Pagi hari, nampak seorang pria tampan nan gagah berjalan ke arah gedung tinggi pencakar langit. Dia Aldan Pratama Chandra Putra, tetapi di perusahaan dia mengganti namanya menjadi Putra Saputra.
Ketampanannya nyaris sempurna. Dengan tinggi 175 cm dan kulit putih, siapapun yang melihatnya pasti jatuh cinta pada pandangan pertama.
Hari ini adalah hari pertama kerja Aldan di perusahaan cosmo indofood. Sekarang misi balas dendamnya dimulai. Dia berhasil menjadi asisten direktur keuangan di perusahaan cosmo indofood, jabatan yang sama seperti mendiang Papanya. Tentu ini semua berkat orang dalam yang berjasa memasukkan Aldan ke perusahaan, tetapi sebenarnya dia orang yang sangat cerdas dan pantas menduduki jabatan yang dia inginkan.
“Saya harap anda bekerja dengan baik. Satu lagi, anda harus cepat beradaptasi dengan lingkungan perusahaan,” kata Ridwan , direktur keuangan.
“Baik, Pak. Saya sangat senang bisa menjadi bagian perusahaan terbesar yang ada di Indonesia. Saya berjanji akan bekerja dengan sepenuh hati,” respon Aldan dengan wajah berseri-seri.
“Bagus, sekarang mulailah bekerja,” ucap Ridwan, lalu dia pergi ke ruangannya.
Sementara Aldan memperhatikan punggung Ridwan yang semakin menjauh. Perlahan sudut bibirnya terangkat, “Apa kau orang yang kucari? Apa kau orang yang menyuruh pria bersepatu untuk membunuh Papa Mamaku 10 tahun yang lalu? Aku akan mencari tahu kebenarannya.”
“Aku datang, aku kembali untuk balas dendam. Sudah 10 tahun, kini waktunya kalian harus membayarnya ... Aku kembali!” gumam Aldan sembari mengepal tangan kuat-kuat.
Alasan Aldan mencurigai Ridwan karena didasari 10 tahun yang lalu orang itu merupakan saingan Chandra di perusahaan cosmo Indofood. Mereka adalah karyawan teladan di divisi keuangan, dan keduanya merupakan kandidat utama menggantikan direktur keuangan sebelumnya yang pensiun. Hingga akhirnya CEO perusahaan memilih Chandra sebagai direktur keuangan.
Itulah Alasan Aldan masuk ke perusahaan ini agar dia bisa leluasa menyelidiki pembunuh di balik layar, sedangkan Faizal Hamid ditugaskan menjadi kekuatan bayangannya yang mencari informasi tambahan di luar sana.
“Cepat atau lambat aku pasti menemukan kebenarannya. Jika pak Ridwan orangnya, dia harus mati di tanganku.”
Melupakan sejenak balas dendamnya, Aldan mulai bersiap bekerja. Dia masuk ke dalam ruangan kerja, berbagi dengan delapan karyawan lain yang tergabung dalam divisi keuangan.
“Selamat pagi, semuanya,” sapa Aldan bermurah senyum.
“Pagi,” jawab mereka. Ada yang memberikan senyuman ramah, ada juga mengulas senyuman kecut. Mereka cemburu pada Aldan karena baru melamar kerja langsung ditempatkan di posisi asisten direktur keuangan.
“Aku karyawan baru di sini. Perkenalkan namaku Putra Saputra. Panggil saja aku Putra.
“Yaiyalah mau dipanggil siapa lagi? Namanya saja sudah dobel Putra,” sahut seorang pria yang duduk di kursi paling tengah, membuat teman lainnya tertawa.
“Ow ya benar juga,” kata Aldan ikut tertawa. Lalu dia berinisiatif menghampiri mereka satu per satu dan berjabatan tangan agar mengenal lebih dekat.
Ada satu karyawan yang Aldan kenal, tetapi dia pura-pura tidak tahu. “Namaku Putra dari Bandung.”
“Namaku Rangga,” ucapnya dengan pandangan fokus mengamati wajah Aldan.
Namun, Aldan segera melepas jabatan tangannya agar Rangga tidak mengenalinya, “Senang bertemu denganmu. Aku harap kita menjadi rekan kerja yang saling mensuport satu sama lain.”
“Ow ya tentu saja,” kata Rangga. Hatinya merasa kalau dirinya pernah bertemu dengan Putra. Tapi dimana?
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Aku merasa gak asing lagi dengan wajahmu,” ungkap Rangga terus terang.
“Ow ya? Apa mungkin kamu pernah melihatku di jalan?” tanya Aldan tersenyum, meskipun hatinya saat ini sangat bahagia bisa bertemu dengan sahabat semasa kecilnya.
“Entah, tapi aku merasa pernah bertemu denganmu.”
“Emm diingat-ingat, nanti kita obrolkan lagi pas jam istirahat.”
Rangga mengangguk, “Baiklah, sekarang waktunya fokus bekerja.”
Aldan tersenyum, lalu dia berjalan menuju tempat duduknya yang berada di paling pojok dekat jendela. Diamembuka layar komputer, tetapi bukan melaksanakan tugasnya. Dia berselancar di dunia maya, mencari media sosial milik Verra Kristian, manajer personalia perusahaan tempatnya bekerja.
“Yes ketemu ...” pekik Aldan pelan. “Kau sangat cantik, Verra. Kau mewarisi wajah Papamu.”
Senyum miring terukir di bibir Aldan saat menyusuri beberapa foto dan video yang diposting di media sosial milik Verra, “Emm dia belum punya pacar? Kesempatan bagiku. Aku lebih mudah mendekatinya.”
Aldan membatin, “Maaf Verra, aku mau mendekatimu bukan karena aku mencintaimu. Tapi ...” Aldan menghentikan kalimatnya sekejap dengan mengulas senyuman licik. “Tapi kau adalah target balas dendamku karena kau anak dari pembunuh Papa Mamaku.”
Jauh sebelum Aldan kembali ke Indonesia, dia sudah mencari informasi mengenai satu-satunya petunjuk yakni selak beluk keluarga Hendrawan. Salah satu rencana Aldan adalah mendekati putrinya, Verra Kristian.
“Verra Kristian, Papamu harus membayar kejahatan yang pernah dia lakukan 10 tahun lalu,” batin Aldan menyeringai tajam. “Hendrawan harus menderita!”
Jam istirahat kerja, Aldan dan Rangga pergi bersama ke restoran yang ada di belakang perusahaan. “Kamu sudah berapa tahun kerja di sini?” tanya Aldan sambil berjalan di sisi kanan Rangga. “Sudah satu tahun ... Ow ya aku yakin kamu banyak prestasinya, baru masuk kerja langsung ditempatkan di posisi asisten divisi keuangan. Satu tingkat di atasku,” jawab Rangga setengah memberikan pujian pada Aldan. “Aku hanya orang biasa. Aku hanya beruntung saja.” Di tengah perjalanan dari arah berlawanan ada seorang pria tua berkacamata berjalan sambil fokus memainkan ponselnya, sehingga tanpa sengaja menabrak Aldan yang sudah mencoba menghindar. “Ah sialan, kalau jalan lihat-lihat. Pakai matamu!” berang pria tua itu dengan nada yang begitu tinggi. “Maaf, pak. Tapi anda yang salah. Anda fokus bermain hp saat berjalan,” protes Aldan. PLAK! Aldan memegang pipinya yang mendapat tamparan dari pria tua berkacamata. “Lancang sekali! Kau tau siapa aku? Hah?!” sergah pria tua berkacamata dengan sor
Lukman mengangkat dagu dan menatap Aldan dengan tatapan menyala-nyala, “Kau melawanku? Kau tidak tau siapa aku, hah?! Jika Lukman sudah marah, orang itu tidak akan selamat dariku!” “Lepaskan tanganku, bodoh!” kelakar Lukman penuh emosi melihat Aldan masih mencengkram tangannya di udara.Sementara, Rangga dan beberapa karyawan lainnya dibuat semakin tak percaya atas sikap berani pria tampan itu.Aldan tersenyum miring sambil melepaskan tangan Lukman, dan seketika itu pula pria tua itu menarik kerah baju Aldan dengan tatapan mata berkilat iblis, “Kau bukan hanya dipecat. Bersiap-siaplah menerima kemarahan Lukman Wafa!” ancamnya, lalu mendorong kasar tubuh Aldan.Sementara Rangga hanya diam, saat ini dia tidak bisa berbuat sesuatu ketika seorang Lukman Wafa sudah marah. Siapa saja yang menghentikan kemarahan sang sekeretaris CEO, maka orang itu juga akan terkena imbasnya.Namun, Aldan terlihat santai. Tidak ada ketakutan sedikitpun, bahkan senyuman tetap mengalir berhias di wajahnya, “
Aldan tersenyum dan melepaskan jabatan tangannya, “Emm apa Bapak mau menemani saya makan?” “Tidak, terima kasih,” jawab Lukman mengulas senyum paksa, meskipun hatinya saat ini tengah panas dan tidak sabar ingin memberi pelajaran pada Aldan. “Hemm baiklah, saya rasa permasalahan sudah selesai. Saya harap di kemudian hari tidak terulang lagi,” sahut Dhea tersenyum lega. Aldan tersenyum, “Iya Bu ... Oh ya, izinkan saya pergi duluan, Bu.” “Ah, iya iya, silahkan,” jawab Dhea, lalu Aldan dan Rangga pun pergi. Berjalan bersisian dengan Aldan, terlihat jelas ada kecemasan berlebihan pada diri Rangga. “Putra, aku tau kamu tidak bersalah. Tapi kamu gak tau siapa pak Lukman. Dia gak akan tinggal diam. Dia pasti berusaha mencari cara memecatmu, begitupun denganku. Mungkin aku juga akan dipecat,” tutur Rangga menghembus napas dengan raut wajah kecewa. “sungguh aku benar-benar gak percaya dengan sikapmu barusan. Sebagai karyawan dibawahnya pak Lukman, seharusnya kamu diam.” “Hem jadi dia te
“Serius, aku benar-benar serius. Kamu wanita paling sempurna yang aku temui. Jarang sekali ada wanita cantik yang pintar, murah senyum, pokoknya kamu perfect pakek banget,” goda Aldan yang semakin membuat Verra melayang-layang. “aku penasaran tentang kehidupanmu. Kamu berasal darimana, bagaimana keseharianmu ... aku yakin orang tuamu sangat hebat, bisa mempunyai anak secantik dan sepintar kamu.”Pujian maut yang dilancarkan Aldan berhasil membuat hati Anggun meleleh. Sebenarnya sudah banyak lelaki yang memberikan kata-kata puitis padanya, tetapi entah kenapa wanita cantik itu merasa berbunga-bunga meskipun baru mengenal Aldan. Sepertinya dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.“Telingaku membesar nih,” canda Verra sambil menatap jauh ke dalam mata bermanik gelap milik Aldan yang juga tengah menatapnya tanpa kedip. Tatapan wanita cantik itu berubah dari panas ke dingin dalam hitungan detik kala mencoba melepaskan dirinya dari perangkap ketampanan yang terasa mematikan kewarasanny
Mereka menyelesaikan makan siang dan kembali ke kantor. Sebelum masuk ke ruangan divisi keuangan, Rangga menggoda teman barunya itu, “Ehemmm ada yang lagi kasmaran nih.”“Gimana menurutmu? Apa Verra wanita idaman lelaki?” tanya Aldan yang ingin mencari informasi tambahan mengenai Verra. “Wah pepet terus, bro. Dia bukan hanya cantik, tapi juga baikkkk sekali orangnya. Dia orangnya friendly, mudah bergaul dengan orang lain,” jelas Rangga sambil mengamati penampilan Aldan yang berjalan bersisian dengannya.“Kenapa? Ada yang salah dengan penampilanku?” tanya Aldan heran.“Aku rasa Bu Verra suka sama kamu deh. Pas di restoran, aku perhatiin tatapan matanya ada cinta. Jadi kamu punya modal buat ngedapetin Bu Verra.”“Tebakanmu bisa saja salah.”“Aku yakin bro, orang yang jatuh cinta itu tergambar jelas dari tatapan mata dan perilakunya. Tadi aku lihat dia curi-curi pandang melulu. Padahal banyak pria yang mengincarnya loh, tapi gak ada satu pun yang bisa meluluhkan hatinya.”“Emmm kamu se
Tatapan itu justru membuat Verra terpesona pada ketampanan Aldan yang nyaris sempurna. Bahkan sepintas dia membayangkan sedang berciuman dengan pria tampan di sampingnya itu.“Em apa kita tetap berada di mobil?” tanya Aldan bercanda, tetapi wanita cantik itu hanya bengong menatap lurus padanya sehingga dia harus mengulang pertanyaan. “Em apa kita tetap berada di mobil, Verra?”Verra terkesiap, dia baru sadar terlalu fokus menatap wajah tampan Aldan hingga seolah-olah terhipnotis.“Iya, ayo turun,” ucap Verra menoleh ke arah lain dengan wajah memerah, ketampanan Aldan sudah mematikan kewarasannya.Aldan mengikuti langkah Verra dari belakang. Pandangan matanya bergerak mengamati sekitar rumah Hendrawan. Tentu saja ini bagian rencana, mengetahui selak beluk kediaman musuhnya sangat berguna saat nanti merencanakan sesuatu untuk balas dendam.“Papa, Mama ... Verra pulang,” panggil wanita itu ketika sampai di ruang tamu yang cukup luas. Lalu dia menoleh ke belakang, “Duduk dulu, ya. Aku mau
“Pasti berat hidup nak Putra tanpa kehadiran sosok orang tua ... Tapi Om yakin kedua orang tua nak Putra sekarang tersenyum di atas sana melihat kesuksesan anaknya,” hibur Hendrawan sambil sesekali mendongak ke atas.Aldan hanya merespon dengan senyuman disertai anggukan, tetapi dalam hatinya membatin, ‘Kau tidak ingin bertanya siapa nama Papa dan Mamaku? Nama Papa dan Mamaku, Chandra dan Yuyun Wahyuni. Ya, Hendrawan. Kau terlibat dalam pembunuhan Papa Mamaku. Dan kau tau siapa aku? Aku anak mereka yang juga hampir kau bunuh. Tapi Tuhan menyelamatkanku. Sekarang gantian, kau yang akan kubunuh.’“Nak Putra?” Hendrawan melambaikan tangan pada Aldan yang tengah tersenyum menatapnya begitu lama.“Maaf, Om. Aku membayangkan Om adalah Papaku.” Aldan berbohong untuk mendapatkan kasih sayang Hendrawan. Semakin dekat dengan musuh, maka balas dendamnya pasti jauh lebih mudah.“Serius? Om merasa tersanjung sekali. Kalau begitu mulai sekarang nak Putra boleh memanggil Om dengan sebutan Papa,” usu
Menggunakan mobil Mitsubishi Pajero sport miliknya, Verra mengantar Aldan pulang. “Kamu beruntung,” ucap Aldan memulai pembicaraan.“Beruntung?” tanya Verra menoleh sebentar ke arah Aldan sebelum kembali fokus menyetir.“Iya. Kamu pasti sangat bahagia memiliki orang tua seperti Papamu.”“Dan aku juga beruntung bisa bertemu dengan orang sebaik kamu.”“Kamu baru mengenalku. Mana bisa kamu menilai aku orang baik?” tanya Aldan tersenyum menatap Verra.“Ya yakin aja. Dan penilaianku gak bakalan salah.” Verra tersenyum manis menatap Aldan yang kini telah membuatnya jatuh cinta. Dia yakin pria tampan itu adalah orang baik.“Kalau penilaianmu salah, bagaimana?” canda Aldan sambil tertawa kecil. “Berarti kamu bukan orang baik. Jika kamu orang jahat, maka aku akan menghukummu.” Verra bercanda dengan memasang wajah galak yang hendak menghajar orang lain, tetapi di detik berikutnya senyuman manis terbit lagi di bibirnya.Aldan tersenyum miring pada Verra yang sedang berusaha menyalip laju truk