Aldan datang menemui Adelia di kediamannya. Dia menatap gadis itu sedang duduk di sofa ruang tengah dengan wajah ketakutan. Perlahan, Aldan mengepalkan kedua tanganya. Hatinya sangat terguncang melihat gadis yang dia cintai menangis.‘Berani-beraninya mereka mau membunuh gadisku,’ gumam Aldan geram. 'Kalian akan membayar setiap tetes air mata gadisku.'Adelia mendongak dan mendapati Aldan berdiri di ambang pintu. Spontan saja, dia berdiri dan berlari menghampiri kekasihnya itu.Aldan pun menangkap tubuh gadis itu ke dalam pelukannya, “Hei jangan nangis dong.”“Mereka mau membunuhku, Putra. Aku takut.” Adelia menangis sejadi-jadinya di pelukan Aldan. “aku takut ... Takut, Putra.”“Tenanglah, Lia. Gak akan terjadi sesuatu denganmu. Aku disini, gak akan ada lagi yang bisa menyentuhmu. Janji.” Aldan mengusap punggung Adelia. Sikapnya sangat hangat dan begitu menenangkan, tetapi di balik punggung gadisnya, kedua matanya berkilat tajam.Aldan berusaha bersikap santai dan tenang, meskipun s
Aldan kembali menggerakkan jari-jemarinya di atas laptop untuk mengacak semua cctv yang memperlihatkan jejak sang penembak. Di satu titik, pembunuh bayaran itu melepas topi miliknya sehingga wajahnya terlihat sempurna. Aldan menyeringai tajam, “Malam ini kamu harus membayarnya. Wajahmu sudah aku tandai.” Adelia yang duduk di sampingnya terlihat gelisah. Dia tidak ingin Aldan membunuh penjahat itu, tetapi di sisi lain dia juga tak mungkin melaporkan kejadian percobaan pembunuhan ini pada polisi. Saat ini di tubuh kepolisian terlalu banyak mafia yang menyamar. Melaporkan kepada mereka sama saja dengan bunuh diri. “Aku ingin kamu tetap berada disini menemaniku. Aku takut, jangan tinggalkan aku sendirian. Please.” Adelia memohon, sekaligus mencegah Aldan agar tidak membunuh penjahat itu. Aldan menghembus napas pelan. Lalu dia menoleh ke arah gadisnya dengan senyuman manis di bibir, “Faiz akan menjagamu ... Aku harus pergi menghukum bedebah itu karena berani mencelakai pujaan hatiku. D
Sebelum pergi, Aldan menghubungi Bahri dan Dani. Dia meminta bantuan pada mereka untuk berjaga di sekitar rumah Adelia. Selanjutnya, Aldan dan Faizal pergi ke kafe Santika dengan meminjam motor Bahri. Tentu saja mereka menggunakan atribut penyamaran.Aldan dan Faizal masuk ke dalam kafe Santika yang lumayan besar. Mereka tersenyum miring ketika melihat Burhan sedang duduk bersama dengan 2 orang wanita berpakaian seksi. “Dasar.” Aldan mendengus miring. Lalu dia berbisik pada Faizal. “pesan minuman dan berpura-pura mabuk seperti yang kita lakukan di Malaysia.”Faizal tersenyum tipis, “Oke. Let’s go, Bos.”Aldan dan Faizal menuju meja depan bartender untuk memesan minuman beralkohol. Mereka meneguknya dan mulai sempoyongan. Sebenarnya penggunaan alkohol di dalam minuman di kafe inj dalam batas kewajaran, tetapi mereka berpura-pura mabuk untuk menjalankan misinya.Pancingan awal mereka berhasil, sebagian besar pengunjung di sana mulai menatap dan tertawa mengejek.“Cupu sekali mereka. M
Aldan dan Faizal bekerja sama merentangkan tubuh Burhan di atas kasur. Mereka mengikat kedua tangan dan kaki musuhnya di setiap sudut dipan kasur. “Lepaskan aku, Anj*ng!” Burhan meninggikan suaranya sembari meronta-ronta, tetapi semakin dia berusaha melepaskan dirinya, tali yang mengikat kedua kaki dan tangannya semakin kuat.“Anj*ng, mau apakan aku? Lepaskan! Aku—”BUGH!Belum sempat Burhan menyelesaikan ucapannya, pukulan terlebih dahulu menyapa wajah tampannya.“Diam atau mati?” Kali ini ekspresi Aldan bukan terlihat seorang homo, melainkan tatapannya seperti orang yang hendak membunuh. “Jangan apa-apakan aku. Jangan perkosa aku. Panta*tku hitam dan jelek. Aku akan mencarikan lelaki yang muda dan tampan untuk kalian,” bujuk Burhan meyakinkan kedua orang asing itu. Dia tidak bisa membayangkan bercinta dengan sesama jenis, apalagi jika harus mencicipi batang mereka. Tiba-tiba Burhan ingin muntah karena membayangkan sesuatu yang menjijikkan, “Tolong lepaskan aku. Aku Janji carikan
Aldan dan Faizal berada di sekitar rumah Hendrawan. Mereka melihat situasi, apakah ada peluang untuk memberikan hukuman pada kepala polisi itu.“Ada banyak penjagaan di rumah Hendrawan. Apa yang harus kita lakukan, Bos?” tanya Faizal.“Lebih baik kita pulang dulu sebelum Lia sadar.” Aldan bukan takut untuk menerobos pertahanan musuh. Dia sudah terlatih, tetapi saat ini dia harus mundur sebelum Adelia menyadari segalanya.“Baik, Bos.” Faizal menurut dan melajukan motor untuk kembali ke kediaman Adelia.Di rumah Adelia, tampak Bahri dan Dani berjaga di sekitar sana. Mereka mengawasi setiap orang yang melewati daerah itu, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Hingga akhirnya, mereka melihat kedatangan Aldan dan Faizal.“Bagaimana?” tanya Aldan.“Aman,” jawab Bahri.“Syukurlah. Sekarang kalian pulang dulu,” pinta Aldan.“Baiklah.” Bahri dan Dani izin pergi dari sana.***Jam 22:30, Adelia terbangun dari tidurnya. Dia turun ke bawah. Dia melihat Aldan dan Faizal tertidur pulas di lantai
Lukman tersenyum licik, “Kau masih saja terlihat sombong. Aku ingin tahu seberapa tahan lama kesembonganmu itu.”“Remukkan tulangnya, sekarang,” titah Lukman kemudian. Dia tidak mau menunggu lama lagi.Sepuluh orang anak buah Lukman maju ke depan, tetapi Aldan memberi isyarat pada Faizal untuk berlari lewat pintu ke belakang.Tentu saja Lukman tertawa sekeras-kerasnya karena mengira Aldan berlari karena takut, “Mampus. Mana katanya mau menyambutku? Gertakan doang, itu akibatnya jika berani melawan Lukman Wafa. Kejar mereka! Jangan biarkan mereka kabur.”Aldan dan Faizal berlari ke arah lapangan futsal yang rusak, masih di daerah sana. Mereka berhenti dan memutar badan, menatap sepuluh orang yang tengah mengatur napas yang saling memburu.“Kalian mau lari kemana, hah?” tanya salah satunya dengan mata melotot.“Ya mau ajak kalian pemanasan lah sebelum berperang. Aku membawa kalian kesini biar tetanggaku gak ada yang terganggu tidurnya. Tapi masak lari 3 menitan, napas kalian sudah kayak
Mendengar pertanyaan itu, mendadak Lukman tertawa keras. Lalu dia berdiri sembari memegangi kepala belakangnya yang berdarah.“Sepertinya kamu belum mengenalku, Sampah. Aku bisa melakukan apa saja sesuai keinginanku,” seru Lukman dengan wajah arogannya, lalu dia tertawa kembali.Mendadak Aldan juga ikut tertawa renyah, dan berganti dengan tatapan geli, “Melakukan apa saja? Sesuai keinginan Bapak? Bangun, Pak. Bangun, Pak. Jangan bermimpi berlebihan. Bapak selalu gagal. Bapak berusaha menyingkirkanku dari perusahaan? Tapi bisa gak? Bapak juga 3 kali mengirim anak buah Bapak buat mencelakai saya. Berhasil gak? Tuh lihat, malahan anak buah Bapak yang babak belur.”“Sorry, Pak. Anda salah pilih lawan. Saya bukan orang lemah yang Bapak kira. Dan anda harus mengenal siapa saya. Mustahil Bapak bisa menyentuh saya,” kata Aldan lagi, diakhiri dengan mengarahkan jari jempolnya ke bawah.Kata-kata yang begitu meremehkan dari Aldan, membuat Lukman naik pitam. Sekretaris CEO itu maju ke arah Aldan
Aldan menyeret kaki Lukman dalam posisi terlentang ke dalam lapangan futsal. Rasa takut yang berlebihan menghiasi wajah Lukman, apalagi dia baru menyadari bahwa semua anak buahnya sudah pergi dari sana. “Eeuuhhmmm ....” Lukman memohon pada Aldan untuk melepaskan dirinya. Suaranya mirip dengan tikus yang berdecit karena tertahan oleh sebuah kain yang menympal mulutnya. “Apa? Permainan kita belum selesai.” Aldan merobek baju Lukman dengan kasar. “Tapi tenang, saya gak akan membunuh Bapak.” Aldan merobek baju itu menjadi dua. Lalu dia mengikat tangan Lukman, “Bapak pasti menyukai permainan ini.” Di detik selanjutnya, tanpa diduga tangan Aldan bergerak melucuti celana jeans dan celana dalam milik Lukman. .Hhhueummm ....” Lukman meronta-ronta, tetapi tenaganya kalah kuat. Kini tubuhnya telanjang bulat, dan tentu saja rasa takut semakin menghiasi wajahnya. Dia mempunyai firasat bahwa Aldan akan menyiksanya dengan sadis sampai meninggal. Aldan mengikat kaki Lukman dengan sisa robeka