Share

Bab 6. Pria Penolong

"Ingin apa, Bang?

Bang Adam nampak gugup. Keringat mengalir dari keningnya. Tangannya nampak gemetar. Persis seperti ketika Bang Irsan ingin menyatakan cintanya padaku.

Kakak iparku itu menatapku agak berbeda dari biasanya. Apa sebenarnya yang akan dia katakan? Aku menunggu dengan jantung berdebar. Berharap agar tidak ada sesuatu yang serius terjadi.

Tiba-tiba Raihan merengek. Sepertinya benar kata Bang Adam. Anakku ini haus. Raihan mulai rewel dan berontak. Sesekali tubuhnya hendak merosot turun dari gendonganku. Aku mulai kewalahan.

"Bang, maaf, Aku harus segera pulang. Raihan minta  ASI," ujarku seraya mengikat kain panjang penggendong Raihan dengan kencang agar tak lepas.

Kemudian aku meraih gerobak yang sudah berisi perlengkapan daganganku itu dan mulai mendorongnya.

Kulihat Bang Adam terdiam menatapku tanpa kata. Sementara Raihan sudah sangat rewel hingga aku kesulitan mendorong gerobak sambil menggendongnya. Raihan terus berontak hingga kain gendongannya nyaris terlepas. Aku kembali membetulkan ikatan gendongannya, namun tenaga Raihan cukup kuat hingga aku harus menahannya dengan kedua tanganku agar tak terlepas atau terjatuh.

"Sini Aku  aja yang bawa. Dimana kamu tinggal?" Tiba-Tiba Bang Adam mengambil alih gerobakku. Pria hitam manis itu terlihat cemas pada Raihan. Sesekali satu tangannya mengusap punggung Raihan agar anakku itu bisa tenang.

"Aku dan Raihan tinggal di kontrakan Pak Hasan, Bang!"

Bang Adam mengangguk dan langsung menarik gerobak yang sudah berada ditangannya sejak tadi.

"Sudah jalan duluan sana! Raihan pasti sudah tidak sabar!"

"Baik, Bang. Terimakasih." Gegas aku melangkah cepat menuju kontrakan. Kutepuk-tepuk lengan Raihan agar anakku itu tenang.

Dari kejauhan aku sempat menoleh ke belakang.

Sungguh aku tak percaya Bang Adam mau mendorong gerobakku. Bukankah mereka dari keluarga terpandang? Salah satu keluarga yang mempunyai banyak tanah di kampung ini. Tanpa gengsi dan malu, pria berkemeja rapi itu mendorong gerobakku hingga sampai ke tempat tinggalku. Pria itu tak peduli tatapan heran dari beberapa tetanggaku.

"Terima kasih, Bang."

Bang Adam meletakkan gerobak tepat di depan teras rumah kontrakanku.

"Sudahlah Salma, sana cepat beri Asi anakmu! Aku pulang dulu." Setelah pamit pulang, kakak iparku itu melangkah keluar dan menghilang di ujung jalan kecil kontrakan ini.

Aku pun segera masuk ke dalam rumah dan merebahkan Raihan di kasur busaku. Kemudian Raihan kuberi ASI hingga anak itu tertidur pulas.

.

.

.

Sore ini aku kembali berbelanja bahan makanan berupa sembako dan lainnya di warung Teh Ika. Seperti biasa, sambil membawa Raihan digendongan, aku memesan apa  saja yang aku butuhkan.

"Teh Ika, ini catatan pesanan aku. Tolong nanti diantar ke rumah , ya!"

"Iya Mbak Salma. Wah, makin banyak belanjanya. Makin laris ya ..." sahut Teh Ika seraya membaca catatan belanjaanku.

"Alhamdulilah, teh."

"Halah Teh Ika, cuma jualan nasi aja bisa beli apa, sih? Paling-paling juga beli daster kreditan doang." Ternyata Kak Lina sudah berdiri sejak tadi di belakangku.

"Maaf, Kak. Yang suka dengan barang-barang kredit bukannya situ ya?" sahutku, tetap tenang dan tersenyum ramah. Tanpa terpancing oleh ucapannya yang selalu ingin merendahkanku.

Sontak wajah Kakak iparku itu memerah. Akhirnya dia ingat kalau setiap hari ada yang datang ke rumah menagih hutang barang kreditan padanya.

Aku mengulum senyum saat melihat perubahan raut wajah kakak iparku itu.

Beberapa tetangga yang berada di sana ikut tersenyum mendengar sahutanku.  Hampir satu kampung ini tau kakak iparku yang satu itu punya tagihan di mana-mana. Sayang saja sepertinya suaminya dan ibu mertua tidak tahu.

Ibu memang jarang  keluar rumah, sedangkan suaminya bekerja lebih sering keluar kota. Pekerjaan suami Kak Lina sama dengan Almarhum Bang Irsan, yaitu supir truk barang antar kota.

-----

Sore ini aku berencana hendak mengambil sisa barang-barangku di rumah Ibu. Ada beberapa  kado mainan juga yang belum aku buka. Mungkin bisa untuk Raihan main agar anak itu tidak rewel. Beberapa surat penting milik Raihan juga belum aku bawa.

Saat aku tiba, ada dua mobil mewah terparkir di depan rumah Ibu mertua. Mungkinkah sedang ada tamu?  Lebih baik aku lewat pintu belakang saja. Kebetulan kamar yang aku tempati kemarin juga ada di belakang.

"Hei Salma! Mau apa lagi kamu datang ke sini?" Kak Norma berteriak ketika aku memasuki pekarangan belakang rumah Ibu.

"Saya mau ambil barang-barangku, Kak," jawabku sambil melangkah mendekati  pintu belakang rumah Ibu.

"Barang-barang apa? Isi kamarmu itu hanya ada sampah saja. Nggak ada lagi barang-barangmu di sini." Kak Norma menatapku sinis seraya melipat tangannya di depan dada.

"Memang bukan barang-barang bagus, Kak. Tapi masih sangat berguna untukku."

"Pokoknya kamu tidak boleh menginjakkan kaki lagi ke rumah ini!" Kak Norma menghalangiku untuk masuk.

"Astaghfirullah, Kak! Aku nggak akan balik ke sini lagi. Aku cuma mau ambil surat-surat penting di dalamnya. Aku mohon hanya sebentar, Kak!"

"Diam kamu di situ!" ancam kak Norma dengan telunjuk tangannya mengarah pada kakiku agar berhenti melangkah. Kemudian wanita berbadan gemuk itu masuk ke dalam.

Aku masih menunggu di halaman samping. Tampak beberapa orang laki-laki berpakaian rapi  sedang mengukur sepanjang tanah milik Ibu.  Mungkin tanah ibu ini sudah ada pembelinya.

Tentunya para iparku itu sangat senang karena mereka akan mendapatkan warisan.

"Hei, Salma! Ini barang-barang kamu! Sana cepat pergi pergi! Hush ..hush ..!"

"Awww ....!" Aku terhuyung dan nyaris jatuh saat Kak Norma melemparkan kardus yang cukup besar ke badanku. Beruntung aku sempat melindungi tubuh Raihan yang berada dalam gendonganku.

"Hei, hati-hati !" Terdengar teriakan seorang laki-laki tepat dibelakangku.

Sontak aku terkejut saat tubuhku tak jadi jatuh karena tertahan oleh seseorang di belakangku. Sepasang tangan kekar meraihku dari belakang. Bersyukur aku dan Raihan tidak jadi jatuh.

"Norma! Apa-apaan kamu? Bikin malu saja!" bentak Ibu yang tiba-tiba muncul dan membentak Kak Norma. Namun kakak Iparku  itu malah menuduhku yang tidak -tidak.

"Ini si Salma main masuk-masuk aja lewat belakang. Pasti dia mau mencuri lagi, Bu!"

Dengan berkacak pinggang Kak Norma kembali melotot padaku yang masih berusaha berdiri tegak  seraya menengkan Raihan yang sempat terkejut dan menangis.

"Astaghfirullah!" seruku yang tak habis pikir dengan kelakuan iparku yang satu ini. Apa salahku hingga dia terus memfitnahku seperti ini.

"Anakmu tidak apa-apa?" Spontan aku menoleh mendengar suara yang sepertinya aku kenal.

Astaga! Laki-laki yang menolongku barusan ternyata ...

Komen (4)
goodnovel comment avatar
effy
ada saja ipanya ketika salama membeli barang......... mmg ipanya tgl d sana
goodnovel comment avatar
Emeli Emelia
pasti Yudha tu
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Yuda kah yang menolong Salma
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status