Lukman mengangkat dagu dan menatap Aldan dengan tatapan menyala-nyala, “Kau melawanku? Kau tidak tau siapa aku, hah?! Jika Lukman sudah marah, orang itu tidak akan selamat dariku!”
“Lepaskan tanganku, bodoh!” kelakar Lukman penuh emosi melihat Aldan masih mencengkram tangannya di udara.
Sementara, Rangga dan beberapa karyawan lainnya dibuat semakin tak percaya atas sikap berani pria tampan itu.
Aldan tersenyum miring sambil melepaskan tangan Lukman, dan seketika itu pula pria tua itu menarik kerah baju Aldan dengan tatapan mata berkilat iblis, “Kau bukan hanya dipecat. Bersiap-siaplah menerima kemarahan Lukman Wafa!” ancamnya, lalu mendorong kasar tubuh Aldan.
Sementara Rangga hanya diam, saat ini dia tidak bisa berbuat sesuatu ketika seorang Lukman Wafa sudah marah. Siapa saja yang menghentikan kemarahan sang sekeretaris CEO, maka orang itu juga akan terkena imbasnya.
Namun, Aldan terlihat santai. Tidak ada ketakutan sedikitpun, bahkan senyuman tetap mengalir berhias di wajahnya, “Kenapa Bapak mudah marah sekali? Bapak sudah tua loh, nanti malah terlihat berumur ratusan tahun.”
Ucapan Aldan tentu membuat wajah Lukman seperti menyerupai seekor banteng yang ingin menyeruduk lawannya, “Kau—”
“Pak Lukman, ada apa ini?” Tiba-tiba ada suara wanita yang menyahut dari arah lain. Dia berjalan mendekat dengan wajah keheranan.
Lukman sejenak melupakan amarahnya, seketika itu pula dia menoleh dan memberikan senyuman hormat pada CEO perusahaan, “Maaf Bu Dhea, pegawai baru ini sudah kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi bagian dari Cosmo Indofood. Etikanya nol besar.”
Dhea Diantama melirik ke arah Aldan, “Memang apa yang dia lakukan?”
“Dia sangat kurang ajar. Dia tidak tau sopan santun. Barusan dia menabrak saya, tapi dia tidak mau minta maaf. Malahan dia melawan saya,” terang Lukman memutarbalikkan fakta.
Dhea Diantama menoleh ke arah Aldan, “Apakah benar demikian Putra?” tanya Dhea ramah.
“Sama sekali tidak benar, Bu. Barusan Pak Lukman berjalan sambil menunduk main hp. Beliau yang menabrak saya. Saya sudah mengalah, juga meminta maaf, tapi Pak Lukman menyuruh saya mencium kakinya. Jelas saya tidak mau, saya masih punya harga diri,” pungkas Aldan menyanggah perkataan Lukman.
Wajah Lukman memerah padam. Dia mengepalkan tangan sambil menatap tajam ke arah Aldan, “Diam! Mulutmu –”
“Apa benar, Pak Lukman?” tanya Devi memotong ucapan Lukman. Seketika pria tua itu menoleh ke arah sang CEO.
“Bohong, Bu Lukman. Semua yang dikatakan Putra—”
“Ibu bisa tanyakan pada Rangga dan karyawan yang kebetulan ada di sini,” timpal Aldan, membuat Irfan semakin emosi.
Sementara Rangga gelagapan, wajahnya berkeringat dingin. Apalagi Dhea Diantama langsung menoleh ke arahnya untuk meminta penjelasan.
“I-ya betul, Bu Dhea. Pak Lukman yang menabrak Putra,” ungkap Rangga terbata-bata dengan wajah menunduk. Dia tidak berani melihat rekasi Lukman. Dalam hatinya, dia mempunyai firasat bahwa dirinya juga akan mendapat masalah di kemudian hari.
Mendengar penjelasan Rangga, Dhea Diantama menghembus napas kecewa, “Pak Lukman?”
“Ya, Bu Dhea?” Lukman menoleh dengan senyuman hangat.
“Saya kecewa sekali dengan anda. Seharusnya anda memberikan contoh pada bawahan anda. Tapi anda malah bersikap semena-mena dan memberikan contoh buruk pada karyawan lainnya. Saya harap anda tidak mengulanginya lagi. Buang sikap arogan anda ... Sekarang minta maaf pada Putra.”
“Tapi Bu Dhea–”
“Cepat minta maaf, Pak. Akui kesalahan anda. Hari ini saya benar-benar kecewa. Anda tidak mencerminkan seorang sekretaris CEO,” potong Bu Devi dengan penuh penekanan.
“Baik, Bu Dhea,” ucap Lukman, lalu dia menoleh dan menghadap ke arah Aldan. Pria tua itu terpaksa menuruti perintah sang CEO untuk menyelamatkan karirnya.
“Saya minta maaf. Saya yang salah,” kata Lukman mengulas senyum paksa sambil mengulurkan tangan. Baginya itu sebuah penghinaan, tetapi tidak ada pilihan lain. Yang jelas dia pasti akan memberi pelajaran pada Aldan di kemudian hari.
“Lupakan saja. Saya juga minta maaf, Pak. ” respon Aldan sambil menerima uluran tangan Lukman.
Namun, ketika mereka berjabatan, Lukman sedikit memeras kuat tangan Aldan sembari tetap menerbitkan senyuman paksa, “Terima kasih.”
“Sama-sama,” ujar Aldan menerbitkan senyuman penuh arti. Di luar dugaan dia juga membalas remasan tangan Lukman, memberitahu bahwa dirinya tidak takut sedikitpun pada pria tua itu.
Lukman membuka mata lebar-lebar dan alisnya terangkat, “Kau akan celaka,” ucapnya tanpa suara, hanya dengan gerakan bibir.
'Aku tidak takut!'
Aldan tersenyum dan melepaskan jabatan tangannya, “Emm apa Bapak mau menemani saya makan?” “Tidak, terima kasih,” jawab Lukman mengulas senyum paksa, meskipun hatinya saat ini tengah panas dan tidak sabar ingin memberi pelajaran pada Aldan. “Hemm baiklah, saya rasa permasalahan sudah selesai. Saya harap di kemudian hari tidak terulang lagi,” sahut Dhea tersenyum lega. Aldan tersenyum, “Iya Bu ... Oh ya, izinkan saya pergi duluan, Bu.” “Ah, iya iya, silahkan,” jawab Dhea, lalu Aldan dan Rangga pun pergi. Berjalan bersisian dengan Aldan, terlihat jelas ada kecemasan berlebihan pada diri Rangga. “Putra, aku tau kamu tidak bersalah. Tapi kamu gak tau siapa pak Lukman. Dia gak akan tinggal diam. Dia pasti berusaha mencari cara memecatmu, begitupun denganku. Mungkin aku juga akan dipecat,” tutur Rangga menghembus napas dengan raut wajah kecewa. “sungguh aku benar-benar gak percaya dengan sikapmu barusan. Sebagai karyawan dibawahnya pak Lukman, seharusnya kamu diam.” “Hem jadi dia te
“Serius, aku benar-benar serius. Kamu wanita paling sempurna yang aku temui. Jarang sekali ada wanita cantik yang pintar, murah senyum, pokoknya kamu perfect pakek banget,” goda Aldan yang semakin membuat Verra melayang-layang. “aku penasaran tentang kehidupanmu. Kamu berasal darimana, bagaimana keseharianmu ... aku yakin orang tuamu sangat hebat, bisa mempunyai anak secantik dan sepintar kamu.”Pujian maut yang dilancarkan Aldan berhasil membuat hati Anggun meleleh. Sebenarnya sudah banyak lelaki yang memberikan kata-kata puitis padanya, tetapi entah kenapa wanita cantik itu merasa berbunga-bunga meskipun baru mengenal Aldan. Sepertinya dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.“Telingaku membesar nih,” canda Verra sambil menatap jauh ke dalam mata bermanik gelap milik Aldan yang juga tengah menatapnya tanpa kedip. Tatapan wanita cantik itu berubah dari panas ke dingin dalam hitungan detik kala mencoba melepaskan dirinya dari perangkap ketampanan yang terasa mematikan kewarasanny
Mereka menyelesaikan makan siang dan kembali ke kantor. Sebelum masuk ke ruangan divisi keuangan, Rangga menggoda teman barunya itu, “Ehemmm ada yang lagi kasmaran nih.”“Gimana menurutmu? Apa Verra wanita idaman lelaki?” tanya Aldan yang ingin mencari informasi tambahan mengenai Verra. “Wah pepet terus, bro. Dia bukan hanya cantik, tapi juga baikkkk sekali orangnya. Dia orangnya friendly, mudah bergaul dengan orang lain,” jelas Rangga sambil mengamati penampilan Aldan yang berjalan bersisian dengannya.“Kenapa? Ada yang salah dengan penampilanku?” tanya Aldan heran.“Aku rasa Bu Verra suka sama kamu deh. Pas di restoran, aku perhatiin tatapan matanya ada cinta. Jadi kamu punya modal buat ngedapetin Bu Verra.”“Tebakanmu bisa saja salah.”“Aku yakin bro, orang yang jatuh cinta itu tergambar jelas dari tatapan mata dan perilakunya. Tadi aku lihat dia curi-curi pandang melulu. Padahal banyak pria yang mengincarnya loh, tapi gak ada satu pun yang bisa meluluhkan hatinya.”“Emmm kamu se
Tatapan itu justru membuat Verra terpesona pada ketampanan Aldan yang nyaris sempurna. Bahkan sepintas dia membayangkan sedang berciuman dengan pria tampan di sampingnya itu.“Em apa kita tetap berada di mobil?” tanya Aldan bercanda, tetapi wanita cantik itu hanya bengong menatap lurus padanya sehingga dia harus mengulang pertanyaan. “Em apa kita tetap berada di mobil, Verra?”Verra terkesiap, dia baru sadar terlalu fokus menatap wajah tampan Aldan hingga seolah-olah terhipnotis.“Iya, ayo turun,” ucap Verra menoleh ke arah lain dengan wajah memerah, ketampanan Aldan sudah mematikan kewarasannya.Aldan mengikuti langkah Verra dari belakang. Pandangan matanya bergerak mengamati sekitar rumah Hendrawan. Tentu saja ini bagian rencana, mengetahui selak beluk kediaman musuhnya sangat berguna saat nanti merencanakan sesuatu untuk balas dendam.“Papa, Mama ... Verra pulang,” panggil wanita itu ketika sampai di ruang tamu yang cukup luas. Lalu dia menoleh ke belakang, “Duduk dulu, ya. Aku mau
“Pasti berat hidup nak Putra tanpa kehadiran sosok orang tua ... Tapi Om yakin kedua orang tua nak Putra sekarang tersenyum di atas sana melihat kesuksesan anaknya,” hibur Hendrawan sambil sesekali mendongak ke atas.Aldan hanya merespon dengan senyuman disertai anggukan, tetapi dalam hatinya membatin, ‘Kau tidak ingin bertanya siapa nama Papa dan Mamaku? Nama Papa dan Mamaku, Chandra dan Yuyun Wahyuni. Ya, Hendrawan. Kau terlibat dalam pembunuhan Papa Mamaku. Dan kau tau siapa aku? Aku anak mereka yang juga hampir kau bunuh. Tapi Tuhan menyelamatkanku. Sekarang gantian, kau yang akan kubunuh.’“Nak Putra?” Hendrawan melambaikan tangan pada Aldan yang tengah tersenyum menatapnya begitu lama.“Maaf, Om. Aku membayangkan Om adalah Papaku.” Aldan berbohong untuk mendapatkan kasih sayang Hendrawan. Semakin dekat dengan musuh, maka balas dendamnya pasti jauh lebih mudah.“Serius? Om merasa tersanjung sekali. Kalau begitu mulai sekarang nak Putra boleh memanggil Om dengan sebutan Papa,” usu
Menggunakan mobil Mitsubishi Pajero sport miliknya, Verra mengantar Aldan pulang. “Kamu beruntung,” ucap Aldan memulai pembicaraan.“Beruntung?” tanya Verra menoleh sebentar ke arah Aldan sebelum kembali fokus menyetir.“Iya. Kamu pasti sangat bahagia memiliki orang tua seperti Papamu.”“Dan aku juga beruntung bisa bertemu dengan orang sebaik kamu.”“Kamu baru mengenalku. Mana bisa kamu menilai aku orang baik?” tanya Aldan tersenyum menatap Verra.“Ya yakin aja. Dan penilaianku gak bakalan salah.” Verra tersenyum manis menatap Aldan yang kini telah membuatnya jatuh cinta. Dia yakin pria tampan itu adalah orang baik.“Kalau penilaianmu salah, bagaimana?” canda Aldan sambil tertawa kecil. “Berarti kamu bukan orang baik. Jika kamu orang jahat, maka aku akan menghukummu.” Verra bercanda dengan memasang wajah galak yang hendak menghajar orang lain, tetapi di detik berikutnya senyuman manis terbit lagi di bibirnya.Aldan tersenyum miring pada Verra yang sedang berusaha menyalip laju truk
Aldan terkejut dan spontan menoleh ke belakang. Dia melihat kedua orang itu tengah menyeringai tajam padanya.“Siapa kalian?” tanya Aldan sambil berdiri dengan sikap tegas, tidak ada rasa takut sedikit pun di wajahnya meskipun Dani tengah menutup pintu rumah rapat-rapat.“Siapa kami? Kami preman yang sedang menyamar,” jawab Dani sambil menyingsingkan lengan baju, memperlihatkan tato miliknya.“Apa lo takut?” sambung Bahri sambil bergerak maju satu langkah dengan menyunggingkan senyum meremehkan.Bukan takut, Aldan malah tertawa geli menatap mereka.“Dih ... Lihat wajahku,” kekeh Aldan sambil menunjuk wajahnya sendiri. “Apa aku terlihat takut? Mendingan kalian pergi deh, serius.”Bahri dan Dani mendekat dengan tatapan geram. Mereka berdiri tepat di hadapan Aldan sembari membunyikan buku-buku jemarinya untuk menakut-nakuti. Namun, mereka salah besar. Andai mereka tahu Aldan adalah pimpinan pasukan rahasia white master, mereka pasti berpikir berkali-kali lipat untuk menyerang Aldan.“Lo
“Berapa yang kalian terima dari Lukman?” tanya Aldan pada Bahri. “Tiga juta, tapi kami masih menerima seperuhnya. Pak Lukman mau membayar separuhnya lagi jika kami sudah menghajarmu,” jawab Bahri sambil memegangi mulutnya. “Ya udah ambil separuhnya lagi. Bilang saja kalau kalian berhasil menjalani tugas dengan baik,” ucap Aldan tersenyum penuh arti, membuat Dani dan Bahri terkejut. “Maksudnya?” tanya Bahri bingung. “Ya aku mau membantu kalian buat mendapatkan uang dari tua bangka itu. Katakan saja kalau kalian sudah menghajarku,” jawab Aldan menyunggingkan senyuman sambil mengulurkan tangan. “Maaf barusan aku memukul kalian. Sekarang kita adalah teman, pergilah buat menagih janji tua bangka itu.” Bahri seketika senang, dia menerima uluran tangan Aldan, “Gue gak percaya setelah apa yang gue dan Dani lakukan padamu.” “Hem santai saja.” Aldan tersenyum, lalu dia berjalan menghampiri Dani yang masih tersungkur dibawah. Dani menyambut uluran tangan Aldan yang membantunya untuk berd