Seorang perawat membantu Pak Surya untuk duduk di brankar dan bersandar pada dinding ruang UGD ini. Aku menyuapi beliau dengan sabar. Kasian sekali Pak Surya ini. Andaikan beliau adalah bapakku, tidak akan aku biarkan beliau pergi seorang diri seperti ini. Tiba-tiba sebuah ponsel yang berada di meja samping brankar, bergetar. "Apakah itu ponsel Bapak? tanyaku. Pak Surya mengangguk pelan. Segera kuraih ponsel itu dan memberikannya pada Pak Surya. "Ini, Pak." "Angkatlah. Mungkin itu anakku yang menghubungi." Aku menarik kembali ponsel yang tertera nama 'My Son' pada layarnya. Kemudian menerimanya. "Hallo ...! Ayah ... Ayah dimana? Maafkan aku, Yah!" Terdengar suara seseorang yang sedang panik di seberang sana. Kenapa sepertinya aku mengenal suara berat itu? "Hallo, Bapak Anda sekarang ada di puskesmas kecamatan bawal." "Siapa Anda? Bagaimana kondisi Ayah saya?" tanya laki-laki itu lagi. "Sebaiknya anda segera datang ke sini!" sahutku, kemudian menutup panggilan ponsel itu.
"Ehm ... kalian sudah saling kenal rupanya?" Suara Pak Surya tiba-tiba mengejutkan kami. Aku langsung membuang pandangan ke arah kiri. Sementara Yuda lantas menoleh pada Ayahnya. Ternyata benar. Tuan Yuda adalah anak Pak Surya. "A-ayah, maafkan Aku !" Yuda langsung menghambur memeluk Ayahnya. "Untuk apa kamu menyusulku? Biarkan saja aku mati!" "Tolong jangan bicara seperti itu, yah! Maaf kan Aku ....Aku mohon!" "Gara-gara perempuan murahan itu, kamu sampai lupa pada Ayahmu," geram Pak Surya tanpa menoleh sedikitpun pada Yuda. "Maafkan Aku, yah! Sekretarisku sedang cuti. Aku agak kesulitan dalam mengatur jadwal dan menerima tamu saat ini." "Halah! Kamu pikir Ayahmu bodoh? Seharusnya perempuan murahan itu tidak diizinkan masuk!" "Ayah ... Aku kan sudah bilang, sekretarisku sedang cuti. Jadi ...." "Diam kamu!" Sontak Pak Surya membentak anaknya.."Ayah ..., sabar ya! Nanti tekanan darahnya naik lagi," bujukku lembut. Pak Surya merebahkan kembali tubuhnya di brankar. Sementara
"Maafkan aku! Emak jadi kerepotan. Kenapa nggak panggil aku tadi?" ujarku seraya meraih Raihan dari gendongan Mak Isah. "Nggak apa-apa, Salma. Emak dulu juga seperti kamu. Kerja sambil gendong anak." Aku gegas ikut membantu Mak Isah melayani pembeli. Dadaku berdegup kencang ketika kusadari ada sepasang mata yang memperhatikanku dari depan ruang UGD sejak tadi. Ya Tuhan. Kenapa aku jadi grogi seperti ini. Salma! Jangan salah salah tingkah! Bisa saja laki-laki tampan itu hanya sedang menyelidiki kamu. Aku berusaha untuk mengingatkan diri sendiri. Bagaimanapun juga, aku ini manusia biasa. Yang bisa jatuh cinta lagi. Apaa? Jatuh cinta? Apa benar aku merasakan jatuh cinta lagi? ...Selepas isya, seperti biasa setelah menidurkan Raihan aku meracik bumbu untuk dimasak besok pagi. Melelahkan memang. Tapi ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa melanjutkan hidup. Kadang Aku kasihan dengan Raihan. Waktuku bermain dengannya berkurang. Harusnya Raihan sudah mulai belajar merangkak.
"Perkenalkan, saya Yuda, calon suami Salma!" Astaga! Dia bilang apaa? Bang Adam tersentak saat menerima uluran tangan Tuan Yuda. Lantas dengan spontan dia kembali menarik tangannya. Sontak Abang iparku itu memandangku dengan tatapan kecewa. "Jika ada keperluan dengan Salma, silakan! Saya tunggu," ujarnya seraya terus berdiri diantara Aku dan Bang Adam. Ya ampun! Tuan Yuda ini apa-apaan, sih? "Oh, T-tidak apa-apa. Saya hanya memberikan ini untuk Raihan." Bang Adam memberikan sekantong makanan kecil untuk Raihan, padaku. "Terima kasih, Bang. Raihannya tidur.' "Tidak apa-apa. Besok aku akan datang lagi," sahut kakak iparku itu. "Ehm ... ehm ... Sepertinya mulai besok Salma dan Raihan sudah tidak tinggal di sini. Jadi, mungkin ini adalah pertemuan terakhir anda," sanggah Yuda dengan percaya diri. Sontak aku melotot pada pria tampan itu. Namun dia membuang pandangan, pura-pura tidak melihatku. "Benarkah, Salma? Kamu akan tinggal di mana memangnya?" Bang Adam terlihat bingung dan
Sejak Mak Isah membantuku, waktuku untuk Raihan makin banyak. Setelah aku memasak dan menyiapkan pesanan, warung nasiku sekarang cukup dijaga oleh Mak Isah. Sementara aku bisa beristirahat dan bermain dengan Raihan di rumah. Sesekali aku membantu Mak Isah di warung jika pembeli ramai. "Mak, aku ke supermarket dulu beli diapers Raihan. Mak mau titip apa?" tanyaku ketika pembeli sudah mulai sepi. "Nggak usah, Salma. Makanan dari kamu kemarin masih banyak. Sudah Raihan nggak usah diajak. Kasihan sedang tidur. Rebahkan saja di kursi ini," sahut Mak Isah seraya menunjuk bangku panjang yang baru saja aku beli kemarin. "Nanti Mak repot, nggak? Kalau ada pembeli bagaimana?" "Sudah sepi, Salma. Makanannya juga sudah tinggal sedikit. Ini Mak sambil beres-beres." Aku memandang Raihan yang tertidur di pangkuanku. Bobotnya memang sekarang sudah naik. Memang agak berat jika aku menggendongnya selagi dia tertidur. "Baiklah, Mak. Aku titip Raihan, ya!" ucapku seraya merebahkan anakku pada bang
"Aku sudah membeli rumah ini. Dan akan aku berikan padamu. Sertifikat rumah ini akan di buat atas namamu." "Apaaa?" Sontak para kakak iparku berteriak serentak mendengar ucapan Tuan Yuda. Akupun terlonjak mendengar ucapan pria itu. Sementara hampir semua mata tertuju padaku. Bang Adam yang sepertinya juga mendengar tiba-tiba muncul dari dalam. Pria itu menatapku dengan rasa kecewa yang mendalam. Sungguh aku merasa tak enak hati dengan kakak ipar yang baik hati itu. "Salma, Kamu dan Tuan Yuda ini sudah ...?" Ibu mertua menatapku dan Tuan Yuda secara bergantian, dengan penuh tanda tanya. "Betul, Bu. Kami akan segera menikah!" sahut pria tampan di sebelahku ini dengan keyakinan tingkat tinggi. Matanya menatapku dengan tatapan ... mesra? Aku menarik napas panjang. Setelah menahannya beberapa saat ketika terkejut tadi. Sebaiknya aku tidak menjawab apa-apa dulu. Biarkan para iparku ini menganggap hal ini memang benar. Agar mereka tidak selalu merendahkan dan memfitnahku seenaknya.
Aku kembali berjalan bersisian menuju mobil. Tak lupa sebelumnya kembali mencium tangan ibu mertua. Wanita setengah tua itu menatapku sedih. Namun tak ada satu katapun yang terucap darinya. Aku masih memandang para ipar dan ibu mertua yang mengikutiku keluar. Mereka terus menatapku hingga aku masuk ke dalam mobil mewah ini. Wajah mereka bagaikan seorang anak yang kalah telak setelah bermain game. Mobil melaju kembali ke arah supermarket mini yang tak begitu jauh jika memakai mobil. Di dalam mobil aku sama sekali tidak membahas apapun. "Jadi ke supermarket?" tanya Tuan Yuda setelah kami sudah kembali di dalam mobil. "Ya." "Ambillah ini. Beli semua keperluanmu dan Raihan." Tuan Yuda memberikan sebuah kartu debit beserta nomor pinnya padaku "Tidak perlu, Tuan. Aku hanya membeli diapers untuk Raihan," sahutku seraya mengembalikan kartu itu padanya. Pria itu langsung terdiam. Apa dia marah? Mungkinkah dia tersinggung karena aku tidak menerima kartu debitnya? Aku meliriknya se
POV YUDA Gila! Janda beranak satu itu sudah membuat aku gila. Setiap saat wajahnya terus ada di otakku. Sikap acuhnya membuatku semakin penasaran untuk mendekatinya. Awalnya aku hanya ingin menuruti keinginan Ayah. Karena aku sangat ingin membahagiakan orang yang paling aku sayangi. Sejak dulu Ayah tidak pernah minta apapun dariku. Sekalinya ada yang diminta, beliau memintaku menikahi janda beranak satu, yang kini justru selalu memenuhi isi kepalaku. Menikahi Janda? Aku menghela napas kasar. Susah payah aku menjaga keperjakaanku. Walau berganti-ganti pasangan, aku tetap menjaga kehormatan wanita yang aku kencani, dan kehormatan diriku juga tentunya. Angel, wanita yang sering mendekatiku, hingga tak jarang membuatku tak bisa menahan hasrat kelaki-lakianku. Namun aku bersyukur hubungan kami belum sejauh itu. Karena aku adalah laki-laki yang selalu memegang prinsip. Sejak dulu aku mati-matian menjaga keperjakaanku. Bahkan sampai teman-temanku mengira aku penyuka sejenis. Aku tidak