mau menemani saya makan?” “Tidak, terima kasih,” jawab Lukman mengulas senyum paksa, meskipun hatinya saat ini tengah panas dan tidak sabar ingin memberi pelajaran pada Aldan. “Hemm baiklah, saya rasa permasalahan sudah selesai. Saya harap di kemudian hari tidak terulang lagi,” sahut Dhea tersenyum lega. Aldan tersenyum, “Iya Bu ... Oh ya, izinkan saya pergi duluan, Bu.” “Ah, iya iya, silahkan,” jawab Dhea, lalu Aldan dan Rangga pun pergi. Berjalan bersisian dengan Aldan, terlihat jelas ada kecemasan berlebihan pada diri Rangga. “Putra, aku tau kamu tidak bersalah. Tapi kamu gak tau siapa pak Lukman. Dia gak akan tinggal diam. Dia pasti berusaha mencari cara memecatmu, begitupun denganku. Mungkin aku juga akan dipecat,” tutur Rangga menghembus napas dengan raut wajah kecewa. “sungguh aku benar-benar gak percaya dengan sikapmu barusan. Sebagai karyawan dibawahnya pak Lukman, seharusnya kamu diam.” “Hem jadi dia te
“Serius, aku benar-benar serius. Kamu wanita paling sempurna yang aku temui. Jarang sekali ada wanita cantik yang pintar, murah senyum, pokoknya kamu perfect pakek banget,” goda Aldan yang semakin membuat Verra melayang-layang. “aku penasaran tentang kehidupanmu. Kamu berasal darimana, bagaimana keseharianmu ... aku yakin orang tuamu sangat hebat, bisa mempunyai anak secantik dan sepintar kamu.”Pujian maut yang dilancarkan Aldan berhasil membuat hati Anggun meleleh. Sebenarnya sudah banyak lelaki yang memberikan kata-kata puitis padanya, tetapi entah kenapa wanita cantik itu merasa berbunga-bunga meskipun baru mengenal Aldan. Sepertinya dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.“Telingaku membesar nih,” canda Verra sambil menatap jauh ke dalam mata bermanik gelap milik Aldan yang juga tengah menatapnya tanpa kedip. Tatapan wanita cantik itu berubah dari panas ke dingin dalam hitungan detik kala mencoba melepaskan dirinya dari perangkap ketampanan yang terasa mematikan kewarasanny
Mereka menyelesaikan makan siang dan kembali ke kantor. Sebelum masuk ke ruangan divisi keuangan, Rangga menggoda teman barunya itu, “Ehemmm ada yang lagi kasmaran nih.”“Gimana menurutmu? Apa Verra wanita idaman lelaki?” tanya Aldan yang ingin mencari informasi tambahan mengenai Verra. “Wah pepet terus, bro. Dia bukan hanya cantik, tapi juga baikkkk sekali orangnya. Dia orangnya friendly, mudah bergaul dengan orang lain,” jelas Rangga sambil mengamati penampilan Aldan yang berjalan bersisian dengannya.“Kenapa? Ada yang salah dengan penampilanku?” tanya Aldan heran.“Aku rasa Bu Verra suka sama kamu deh. Pas di restoran, aku perhatiin tatapan matanya ada cinta. Jadi kamu punya modal buat ngedapetin Bu Verra.”“Tebakanmu bisa saja salah.”“Aku yakin bro, orang yang jatuh cinta itu tergambar jelas dari tatapan mata dan perilakunya. Tadi aku lihat dia curi-curi pandang melulu. Padahal banyak pria yang mengincarnya loh, tapi gak ada satu pun yang bisa meluluhkan hatinya.”“Emmm kamu se
Tatapan itu justru membuat Verra terpesona pada ketampanan Aldan yang nyaris sempurna. Bahkan sepintas dia membayangkan sedang berciuman dengan pria tampan di sampingnya itu.“Em apa kita tetap berada di mobil?” tanya Aldan bercanda, tetapi wanita cantik itu hanya bengong menatap lurus padanya sehingga dia harus mengulang pertanyaan. “Em apa kita tetap berada di mobil, Verra?”Verra terkesiap, dia baru sadar terlalu fokus menatap wajah tampan Aldan hingga seolah-olah terhipnotis.“Iya, ayo turun,” ucap Verra menoleh ke arah lain dengan wajah memerah, ketampanan Aldan sudah mematikan kewarasannya.Aldan mengikuti langkah Verra dari belakang. Pandangan matanya bergerak mengamati sekitar rumah Hendrawan. Tentu saja ini bagian rencana, mengetahui selak beluk kediaman musuhnya sangat berguna saat nanti merencanakan sesuatu untuk balas dendam.“Papa, Mama ... Verra pulang,” panggil wanita itu ketika sampai di ruang tamu yang cukup luas. Lalu dia menoleh ke belakang, “Duduk dulu, ya. Aku mau