Lukman tersenyum licik, “Kau masih saja terlihat sombong. Aku ingin tahu seberapa tahan lama kesembonganmu itu.”“Remukkan tulangnya, sekarang,” titah Lukman kemudian. Dia tidak mau menunggu lama lagi.Sepuluh orang anak buah Lukman maju ke depan, tetapi Aldan memberi isyarat pada Faizal untuk berlari lewat pintu ke belakang.Tentu saja Lukman tertawa sekeras-kerasnya karena mengira Aldan berlari karena takut, “Mampus. Mana katanya mau menyambutku? Gertakan doang, itu akibatnya jika berani melawan Lukman Wafa. Kejar mereka! Jangan biarkan mereka kabur.”Aldan dan Faizal berlari ke arah lapangan futsal yang rusak, masih di daerah sana. Mereka berhenti dan memutar badan, menatap sepuluh orang yang tengah mengatur napas yang saling memburu.“Kalian mau lari kemana, hah?” tanya salah satunya dengan mata melotot.“Ya mau ajak kalian pemanasan lah sebelum berperang. Aku membawa kalian kesini biar tetanggaku gak ada yang terganggu tidurnya. Tapi masak lari 3 menitan, napas kalian sudah kayak
Mendengar pertanyaan itu, mendadak Lukman tertawa keras. Lalu dia berdiri sembari memegangi kepala belakangnya yang berdarah.“Sepertinya kamu belum mengenalku, Sampah. Aku bisa melakukan apa saja sesuai keinginanku,” seru Lukman dengan wajah arogannya, lalu dia tertawa kembali.Mendadak Aldan juga ikut tertawa renyah, dan berganti dengan tatapan geli, “Melakukan apa saja? Sesuai keinginan Bapak? Bangun, Pak. Bangun, Pak. Jangan bermimpi berlebihan. Bapak selalu gagal. Bapak berusaha menyingkirkanku dari perusahaan? Tapi bisa gak? Bapak juga 3 kali mengirim anak buah Bapak buat mencelakai saya. Berhasil gak? Tuh lihat, malahan anak buah Bapak yang babak belur.”“Sorry, Pak. Anda salah pilih lawan. Saya bukan orang lemah yang Bapak kira. Dan anda harus mengenal siapa saya. Mustahil Bapak bisa menyentuh saya,” kata Aldan lagi, diakhiri dengan mengarahkan jari jempolnya ke bawah.Kata-kata yang begitu meremehkan dari Aldan, membuat Lukman naik pitam. Sekretaris CEO itu maju ke arah Aldan
Aldan menyeret kaki Lukman dalam posisi terlentang ke dalam lapangan futsal. Rasa takut yang berlebihan menghiasi wajah Lukman, apalagi dia baru menyadari bahwa semua anak buahnya sudah pergi dari sana. “Eeuuhhmmm ....” Lukman memohon pada Aldan untuk melepaskan dirinya. Suaranya mirip dengan tikus yang berdecit karena tertahan oleh sebuah kain yang menympal mulutnya. “Apa? Permainan kita belum selesai.” Aldan merobek baju Lukman dengan kasar. “Tapi tenang, saya gak akan membunuh Bapak.” Aldan merobek baju itu menjadi dua. Lalu dia mengikat tangan Lukman, “Bapak pasti menyukai permainan ini.” Di detik selanjutnya, tanpa diduga tangan Aldan bergerak melucuti celana jeans dan celana dalam milik Lukman. .Hhhueummm ....” Lukman meronta-ronta, tetapi tenaganya kalah kuat. Kini tubuhnya telanjang bulat, dan tentu saja rasa takut semakin menghiasi wajahnya. Dia mempunyai firasat bahwa Aldan akan menyiksanya dengan sadis sampai meninggal. Aldan mengikat kaki Lukman dengan sisa robeka
“Oh Jenderal yang menelponmu. Yaudah angkat aja, bilang saat ini kita gak bisa membantunya. Kita masih sibuk dengan masalah sendiri,” ucap Aldan, lalu dia melenggang pergi meninggalkan Faizal.Di pagi harinya,Adelia terlihat senang sekaligus kasihan menyaksikan berita Burhan di televisi, “Karma instan banget yak. Setelah dia mencoba membunuhku, Tuhan langsung menghukumnya. Tapi ngeri juga sih, ada 2 orang homo yang menyiksanya dengan kejam. Tubuhnya gak berbentuk, ngeri aku lihatnya.”“Kejahatan pasti akan mendapat balasan ... Emmm tapi kalo dilihat-lihat 2 orang homo itu punya bakat melukis. Lihat deh, luka di sekujur tubuhnya sangat indah,” respon Aldan terdengar santai, meskipun sebuah senyuman penuh arti terbit menghiasi bibirnya.“Iya sih, kasian juga yak. Udah ah matikan saja tv-nya,” pinta Adelia.“Hem baiklah.”Aldan sangat puas, rencananya berhasil dngan sempurna tanpa cacat. Setiap langkahnya memikirkan dampak kedepannya, dia memang menyamar sebagai orang homo dan menciptak
“Tadi saya berjalan menunduk. Maafkan saya.” Aldan segera menguasai perasaannya sendiri dan melanjutkan ucapan yang tertunda.“Iya gakpapa, nak.” Dia adalah Ilham, kakek Aldan. Ilham menatap lekat-lekat pada Aldan, “Siapa namamu, nak?”“Dia teman kerjaku, kek. Namanya Putra,” sahut Rangga menghampiri dan mencium tangan Ilham.“Eh, nak Rangga,” kata Ilham. “Anak muda mainnya kesini ya. Kalau kakek palingan 3 bulanan baru kesini.”“Ow jadi beliau kakekmu ya?” tanya Aldan pada Rangga. Dia mengalihkan perhatian Ilham agar tidak mengamati wajahnya lebih dalam lagi.“Emmm sudah aku anggap kakekku sendiri,” jawab Rangga.“Ow gitu. Perkenalkan nama saya Putra Saputra, temannya Rangga di kantor. Saya baru bekerja di sana.” Saat ini Aldan tidak ingin Ilham mencurigai bahwa dirinya adalah Aldan Pratama Chandra Putra, cucunya.Ilham mengangguk diiringi dengan senyuman hangat, “Ow ya, ya. Jangan pernah bertengkar sesama teman. Kalian harus hidup rukun selamanya, karena teman yang baik bagaikan k
Saat pesta berlangsung dengan meriah, ada security yang menghampiri Hendrawan dengan membawa sebuah kotak kecil. “Maaf mengganggu, pak,” ucap security itu. “Ini ada paket buat bapak.” Hendrawan mengambil paket itu dari tangan secuity, “Dari siapa?” “Saya tidak tahu, pak. Tadi ada kurir yang memberikan paket ini yang ditujukan buat Bapak. Saat tanya siapa pengirimnya, kurirnya cuma jawab dari penggemar Bapak,” ungkap security itu. “Palingan itu buat Mama,” sahut Sari menghampiri Hendrawan. “Mama ‘kan yang ulang tahun.” “Ya gak bisa dong. Udah jelas-jelas katanya buat Papa,” canda Hendrawan sembari mengamati paket itu yang berbentuk kotak kecil dilapisi kertas kado. “Daripada ribut, mendingan paketnya dibuka biar kita tau paketnya buat siapa.” Verra mengambil dan membolak-balikkan paket itu.“Ini kotak lumayan ringan. Verra penasaran apa isinya.” “Yaudah dibuka aja biar gak penasaran. Papa yakin paket ini dari penggemar Papa.” Hendrawan mengambil paket itu kembali dan membukanya
Sari meminta pada semua orang untuk pulang meskipun pesta belum waktunya selesai. Saat ini dia sedikit syock atas kejadian barusan.Sementara, Verra menghubungi Hendrawan, “Pa ada dimana? Papa baik-baik saja 'kan?”“Papamu orang hebat, gak akan ada yang bisa mencelakai Papa. Sekarang Papa ada di jalan, mau ke kantor polisi,” kilah Hendrawan di seberang sana.“Hati-hati, Pa.”“Siap, Malaikatku.”Saat sambungan telepon terputus, Hendrawan kembali memasang wajah penuh amarah. Dia menambah kecepatan laju mobil di atas rata-rata. Padahal itu sudah melanggar lalu lintas, bahkan dia diteriaki pengendara lain untuk menurunkan kecepatannya.Hendrawan tidak peduli. Dia seorang polisi yang bisa berbuat seenaknya, apalagi pengendara lainnya tidak menyadari siapa yang mengendalikan mobil itu.“Wahyu, Aku akan memberikanmu pelajaran.” Hendrawan kesal. Tatapan menerawang jauh, dia tak menyangka sahabatnya sendiri ingin membunuhnya.***Aldan masih belum pulang. Dia berpura-pura ikut cemas atas keja
Rangga mengantar Aldan pulang. Setiba di rumah kontrakan, Aldan berpura-pura sakit perut. “Kamu langsung pulang, ya.” Aldan turun dari mobil sembari memegangi perutnya. “ow ya terima kasih. Ketemu besok.” “Padahal aku ingin mampir sebentar.” “Perutku sakit banget. Lagian ini sudah malam, gak enak aku sama tetangga nerima tamu malem-malem. Besok saja mainnya,” kilah Aldan berpura-pura semakin terlihat kesakitan. “Oke, deh.” Aldan berlari ke arah rumahnya, seolah-olah tidak tahan lagi ingin segera buang air besar. Sementara Rangga melajukan mobilnya dengan ekspresi wajah sedikit kecewa. Di dalam rumah kontrakan, Faizal sudah menunggu. “Gimana pekerjaanmu?” tanya Aldan. “20 menit yang lalu aku sudah mencampuri minuman Nona Lia dengan obat tidur. Sekarang dia sudah terlelap, aku juga sudah memasang cctv dan beberapa jebakan di sekitar rumahnya buat berjaga-jaga kalau ada musuh datang. Dan sebentar lagi Dani Bahri akan datang menjaga sekitar daerah sini,” ungkap Faizal. “Bagus. Jam