Jam istirahat kerja, Aldan dan Rangga pergi bersama ke restoran yang ada di belakang perusahaan.
“Kamu sudah berapa tahun kerja di sini?” tanya Aldan sambil berjalan di sisi kanan Rangga.
“Sudah satu tahun ... Ow ya aku yakin kamu banyak prestasinya, baru masuk kerja langsung ditempatkan di posisi asisten divisi keuangan. Satu tingkat di atasku,” jawab Rangga setengah memberikan pujian pada Aldan.
“Aku hanya orang biasa. Aku hanya beruntung saja.”
Di tengah perjalanan dari arah berlawanan ada seorang pria tua berkacamata berjalan sambil fokus memainkan ponselnya, sehingga tanpa sengaja menabrak Aldan yang sudah mencoba menghindar.
“Ah sialan, kalau jalan lihat-lihat. Pakai matamu!” berang pria tua itu dengan nada yang begitu tinggi.
“Maaf, pak. Tapi anda yang salah. Anda fokus bermain hp saat berjalan,” protes Aldan.
PLAK!
Aldan memegang pipinya yang mendapat tamparan dari pria tua berkacamata.
“Lancang sekali! Kau tau siapa aku? Hah?!” sergah pria tua berkacamata dengan sorot mata tajam, bahkan cipratan air liurnya mengenai wajah Aldan.
“Saya—”
Baru saja Aldan membuka suara, Rangga yang ada di sebelahnya langsung memotong dengan wajah memohon sambil kedua tangan mengatup di depan dada, “Maafkan teman saya, Pak. Dia karyawan baru di perusahaan ini. Namanya Putra, asisten Pak Ridwan.”
Di detik selanjutnya, Rangga menoleh ke arah Aldan, “Putra, beliau adalah pak Lukman Wafa. Beliau sekretaris CEO di perusahaan ini.”
“Ow jadi anak ingusan?” tanya Lukman dengan seulas senyuman sindiran.“Masih baru sudah banyak tingkah.”
Aldan terkesiap dan ingin menampar Lukman, tetapi kali ini dia tidak mau bermasalah dengan Lukman, “Iya, Pak. Saya baru bekerja di perusahaan ini.”
Rangga sedikit menyenggol lengan Aldan, memberi isyarat agar cepat meminta maaf pada Sang sekretaris CEO.
“Saya minta maaf jika saya melakukan kesalahan.” Aldan memilih mengalah dan menuruti kemauan Rangga, meskipun dia tidak melakukan kesalahan.
“Cium kakiku,” titah Irfan menatap Aldan dengan sorot mata merendahkan.
“Ya, Pak?” tanya Aldan terkejut.
“Kupingmu budeg?! Cium kakiku atau kamu mau aku pecat?” tanya Lukman dengan mata melotot.
“Lakukan saja apa yang pak Lukman mau,” saran Rangga pada Aldan. Dia tahu teman barunya itu tidak bersalah, tapi dia sangat mengenal sifat arogan sang sekretaris Ceo yang bisa melakukan apa saja pada karyawan bawah.
Namun, Aldan mendengus kesal. Kali ini dia tidak mau menuruti permintaan Lukman yang merendahkan dirinya.
“Maaf, Pak. Saya tidak bisa melakukannya. Sepengetahuan saya, anda yang salah. Saya sudah mengalah, tapi maaf bukan berarti anda bisa merendahkan saya,” tegas Aldan memberikan seulas senyuman berani menatap mata menyala milik Irfan.
“Putra?” Rangga terkejut, jawaban temannya itu mengundang masalah.
Hal itu terlihat jelas dari ekspresi yang diperlihatkan Lukman. Wajah sekretaris CEO itu memerah karena marah, tetapi Aldan hanya santai menatapnya.
“Berani-beraninya kau!” berang Irfan sambil menunjuk-nunjuk wajah Aldan dengan jari telunjuknya. “Mulai hari ini juga kau dipecat!”
“Anda tidak berhak memecat saya, apalagi saya tidak melakukan kesalahan. Seharusnya anda yang meminta maaf pada saya, anda berjalan sambil main hp,” respon santai Aldan. Dia sangat percaya diri pria arogan di hadapannya itu tidak bisa memberikan keputusan sepihak.
“Brengsek!” Tiba-tiba Lukman mencengkeram kerah kemeja yang dikenakan Aldan. Wajahnya memerah padam. “Kau hanya karyawan dibawahku di perusahaan ini. Aku sekretaris CEO bisa memecatmu kapan saja yang aku mau.”
Aldan menutup mata. Bukan karena takut, melainkan dampratan Lukman mengeluarkan air liur yang beterbangan ke wajahnya.
Sementara Rangga merasa kasian dengan Aldan. Dia sangat yakin temannya pasti dipecat, tidak ada yang bisa menolongnya.
PLAK!
Lukman melepaskan cengkeramannya, dan langsung mendaratkan sebuah tamparan keras di sebelah pipi Aldan, “Pria bodoh! Kau sudah berani menantangku. Kau tau siapa aku? Sekarang juga kau dipecat!”
Hal itu menarik perhatian beberapa karyawan yang berada di sekitar sana. Mereka yakin keberadaan Aldan di perusahaan Cosmo Indofood hanya numpang lewat. Sementara Aldan hanya diam tersenyum menatap lurus ke depan, berusaha menekan emosi yang meluap di dalam dada. Andai hanya berdua, pria tampan itu pasti sudah menghajar Lukman habis-habisan.
“Jaga matamu! Kenapa kau tersenyum, hah?! Cepat pergi dari sini!” raung Lukman dengan penuh emosi. Lalu dia menggerakkan tangannya menuju sebelah pipi Aldan.
Namun, kali ini Aldan tidak diam begitu saja. Dia menangkap tangan Lukman di udara, “Saya heran pria arogan seperti anda menjadi sekeretaris CEO di perusahaan sebesar ini. Apa anda punya orang dalam?” sindirnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, membuat Lukman naik pitam.
Lukman dan karyawan lainnya pun dibuat terkejut bukan main. Mereka benar-benar tak habis pikir dengan ucapan Aldan. Mereka yakin karir karyawan baru itu sudah tamat, bahkan masalah besar akan datang menghampirinya karena sudah berani menghina sekretaris CEO perusahaan cosmo indofood.
Lukman mengangkat dagu dan menatap Aldan dengan tatapan menyala-nyala, “Kau melawanku? Kau tidak tau siapa aku, hah?! Jika Lukman sudah marah, orang itu tidak akan selamat dariku!” “Lepaskan tanganku, bodoh!” kelakar Lukman penuh emosi melihat Aldan masih mencengkram tangannya di udara.Sementara, Rangga dan beberapa karyawan lainnya dibuat semakin tak percaya atas sikap berani pria tampan itu.Aldan tersenyum miring sambil melepaskan tangan Lukman, dan seketika itu pula pria tua itu menarik kerah baju Aldan dengan tatapan mata berkilat iblis, “Kau bukan hanya dipecat. Bersiap-siaplah menerima kemarahan Lukman Wafa!” ancamnya, lalu mendorong kasar tubuh Aldan.Sementara Rangga hanya diam, saat ini dia tidak bisa berbuat sesuatu ketika seorang Lukman Wafa sudah marah. Siapa saja yang menghentikan kemarahan sang sekeretaris CEO, maka orang itu juga akan terkena imbasnya.Namun, Aldan terlihat santai. Tidak ada ketakutan sedikitpun, bahkan senyuman tetap mengalir berhias di wajahnya, “
Aldan tersenyum dan melepaskan jabatan tangannya, “Emm apa Bapak mau menemani saya makan?” “Tidak, terima kasih,” jawab Lukman mengulas senyum paksa, meskipun hatinya saat ini tengah panas dan tidak sabar ingin memberi pelajaran pada Aldan. “Hemm baiklah, saya rasa permasalahan sudah selesai. Saya harap di kemudian hari tidak terulang lagi,” sahut Dhea tersenyum lega. Aldan tersenyum, “Iya Bu ... Oh ya, izinkan saya pergi duluan, Bu.” “Ah, iya iya, silahkan,” jawab Dhea, lalu Aldan dan Rangga pun pergi. Berjalan bersisian dengan Aldan, terlihat jelas ada kecemasan berlebihan pada diri Rangga. “Putra, aku tau kamu tidak bersalah. Tapi kamu gak tau siapa pak Lukman. Dia gak akan tinggal diam. Dia pasti berusaha mencari cara memecatmu, begitupun denganku. Mungkin aku juga akan dipecat,” tutur Rangga menghembus napas dengan raut wajah kecewa. “sungguh aku benar-benar gak percaya dengan sikapmu barusan. Sebagai karyawan dibawahnya pak Lukman, seharusnya kamu diam.” “Hem jadi dia te
“Serius, aku benar-benar serius. Kamu wanita paling sempurna yang aku temui. Jarang sekali ada wanita cantik yang pintar, murah senyum, pokoknya kamu perfect pakek banget,” goda Aldan yang semakin membuat Verra melayang-layang. “aku penasaran tentang kehidupanmu. Kamu berasal darimana, bagaimana keseharianmu ... aku yakin orang tuamu sangat hebat, bisa mempunyai anak secantik dan sepintar kamu.”Pujian maut yang dilancarkan Aldan berhasil membuat hati Anggun meleleh. Sebenarnya sudah banyak lelaki yang memberikan kata-kata puitis padanya, tetapi entah kenapa wanita cantik itu merasa berbunga-bunga meskipun baru mengenal Aldan. Sepertinya dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.“Telingaku membesar nih,” canda Verra sambil menatap jauh ke dalam mata bermanik gelap milik Aldan yang juga tengah menatapnya tanpa kedip. Tatapan wanita cantik itu berubah dari panas ke dingin dalam hitungan detik kala mencoba melepaskan dirinya dari perangkap ketampanan yang terasa mematikan kewarasanny
Mereka menyelesaikan makan siang dan kembali ke kantor. Sebelum masuk ke ruangan divisi keuangan, Rangga menggoda teman barunya itu, “Ehemmm ada yang lagi kasmaran nih.”“Gimana menurutmu? Apa Verra wanita idaman lelaki?” tanya Aldan yang ingin mencari informasi tambahan mengenai Verra. “Wah pepet terus, bro. Dia bukan hanya cantik, tapi juga baikkkk sekali orangnya. Dia orangnya friendly, mudah bergaul dengan orang lain,” jelas Rangga sambil mengamati penampilan Aldan yang berjalan bersisian dengannya.“Kenapa? Ada yang salah dengan penampilanku?” tanya Aldan heran.“Aku rasa Bu Verra suka sama kamu deh. Pas di restoran, aku perhatiin tatapan matanya ada cinta. Jadi kamu punya modal buat ngedapetin Bu Verra.”“Tebakanmu bisa saja salah.”“Aku yakin bro, orang yang jatuh cinta itu tergambar jelas dari tatapan mata dan perilakunya. Tadi aku lihat dia curi-curi pandang melulu. Padahal banyak pria yang mengincarnya loh, tapi gak ada satu pun yang bisa meluluhkan hatinya.”“Emmm kamu se
Tatapan itu justru membuat Verra terpesona pada ketampanan Aldan yang nyaris sempurna. Bahkan sepintas dia membayangkan sedang berciuman dengan pria tampan di sampingnya itu.“Em apa kita tetap berada di mobil?” tanya Aldan bercanda, tetapi wanita cantik itu hanya bengong menatap lurus padanya sehingga dia harus mengulang pertanyaan. “Em apa kita tetap berada di mobil, Verra?”Verra terkesiap, dia baru sadar terlalu fokus menatap wajah tampan Aldan hingga seolah-olah terhipnotis.“Iya, ayo turun,” ucap Verra menoleh ke arah lain dengan wajah memerah, ketampanan Aldan sudah mematikan kewarasannya.Aldan mengikuti langkah Verra dari belakang. Pandangan matanya bergerak mengamati sekitar rumah Hendrawan. Tentu saja ini bagian rencana, mengetahui selak beluk kediaman musuhnya sangat berguna saat nanti merencanakan sesuatu untuk balas dendam.“Papa, Mama ... Verra pulang,” panggil wanita itu ketika sampai di ruang tamu yang cukup luas. Lalu dia menoleh ke belakang, “Duduk dulu, ya. Aku mau
“Pasti berat hidup nak Putra tanpa kehadiran sosok orang tua ... Tapi Om yakin kedua orang tua nak Putra sekarang tersenyum di atas sana melihat kesuksesan anaknya,” hibur Hendrawan sambil sesekali mendongak ke atas.Aldan hanya merespon dengan senyuman disertai anggukan, tetapi dalam hatinya membatin, ‘Kau tidak ingin bertanya siapa nama Papa dan Mamaku? Nama Papa dan Mamaku, Chandra dan Yuyun Wahyuni. Ya, Hendrawan. Kau terlibat dalam pembunuhan Papa Mamaku. Dan kau tau siapa aku? Aku anak mereka yang juga hampir kau bunuh. Tapi Tuhan menyelamatkanku. Sekarang gantian, kau yang akan kubunuh.’“Nak Putra?” Hendrawan melambaikan tangan pada Aldan yang tengah tersenyum menatapnya begitu lama.“Maaf, Om. Aku membayangkan Om adalah Papaku.” Aldan berbohong untuk mendapatkan kasih sayang Hendrawan. Semakin dekat dengan musuh, maka balas dendamnya pasti jauh lebih mudah.“Serius? Om merasa tersanjung sekali. Kalau begitu mulai sekarang nak Putra boleh memanggil Om dengan sebutan Papa,” usu
Menggunakan mobil Mitsubishi Pajero sport miliknya, Verra mengantar Aldan pulang. “Kamu beruntung,” ucap Aldan memulai pembicaraan.“Beruntung?” tanya Verra menoleh sebentar ke arah Aldan sebelum kembali fokus menyetir.“Iya. Kamu pasti sangat bahagia memiliki orang tua seperti Papamu.”“Dan aku juga beruntung bisa bertemu dengan orang sebaik kamu.”“Kamu baru mengenalku. Mana bisa kamu menilai aku orang baik?” tanya Aldan tersenyum menatap Verra.“Ya yakin aja. Dan penilaianku gak bakalan salah.” Verra tersenyum manis menatap Aldan yang kini telah membuatnya jatuh cinta. Dia yakin pria tampan itu adalah orang baik.“Kalau penilaianmu salah, bagaimana?” canda Aldan sambil tertawa kecil. “Berarti kamu bukan orang baik. Jika kamu orang jahat, maka aku akan menghukummu.” Verra bercanda dengan memasang wajah galak yang hendak menghajar orang lain, tetapi di detik berikutnya senyuman manis terbit lagi di bibirnya.Aldan tersenyum miring pada Verra yang sedang berusaha menyalip laju truk
Aldan terkejut dan spontan menoleh ke belakang. Dia melihat kedua orang itu tengah menyeringai tajam padanya.“Siapa kalian?” tanya Aldan sambil berdiri dengan sikap tegas, tidak ada rasa takut sedikit pun di wajahnya meskipun Dani tengah menutup pintu rumah rapat-rapat.“Siapa kami? Kami preman yang sedang menyamar,” jawab Dani sambil menyingsingkan lengan baju, memperlihatkan tato miliknya.“Apa lo takut?” sambung Bahri sambil bergerak maju satu langkah dengan menyunggingkan senyum meremehkan.Bukan takut, Aldan malah tertawa geli menatap mereka.“Dih ... Lihat wajahku,” kekeh Aldan sambil menunjuk wajahnya sendiri. “Apa aku terlihat takut? Mendingan kalian pergi deh, serius.”Bahri dan Dani mendekat dengan tatapan geram. Mereka berdiri tepat di hadapan Aldan sembari membunyikan buku-buku jemarinya untuk menakut-nakuti. Namun, mereka salah besar. Andai mereka tahu Aldan adalah pimpinan pasukan rahasia white master, mereka pasti berpikir berkali-kali lipat untuk menyerang Aldan.“Lo