Aldan terkejut dan spontan menoleh ke belakang. Dia melihat kedua orang itu tengah menyeringai tajam padanya.“Siapa kalian?” tanya Aldan sambil berdiri dengan sikap tegas, tidak ada rasa takut sedikit pun di wajahnya meskipun Dani tengah menutup pintu rumah rapat-rapat.“Siapa kami? Kami preman yang sedang menyamar,” jawab Dani sambil menyingsingkan lengan baju, memperlihatkan tato miliknya.“Apa lo takut?” sambung Bahri sambil bergerak maju satu langkah dengan menyunggingkan senyum meremehkan.Bukan takut, Aldan malah tertawa geli menatap mereka.“Dih ... Lihat wajahku,” kekeh Aldan sambil menunjuk wajahnya sendiri. “Apa aku terlihat takut? Mendingan kalian pergi deh, serius.”Bahri dan Dani mendekat dengan tatapan geram. Mereka berdiri tepat di hadapan Aldan sembari membunyikan buku-buku jemarinya untuk menakut-nakuti. Namun, mereka salah besar. Andai mereka tahu Aldan adalah pimpinan pasukan rahasia white master, mereka pasti berpikir berkali-kali lipat untuk menyerang Aldan.“Lo
“Berapa yang kalian terima dari Lukman?” tanya Aldan pada Bahri. “Tiga juta, tapi kami masih menerima seperuhnya. Pak Lukman mau membayar separuhnya lagi jika kami sudah menghajarmu,” jawab Bahri sambil memegangi mulutnya. “Ya udah ambil separuhnya lagi. Bilang saja kalau kalian berhasil menjalani tugas dengan baik,” ucap Aldan tersenyum penuh arti, membuat Dani dan Bahri terkejut. “Maksudnya?” tanya Bahri bingung. “Ya aku mau membantu kalian buat mendapatkan uang dari tua bangka itu. Katakan saja kalau kalian sudah menghajarku,” jawab Aldan menyunggingkan senyuman sambil mengulurkan tangan. “Maaf barusan aku memukul kalian. Sekarang kita adalah teman, pergilah buat menagih janji tua bangka itu.” Bahri seketika senang, dia menerima uluran tangan Aldan, “Gue gak percaya setelah apa yang gue dan Dani lakukan padamu.” “Hem santai saja.” Aldan tersenyum, lalu dia berjalan menghampiri Dani yang masih tersungkur dibawah. Dani menyambut uluran tangan Aldan yang membantunya untuk berd
“Gak mungkin sih menurutku. Meskipun aku baru mengenalnya, aku rasa pak Hendrawan adalah polisi yang amanah dan bertanggung jawab. Bahkan aku dengar pak Hendrawan sangat dekat dengan masyarakat.” Aldan pura-pura tidak mempercayai ucapan gadis itu. Gadis itu menyandarkan punggungnya dengan napas kesal, “ Wajar kamu gak percaya. Kamu belum mengenal dalamnya Hendrawan. Dia bermuka dua. Dekat dengan masyarakat, tapi juga dekat dengan penjahat. Dia mengerjakan sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri.” “Mungkin kamu salah paham.” Aldan menatap lekat pada gadis itu. “Emang kasus apa yang barusan kamu katakan? Gadis itu terdiam, ekor matanya bergerak seirama dengan otaknya yang berputar cepat mencari sebuah jawaban yang pas. Tiba-tiba dia memajukan tubuh dengan tatapan serius pada Aldan, “Seminggu yang lalu siswi SMA, namanya Clara, diperkosa anak pejabat. Clara melapor ke kantor polisi, tapi di sana dia gak digubris. Hingga akhirnya Clara meminta bantuanku. Aku membantu Clara dan berhas
Hari yang indah di tempat wisata, liburan bersama keluarga.“Pemandangannya bagus nih. Foto yuk,” ajak Yuyun sambil menggandeng tangan Aldan.“Iya nih, Ma. Gak kalah bagus dengan menara eifel,” imbuh Aldan takjub.“Yaudah sini Papa yang fotoin,” kata Chandra mengarahkan kamera pada Aldan dan Yuyun. “Aldan, Mama, mana senyumnya?” Chandra memotret keduanya yang sedang berpose narsis.“Ayo foto bareng, Pa,” pinta Yuyun.“Iya Pa ayo biar lengkap,” imbuh Aldan.“Oke-oke bentar.” Chandra mendekati seseorang yang lewat di sampingnya. “Mas boleh minta tolong fotoin kami?”“Boleh.”Aldan dan kedua orang tuanya berfoto bersama dengan berbagai macam pose. Mereka tampak bahagia sekali. Namun, disaat bersamaan ada seorang pria bersepatu datang mendekat. Tanpa basa-basi orang itu menebaskan pedang pada tubuh Chandra dan Yuyun.“Lari, Aldan.”“Lari, nak. Selamatkan dirimu.”Chandra dan Yuyun membiarkan tubuhnya menjadi makanan senjata pria bersepatu demi melindungi sang buah hati. Sementara Aldan h
Aldan mematikan laptop miliknya. Dia berbaring di tempat tidur. Dia memejamkan mata, tetapi dia sulit tidur kembali. Pikirannya masih melayang-layang.Banyak yang Aldan pikirkan. Salah satunya bagaimana caranya dia membuat perhitungan pada pembunuh kedua orang tuanya. Dia juga berpikir keras untuk menemukan seseorang yang menyuruh mereka. Dia harus balas dendam serapi mungkin agar identitasnya tak terendus.“Aku harus bergerak cepat buat menghukum mereka. Sudah terlalu lama mereka menikmati hidup. Saat ini Hendrawan adalah kunci keberadaan pelaku lainnya,” ucap Aldan menatap langit kamar dengan tatapan menerawang jauh.Tiga puluh menit berlalu, Aldan masih belum terlelap tidur. Dia mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang, lalu bangkit ke luar kamar.Aldan mendaratkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Sebelah tangannya meraih remot di sofa untuk menyalakan tv.Awalnya Aldan merasa jenuh, mengganti beberapa chanel tv. Namun, matanya membelalak sempurna saat melihat wajah seseorang di salah satu
Aldan melangkah dengan penuh keyakinan tanpa rasa gelisah sedikit pun. Dia mendekat ke jendela samping pintu utama rumah yang lumayan besar.Aldan mengeluarkan alat potong kaca di kantong kiri celananya. Perlahan tapi pasti, dia mulai memotong kaca dengan perhitungan yang matang agar kaca itu tidak terjatuh.CRASH! TEEK!“Yes,” pekik Aldan pelan saat berhasil memotong kaca tanpa membuat kegaduhan. Lalu dia memindahkan kaca itu ke sisi tembok dan memasukkan kembali alat potong kaca ke kantong celana.Tangan kanan Aldan bergerak ke atas melewati jendela yang sudah tak berkaca, badannya setengah membungkuk sembari di dorong ke depan untuk masuk ke dalam. Kemudian kaki kirinya bergantian bergerak melewati jendela.“Huh.” Aldan menghembus napas panjang saat dirinya berhasil masuk ke dalam. Lalu dia berjalan menyusuri setiap ruangan yang ada di rumah itu. “Dimana kamarnya?”Aldan berhenti di sebuah kamar yang tidak terkunci, sepertinya di dalam ada orang. Tanpa menimbulkan suara, dia mendek
Wahyu terkejut bukan main, pukulan orang bertopeng itu sangat keras. Bahkan mulutnya berdarah.“Hei apa yang kamu lakukan? Candaanmu di luar batas.” Wahyu masih kekeh bahwa orang bertopeng itu utusan salah satu stasiun televisi. “aku bisa menuntut kalian.”“Kalian? Aku cuma datang sendiri. Aku datang untuk membunuhmu, Wahyu Kosim,” sungut Aldan diiringi dengan senyuman seringai di bibir.Mendengar itu, Tatang tersulut emosi. Namun, dia masih belum percaya bahwa orang di hadapannya itu benar-benar ingin membunuhnya.“Cukup! Hentikan omong kosong ini. Prank boleh saja asal jangan berlebihan.” Wahyu mengangkat tangan sambil menatap tubuh Aldan dari atas ke bawah. Wahyu yakin ada kamera kecil di sana, tetapi dia sama sekali tak menemukannya.“Apa yang kamu cari, Wahyu?” ejek Aldan.“Sudah cukup sandiwaranya. Acara ini berlebihan, aku akan menuntut kalian,” ucap Wahyu serius.Aldan tersenyum miring, lalu dia melangkah ke depan dengan tatapan membunuh yang membuat Wahyu mundur ketakutan.BU
Wahyu berpikir keras, dia tidak ingin mati konyol.“Uang 1 miliar,” ucap Wahyu.Aldan mendengus, “1 miliar? Jangan bermain-main, Wahyu.”“Sebutkan saja apa yang kamu mau. Aku tambahin, sumpah. Bahkan jika kamu minta selain uang, aku berikan. Mobil, rumah, perhiasan, apapun itu pasti aku turuti.” Tanpa pikir panjang, Wahyu bisa menyanggupi segalanya. Yang terpenting saat ini dia bisa selamat. Masalah harta, dia pasti bisa merebutnya kembali dari pria pembunuh bayaran itu melalui bantuan Hendrawan.Namun, Wahyu tidak sadar bahwa Aldan tidak sebodoh yang dia kira. Andai Wahyu tahu orang di hadapannya adalah seorang anak yang dia hampir bunuh 10 tahun silam, mungkin saat ini dia tidak akan menawarkan sebuah harta, melainkan memberi tahu keberadaan orang-orang yang telah membunuh orang tua Aldan.“Hemm aku sangat tertarik dengan penawaranmu. Bagus, bagus. Tapi tunggu dulu, ada hadiah menarik dari orang yang menyuruhku. Berdirilah dan duduk di sana.” Aldan menunjuk kursi yang berada di sisi