Aldan dan Faizal sudah memakai topeng dan aksesoris penyamaran lainnya. Mereka berjalan ke arah jendela dan mendapati para penjahat yang bergerak menuju belakang rumah. Hanya menyisakan dua orang yang berjaga di depan. Aldan tersenyum miring, “Sip, kita gak perlu memancing mereka ke belakang.” Aldan memutar badannya dan berjalan ke ruangan belakang dengan wajah dinginnya, sedangkan Faizal setia mengikuti dari belakang. Dan benar saja, mereka melihat gagang pintu rumah yang bergerak-gerak. Aldan dan Faizal bergerak hati-hati ke arah pintu. Mereka mendapati sebuah pergerakan kawat yang memutar-mutar di lubang gagang pintu. Terdengar juga bisikan-bisikan dari arah luar, membuat Aldan dan Faizal menerbitkan senyuman miring di bibir. CEKLEK! Salah satu penjahat berhasil membobol pintu hanya dengan sebuah kawat. Satu orang mulai membuka pintu perlahan-lahan, sedangkan teman lainnya telah siaga dengan memegang sebuah pistol di tangan. Kepala satu orang menyembul, mengintip situasi. Sek
Adelia mondar-mandir di dalam kamar. Dia sangat gelisah, dia mengkhatirkan keselamatan Aldan. Tiga puluh menit lamanya dia menunggu, tetapi masih belum ada kabar dari kekasihnya.“Putra, kenapa kamu belum ke atas sih.” Adelia semakin gelisah, berulang kali dia mengusap keringat yang mengkilap di wajah cantiknya.Adelia berjalan ke arah pintu. Dilema melanda pikirannya, ragu-ragu antara ingin membuka atau tidak. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Dia memberanikan memutar kunci yang terpasang di dinding pintu.“Tuhan, lindungi saya.” Adelia perlahan-lahan membuka pintu dengan napas memburu dan jantung berdetak kencang.Adelia memasang tatapan penuh waspada, dia mengintip terlebih dahulu untuk memastikan keamanannya.“Daarrr ....”“Huaaaa!” Adelia kaget bukan main, tiba-tiba Aldan sudah berdiri di luar pintu dan mengagetkannya. Tentu jantung Adelia seperti ingin lepas dari tubuhnya.Aldan tertawa lucu, “Kaget ya?”Aldan berhenti tertawa ketika melihat Adelia mulai menitikkan air dari
“Kalian hanya perlu menjalankan tugas sesuai dengan rencanaku,” ucap Hendrawan menatap bergantian pada Malik dan Ferdinan. “Besok di pengadilan putuskan Iqbal kalau dia melakukan kejahatan. Baru kita bisa menyusun rencana berikutnya, sekaligus membebaskan Iqbal.”“Iya, Pak. Aku sudah berbicara empat mata dengan anakku. Dia setuju dan mau mengakui kejahatannya di pengadilan besok,” respon Malik.Ferdinan tertawa sumbang, “Tapi jangan lupa hadiah yang kamu janjikan, Malik. Kasus ini bukan perkara mudah bagiku.” Malik tertawa renyah, “Mobil antik milikku besok pagi sudah berada di halaman rumahmu pak Ferdinan.”“Lalu bagaimana dengan bagianku?” sambung Hendrawan tersenyum tipis.Malik kembali tertawa renyah, “Seperti yang pak Hendrawan minta. Malam ini rekening Bapak akan bertambah 1 miliar.”Setelah selesai membicarakan kesepakatan, mereka pergi ke rumah masing-masing.***Adelia masih penasaran dengan apa yang dilakukan oleh Aldan dan Faizal dalam melawan para penjahat.Adelia mencari
Tiga tahun yang lalu! Terjadi peristiwa pembantaian di desa terpencil, Malaysia. Warga setempat menjadi korban kebengisan para terorris, tanpa ampun membunuh semua orang yang melawan. Perdana menteri memerintahkan angkatan tentara Malaysia untuk melumpuhkan para teroris. Pertempuran dan adu strategi pun tak terhindarkan. Namun, angkatan tentara Malaysia kewalahan karena para teroris menyandera warga setempat untuk dijadikan tameng. Bahkan beberapa prajurit perang banyak yang gugur di medan perperangan. Berbagai strategi dilakukan angkatan tentara perang, dimulai dari penyamaran hingga negosiasi. Namun, para teroris terlalu pintar untuk dikelabuhi. Semuanya berakhir sia-sia dan nyawa prajurit tumbalnya. “Apa yang harus kita lakukan, Jenderal? Mereka tidak bisa dibodohi. Kita harus cepat bertindak, sudah banyak korban yang meninggal.” Salah satu prajurit perang melapor. Sang Jenderal perang bingung. Dia bisa saja memerintahkan prajuritnya untuk melakukan penyerangan besar-besar
Aldan dan Faizal pun melenggang pergi menjalankan misi berbahaya. Mereka berhenti di semak-semak yang tidak terkena pengawasan kamera pengintai. Di depan sana ada beberapa mayat prajurit dan warga setempat yang begelimpangan.“Kita harus tidur di samping orang yang gugur,” kata Aldan.Faizal mengangguk, “Benar, kita harus memasuki area pengawasan mereka.”Di titik ini, Aldan dan Faizal sama-sama mengeluarkan sebuah cairan berwarna merah yang terbungkus plastik di saku celana. Mereka mengoleskan cairan itu ke baju dan calana agar seolah-olah terlihat seperti darah.“10 detik, Faiz,” ucap Aldan, Faiz pun mengangguk mengerti.Di detik selanjutnya, Aldan berucap lagi, “Apa Jenderal sudah siap?”“Siap.” Suara terdengar dari benda kecil yang terpasang di telinga Aldan dan Faizal.“Oke. Tekan tombol enter, sekarang,” titah Aldan.“Sudah.” Bersamaan dengan jawaban itu, Aldan dan Faizal berlari cepat ke arah mayat yang berada di depan sana. Mereka langsung tiduran dalam posisi tengkurap di sa
Faizal terkekeh geli, “Bagaimana? Apa komplotanmu datang? Haha mereka gak akan datang karena saudaraku sudah duduk di tempat layar komputer yang mengawasi seluruh kamera pengintai di daerah ini.” Orang itu membuka mata lebar-lebar, “Apa maksudmu?”“Saudaraku sudah berhasil masuk ke sana dan membunuh temanmu.”“Apa maksudmu?” orang itu bertanya kembali. Wajahnya semakin panik.“Ah sudahlah. Aku gak punya banyak waktu untuk menjelaskan padamu,” ucap Faizal santai. Lalu , dia tiba-tiba memberikan pukulan keras tepat di leher orang itu. UAKKKKKK!Orang itu memuntahkan isi perutnya yang disertai darah akibat pukulan kejutan yang begitu keras di leher, salah satu area titik vital manusia. Pukulan itu mengakibatkan cedera leher dan gangguan saraf.Tak mau menunggu lama, Faizal kembali memukul keras leher orang itu untuk mengakhiri hidupnya.“Huh ....” Faizal menghela napas panjang. Lalu dia bergerak cepat melepas pakaiannya untuk mengganti dengan pakaian khas kelompok teroris.Faizal berja
Melihat Adelia menunduk ketakutan, Aldan memejamkan mata dan menghembus napas pelan untuk menghilangkan energi pembunuh yang keluar dari dalam dirinya.Aldan kembali membuka mata, kini senyuman perlahan terbit di bibirnya, “Hei jangan menunduk terus dong. Wajah cantikmu gak keliatan.”Adelia mendongak perlahan. Dia menatap lekat-lekat pada Aldan. Sikap pria tampan itu sungguh sulit ditebak. Terkadang terlihat konyol dan bodoh, tetapi juga terkadang terlihat sangat mengerikan seperti seorang pembunuh bertangan dingin.“Ah aku jadi malu dilihat kamu terus,” canda Aldan sembari menutupi wajah dengan telapak tangannya.Adelia menghembus napas pelan, “Jangan perlihatkan aura mengerikan itu lagi di hadapanku.”Aldan menurunkan telapak tangannya, masih dengan menampakkan wajah konyol dan cengiran, “Hehe iya maaf. Tadi gak sengaja kok. Keluar begitu aja dari dalam diriku.”Hah, gak sengaja katanya? Adelia membatin sembari menggelengkan kepala.“Ow ya kalau boleh tau, siapa yang kamu incar?” t
“Ayo, cepat. Kita harus sampai terlebih dahulu.” Aldan menggandeng tangan Adelia, ke luar lewat pintu belakang.Adelia merasa aneh karena Aldan dan Faizal berjalan tergesa-gesa. Apalagi mereka masuk ke rumah kontrakan lewat pintu belakang yang kebetulan tidak terkunci.Aldan mengantarkan kekasihnya ke salah satu kamar yang ada di rumah kontrakannya, “Kunci pintunya, jangan dibuka sebelum aku selesai menemui tamuku,” pintanya dengan menerbitkan senyuman, sembari mengelus rambut Adelia.“Eh bukannya tadi kamu mengajakku untuk menemui tamumu?” Adelia protes.“Emm gak jadi. Nanti mereka mikirnya macem-macem kalau aku bawa cewek ke dalam rumah.” Aldan berbohong demi kebaikan Adelia kedepannya.“Oke, Baiklah. Tapi jangan lama-lama, ya.” Adelia pasrah, menuruti kemauan kekasihnya., Namun, sejujurnya dia merasa janggal lebih ke arah mencemaskan sang pujaan hati.Aldan mengangguk, “Gak lama kok. Palingan Cuma 20 menit. Janji,” ucapnya sembari mengangkat jari kelingkingnya.Adelia menautkan jar