"Tuan ... tuan ..., ini terlalu banyak!" Namun laki-laki itu sama sekali tidak menghiraukanku. "Tuan ... Tuan ...!" Namun pria tampan itu sudah masuk ke dalam mobilnya. Lebih baik kembaliannya nanti aku antar ke proyek saja. Gegas aku buatkan pesanannya, selagi Raihan masih di gendong Bang Adam. Setelah semuanya selesai, Aku segera membereskan perlengkapan daganganku dan memasukkannya ke dalam gerobak. Setelah semua rapi, Aku meraih Raihan yang sudah tertidur di pangkuan Bang Adam. "Loh, bukannya kamu mau antar pesanan Bos proyek tadi?"tanya kakak iparku itu. "Iya, Bang. Raihan aku bawa aja." "Biarlah Raihan sama aku dulu. Sana kamu antar pesanannya!" "Jangan Bang! nanti ngerepotin. Proyeknya jauh. Nanti kelamaan aku ninggalin Raihan." "Repot apa, udah sana jalan!" "Ya udah deh kalau maksa. Aku jalan dulu ya, Bang." Bang Adam mengangguk masih tanpa senyum. Kenapa laki-laki baik itu susah sekali untuk senyum. Namun Raihan selalu merasa nyaman setiap bersamanya. Aku berjal
"Ingin apa, Bang? Bang Adam nampak gugup. Keringat mengalir dari keningnya. Tangannya nampak gemetar. Persis seperti ketika Bang Irsan ingin menyatakan cintanya padaku. Kakak iparku itu menatapku agak berbeda dari biasanya. Apa sebenarnya yang akan dia katakan? Aku menunggu dengan jantung berdebar. Berharap agar tidak ada sesuatu yang serius terjadi. Tiba-tiba Raihan merengek. Sepertinya benar kata Bang Adam. Anakku ini haus. Raihan mulai rewel dan berontak. Sesekali tubuhnya hendak merosot turun dari gendonganku. Aku mulai kewalahan. "Bang, maaf, Aku harus segera pulang. Raihan minta ASI," ujarku seraya mengikat kain panjang penggendong Raihan dengan kencang agar tak lepas. Kemudian aku meraih gerobak yang sudah berisi perlengkapan daganganku itu dan mulai mendorongnya. Kulihat Bang Adam terdiam menatapku tanpa kata. Sementara Raihan sudah sangat rewel hingga aku kesulitan mendorong gerobak sambil menggendongnya. Raihan terus berontak hingga kain gendongannya nyaris terlepas.
"Anakmu tidak apa-apa?" Spontan aku menoleh mendengar suara bariton yang sepertinya aku kenal. Mataku melebar saat melihat pria itu. Tiba,-tiba saja dadaku berdebar. Astaga! Laki-laki yang menolongku barusan ternyata ... Tuan Yuda. Kami sama-sama tersentak dan saling menatap beberapa saat. Kemudian tersadar dan saling membuang pandangan. Dadaku terus berdegup kencang. "T-tidak apa-apa, Tuan. Terima kasih," sahutku tertunduk. Kenapa Tuan Yuda ada di sini? Ya Tuhan, Ada apa denganku? Ada debaran yang tak biasa yang aku rasakan saat ini. Tidak ...! Aku tidak boleh punya perasaan seperti ini. Sadarlah Salma! Kamu harus sadar diri! "Mari saya antar ke depan lagi, Tuan." Entah sejak kapan, Bang Safwan ternyata sudah berdiri di dekat Tuan Yuda. Wajah kakak iparku itu nampak tak suka padaku. Namun Tuan Yuda tidak menghiraukannya. Laki-laki itu masih menatapku. Namun aku tak berani membalas tatapannya yang semakin lekat. Detak jantungku terasa tak baik-baik saja di dalam sana. Tering
Siang ini kembali aku mengantar lima puluh bungkus nasi rames ke proyek.Seperti biasa aku membawanya dengan menggunakan gerobak bersama Raihan yang juga berada di dalamnya. Bocah lucu itu sangat mengerti kesulitan yang aku hadapi. Anak itu justru senang berada dalam gerobak beserta beberapa mainannya. Sementara beberapa kantong plastik berisi puluhan nasi bungkus aku gantung pada tepi gerobak, agar tidak disentuh oleh Raihan. Aku telah sampai di gerbang masuk proyek. Perlahan kudorong gerobak melewati beberapa pekerja yang istirahat. Kembali terlihat mobil mercy hitam milik Yuda terparkir sempurna di depan kantor proyek. Semoga saja aku tidak bertemu dengan laki-laki itu. Entah mengapa, sejak kejadian di rumah ibu mertua beberapa hari yang lalu, tanpa kusadari, wajah tampan laki-laki itu selalu terbayang di benakku. Pandangan mataku menelusuri sekitar para pekerja untuk mencari Mandor Haris, namun tidak terlihat sama sekali. "Permisi ..., Mandor Haris kemana, Pak?" Aku mencoba b
"Untuk apa kamu turunkan nasi-nasi itu?" tanya wanita itu seraya menaikkan alisnya dan mata melotot padaku. "Saya mau titipkan saja pada Bapak ini, Nona," sahutku tanpa menoleh dan terus memberikan bungkusan-bungkusan itu pada mereka. "Tidak usah! Bawa pulang saja lagi nasi-nasi itu. Dan mulai besok kamu nggak usah lagi antar nasi bungkus itu ke sini. Proyek ini tidak mau berlangganan dengan pedagang kurang ajar seperti kamu. Dasar orang miskin tidak sopan!" "Nasi-nasi ini sudah dibayar, Nona. Mana mungkin saya bawa lagi," sahutku kesal. Karena sikap dan teriakan wanita itu, Raihan jadi ketakutan dan menangis. Gegas aku meraih Raihan dari dalam gerobak dan menggendongnya. "Sudah sana cepat pergi! Berisik, tau nggak!" bentaknya lagi membuat tangis Raihan semakin kencang. Aku kesulitan mendiamkan tangis Raihan yang semakin keras. Anak ini terus mengamuk dan berkali-kali gendongannya terlepas. Para pekerja melihatku dengan wajah serba salah dan bingung. Mungkin mereka hendak m
POV Yuda Ayah terlihat masih kurang sehat sejak peristiwa perampokan beberapa waktu lalu. Namun pria yang sudah berumur enam puluh tahun itu masih saja bersikeras ingin pergi mencari wanita yang menolongnya. "Sudahlah, Ayah. Wanita itu sudah aku beri uang banyak. Itu sudah lebih dari cukup." "Enak saja kamu bicara! Bahkan kebaikannya tak bisa dinilai dengan apapun. Wanita itu telah menyelamatkan nyawaku!" tegas Ayah yang sedang bersandar pada sofa di ruang keluarga. Rumah sebesar ini hanya aku dan Ayah serta beberapa pelayan yang tinggal di sini. "Ayah terlalu berlebihan. Bukankah nyawa seseorang hanya Allah yang mengetahui." "Yuda, andai waktu itu wanita itu tidak mau menolong Ayah. Entah apa yang akan terjadi pada Ayahmu ini. Coba kamu bayangkan! Wanita itu mendorong gerobak sambil menggendong anaknya. Bahkan dia sampai berlari agar Ayah bisa segera tertolong." Lagi-lagi Ayah mengulang-ulang kembali kekagumannya pada wanita itu. Aku jadi penasaran. Seperti apa wanita itu?
Siang ini di proyek. Baru saja aku menutup panggilan ponsel dari salah satu relasi bisnisku di Amerika. Bisnis yang sangat penting hingga aku harus meluangkan waktu beberapa lama untuk membicarakan perkembangan kerjasama kami. Tiba-tiba saja Aku mendengar keributan di luar kantor. Masalah apa lagi yang diciptakan oleh Tania? Suaranya terdengar hingga ke ruanganku. Apakah dia memarahi para pekerjaku lagi? Padahal sudah berkali-kali kutegur untuk tidak ikut campur dalam proyekku. "Ada apa ribut-ribut?" tanyaku sambil membuka pintu. Aku tertegun ketika mataku bertemu pada wajah oval wanita cantik berhijab itu. Wanita si penjual nasi itu dengan cekatan mendorong gerobak sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Sungguh luar biasa. Wanita yang kuat dan tak kenal lelah. Kekagumanku semakin bertambah padanya. Lagi-lagi debaran itu kurasakan saat menatap wajahnya yang cantik. Sepertinya wanita itu mulai menguasai hati dan pikiranku. Astaga! Kenapa aku jadi teringat dengan cerita Aya
"Yuda ... Ayah sudah menemukannya!" Ayah menghampiriku dengan wajah sumringah, ketika aku baru saja pulang dari kantor. Aku mencium tangan Ayah dengan takzim. Ayah adalah satu-satunya yang paling berharga aku miliki di dunia ini. Di usianya yang sudah senja, Aku belum bisa membahagiakannya. Ayah sangat ingin aku segera menikah. Namun Ayah tidak pernah setuju setiap aku memperkenalkan teman dekat wanitaku padanya. Aku menghempaskan tubuhku pada kursi empuk di samping Ayah. "Tadi Ayah bilang menemukan siapa?" tanyaku seraya membuka kancing lengan kemeja dan menggulungnya hingga ke siku. "Ayah sudah bertemu dengan wanita yang menolong Ayah waktu itu." "Lalu?" tanyaku lagi, sambil melangkah ke lemari pendingin dan meraih sebuah minuman kaleng, lalu meneguknya. "Pokoknya kamu harus segera menikahi wanita itu." "uhuk ... uhuk ... uhuk ...!" Spontan aku terbatuk-batuk karena tersedak. "Hei, hati-hati minumnya!" Ayah menepuk-nepuk ringan punggungku. "Ayah, memangnya sudah kenal be