Di kamar pribadi miliknya,Adelia baru saja selesai mandi dan langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Beberapa hari, dia hanya berdiam diri di rumah. Dia masih trauma atas kejadian percobaan pembunuhan oleh penjahat terhadap dirinya. Padahal banyak pesan dan telepon masuk yang meminta dirinya untuk menjadi pengacara orang-orang itu. Namun, dia menolak secara halus dan merekomendasikan pengacara lain yang menurutnya juga mengutamakan keadilan hukum.“Huhhhh bosen,” keluh Adelia sembari memainkan ponselnya.Tetiba jari-jemari Adelia bergerak mencari sebuah foto di galeri, “Kalung ini sangat cantik.”Adelia memandangi foto kalung liontin berwarna putih yang masih menghantui dirinya. “Gak nyangka kalung ini udah 10 tahun bersamaku.” Adelia memperbesar foto itu dan mengamati ciri-ciri khasnya.Tidak puas hanya memandangi foto, Adelia bangun dari rebahan dan mengambil kalungnya yang disimpan di dalam lemari.“Siapa pemilikmu? Kenapa kamu kayak gak mau kembali lagi ke pemilikmu? Apa kar
Suara klakson bus terdengar nyaring seketika, sementara Aldan berusaha tidak panik. Dia meliukkan motor ke arah kiri sebelum bus itu mencium badan motornya.“Rem blong!” teriak Aldan sembari membunyikan klakson untuk memberi tahu pengendara lainnya.Pengalaman Aldan disini berbicara. Semua panca indranya saling bekerja sama, Dia meliuk-liuk melewati beberapa kendaraan sembari menurunkan gigi gas motor secara bertahap.Usaha Aldan membuahkan hasil, kecepatan laju motornya semakin melambat dan akhirnya bisa dikendalikan.“Kurang ajar! Siapa yang berani merusak rem motorku? Aku akan membalasnya,” gumam Aldan kesal sembari menepikan motornya di tepi jalan.Aldan turum dan memeriksa keadaan motornya. Ternyata dugaannya benar, kabel rem-nya rusak dan tak tersambung sempurna. Bukan hanya itu saja, kanvas rem juga hilang.“Bangsat!” umpat Aldan pelan. “Awas saja kau, Pak Tua. Aku akan membalasnya.”“Siapa lagi kalo bukan pak tua bangka? Brengsek!” umpat Aldan sembari naik ke motor dan melajuk
Seseorang itu adalah karyawan yang bertugas menjaga tempat parkiran khusus karyawan kantor.“Stop. Diperlambat,” pinta Dhea dan seketika petugas itu menurut. “Bukankah dia pak Santoso?”Dari rekaman cctv itu jelas terlihat Santoso, seorang karyawan penjaga tempat parkiran sedang melangkah dengan tatapan mata penuh waspada. Dia membuka bungkusan koran yang berisi tang potong dan beberapa kunci motor. Dia bergerak cepat dan gemetaran saat memulai aksinya merusak kabel dan mengambil canvas motor milik Aldan.Spontan saja Dhea dan semua petugas melotot melihat rekaman itu. Bahkan kini sang CEO mengepalkan tangan dengan sempurna. Sementara Aldan bersikap biasa saja. Dia sudah tak heran lagi, pasti Santoso disuruh oleh Lukman Wafa untuk merusak rem motornya.Namun, di detik berikutnya Aldan berpura-pura memasang wajah sedih ketika beberapa petugas IT menoleh ke arahnya, “Apa salahku? Kenapa Cindy dan pak Santoso mau mencelakaiku? Padahal aku baru kerja disini.”“Kamu tidak salah apa-apa,” u
Dhea sangat kegirangan mendengar pengakuan jujur dari Santoso. Akhirnya ada bukti kuat untuk menyeret Lukman ke jalur hukum sekaligus menendangnya dari perusahaan cosmo indofood.Petugas IT yang ada di sana pun tak kalah girangnya. Mereka seperti sudah mengetahui sifat Lukman yang semena-mena, tetapi tidak berani melaporkan pada Dhea Diantama selaku ceo perusahaan karena takut. Lukman sudah pasti menyewa preman untuk mencelakai siapa saja yang melawan dan mengadu pada sang CEO.Namun, berbeda dengan Aldan. Dia tampak belum puas hanya mendengar pengakuan Santoso. Dia yakin itu masih belum cukup untuk melumpuhkan Lukman.Dia butuh bukti yang lebih kuat lagi sehingga sekretaris ceo itu tak bisa bermain kelicikan.“Apa anda berkata jujur?” tanya Dhea untuk memperjelas pengakuan Santoso.Santoso menoleh ke arah Dhea dengan tangisan masih melekat, “Saya berkata jujur. Pak Lukman yang telah menyuruh saya untuk merusak rem motor punya pak Putra. Saya terpaksa menuruti permintaannya. Saya tak p
Sebelum pulang, Aldan memberi saran pada Dhea untuk menangkap Lukman keesokan harinya di kantor. Aldan juga mengingatkan pada sang ceo untuk memastikan tidak ada permainan hukum yang dilakukan Lukman dengan pihak yang berwenang.Setelah urusan selesai, Aldan pulang dengan memesan gojek. setiba di rumah kontrakan, senyuman manis terbit di bibirnya ketika melihat Adelia berdiri di ambang pintu dengan tatapan cemberut.Aldan memberi isyarat pada Adelia untuk menunggunya di dalam. Lalu dia masuk ke rumah kontrakan untuk membersihkan diri sebelum akhirnya dia pergi ke rumah kekasihnya lewat pintu belakang.“Hai cantik,” sapa Aldan menghampiri Adelia yang tengah duduk di sofa. “ maaf ya udah nunggu lama. Tadi ada urusan mendadak di kantor.”Adelia cemberut dan memalingkan wajah ke arah lain, “Alasan. Katanya cepet pulang, eh gak tau-nya ingkar janji. Dasar.”“Hehe iya, iya maaf aku salah,” ucap Aldan sembari mengelus rambut Adelia dengan lembut.Adelia melipatkan tangan dengan ekspresi masa
Aldan, Faizal, dan Adelia pergi menikmati indahnya malam di salah satu pusat permainan yang ada di jakarta. Mereka sangat senang bisa jalan-jalan bersama tanpa ada gangguan sedikitpun.Saat mereka menikmati indahnya malam, berbeda dengan seorang wanita yang tampak bersedih berjalan menuju area pemakaman.Mengenakan baju dan celana berwarna hitam, kacamata dan selendang berwarna senada, juga membawa dua bucket bunga segar. Wanita itu melangkah dengan pelan menuju makam Chandra dan Yuyun.“Bagaimana kabarmu Chandra? Yuyun?” tanya wanita itu duduk di tengah-tengah makam kedua orang tua Aldan. Wanita itu masing-masing meletakkan satu buket bunga di depan nisan Chandra dan Yuyun. “Sudah 2 bulan aku tidak mengunjungi kalian. Maaf, akhir-akhir ini aku sangat sibuk.”Lama wanita itu terduduk dengan bergantian memegang nisan Chandra dan Yuyun dengan tatapan sedih.“Maafkan aku, Chan. Maafkan aku, Yun. Berulang kali aku meminta maaf, meski aku tau kesalahan dan dosaku gak bisa terampuni. Aku b
“Aku akan bunuh kalian!” seru Aldan dengan suara meninggi di bawah alam sadarnya. Wajahnya semakin memerah, air mulai ke luar dari matanya. Tangannya juga terkepal sempurna.Adelia yang duduk di sampingnya semakin penasaran dengan mimpi buruk yang dialami kekasihnya. Awalnya dia mengira mimpi kekasihnya hanya sebatas bunga tidur, tetapi melihat reakasi yang ditunjukkan kekasihnya seperti memimpikan kejadian kelam di masa lalu.Di titik ini, Faizal yang tidur di kasur lipat sebelah Aldan, terbangun dan mendapati Adelia yang duduk di samping tubuh sang Bos yang tengah beraksi akibat mimpi buruk.“Putra kenapa?” tanya Adelia pelan pada Faizal.“Gak tau. Mungkin hanya mimpi buruk,” jawab Faizal sembari mengedikkan bahu. Dia berbohong, sebenarnya diirinya tahu kalau Aldan bukan hanya sebatas mimpi buruk.“Putra.” Adelia memanggil dengan lembut sembari mengusap keringat dan air mata Aldan. “Kamu mimpi apa sih.”“Papa! Mama!” Aldan berteriak sembari membuka matanya lebar-lebar. Dia terbangun
Adelia berhenti mengingat masa kecilnya. Saat ini dia lebih memikirkan perasaan Aldan.Adelia ikut merasakan apa yang dirasakan Aldan. Dia yakin kekasihnya mengalami kepedihan hidup dalam bayang-bayang pembunuhan tragis orang tuanya di depan matanya sendiri. Dia paham pria tampan itu tak mudah menjalani hidup yang dibenci kerabat-kerabatnya sendiri akibat korban fitnah, apalagi penjahat-penjahat itu masih berkeliaran menghirup udara bebas.Adelia menggeleng-gelengkan kepala dengan tatapan menerawang jauh, “Ternyata Hendrawan lebih jahat dari apa yang kubayangkan. Dia bukan hanya benalu yang suka mempermainkan hukum, ternyata dia juga seorang pembunuh yang sangat kejam.”“Hendrawan, Wahyu, dan pria bersepatu bukan seorang manusia. Mereka seorang iblis yang menyamar. Dan seorang iblis harus dimusnahkan,” sahut Faizal sembari mengepalkan tangan dengan tatapan penuh amarah.“Biar Tuhan yang menghukumnya,” tanggap Adelia sembari menatap Aldan yang tengah terlihat bersedih dan marah.Adelia