"Salma ..., Salma ...!" Langkahku terhenti mendengar ada yang memanggilku. Ketika aku menoleh ke belakang, mataku melebar saat melihat Elkan sedang berlari kecil hendak menghampiriku. Ingin rasanya menghindar darinya, namun entah kenapa tubuhku justru menunggunya. Ada rasa kasihan melihatnya berlari mengejarku. "Salma! Boleh bicara sebentar?" wajahnya nampak serius. "Kamu mau prank aku lagi?" ketusku seraya mendelikkan kedua mata. "Ya nggak, lah!. Kalau kemarin itu memang ide suamimu. Aku nggak ikut-ikutan." "Halah! Kamu pasti bohong!" "Memang iya! Hahaha ...!" Karena merasa kembali akan di kerjain, aku membalikkan tubuhku dan melangkah meninggalkannya. Namun tiba-tiba Elkan melompat dan berdiri dihadapanku. "Astaga, mau kamu apa, sih?" sontak aku terkejut dan hampir saja menabraknya. "Salma, ada hal penting yang ingin aku bicarakan!" "Maaf, aku buru-buru ...!" Dengan langkah lebih cepat aku melewatinya. Namun Elkan terus mengikutiku hingga sudah keluar lobby. Perlahan aku
"Salma, maafkan aku. Pengemudi yang ngebut dan ugal-ugalan penyebab Irsan celaka sebenarnya adalah ... Aku." Aku terperanjat mendengar pengakuan pria di hadapanku ini. Kenapa aku baru tahu sekarang? Menurut Bang Safwan dulu, pengemudi mobil sport yang menyebabkan Bang Irsan celaka melarikan diri dan kasus ditutup. "B-bukankah saat itu kamu melarikan diri dan lepas tanggung jawab?" tanyaku dengan suara bergetar "Jika aku lepas tanggung jawab, mana mungkin aku berani datang ke pemakaman dan ke rumah Irsan?" jelasnya membela diri. Sungguh aku bingung. Apa para iparku itu telah membohongiku? "Sebagai rasa tanggung jawabku, Aku memberikan sejumlah uang untuk istri dan calon anak Irsan. Memang, berapapun nominalnya tidak akan ada artinya bagimu yang sudah kehilangan seorang suami." lirihnya. "Sungguh aku sangat menyesal. Waktu itu aku ingin menyampaikan sesuatu padamu sebagai pesan dari Irsan. Namun, keluargamu melarangku menemuimu. Setelah penyerahan uang sebesar satu milyar itu, mer
"T-tuan Elkan ...?" Sontak semua kakak iparku itu memucat melihat Elkan ada di belakangku. Bang Safwan tampak gelagapan. Ia juga mamandangku bingung. Sementara Kak Norma hampir saja berteriak jika saja kakak iparku itu tak segera membekap mulutnya sendiri. Kak Lina pun nampak terkejut. Namun beberapa saat dia tersadar dan kembali bersikap biasa saja. Sepertinya dia tak mengetahui sepernuhnya tentang Elkan. Karena Kak Lina tidak bicara apa-apa ketika melihat Elkan bersamaku di cafe. Kak Norma kemudian menarikku agak menjauh. "Salma, k-kamu kenal Tuan Elkan?" bisiknya. Aku hanya mengangguk. Kakak iparku itu semakin tampak cemas dan ketakutan. "Kenal dimana? Sejak kapan?" bisiknya lagi. " Dia sahabat suamiku, Kak," tegasku. "Dia cerita apa aja sama kamu?" tanyanya lagi penasaran masih dengan berbisik. "Banyak Kak. Tentang Bang Irsan," jawabku tegas seraya menatap tajam padanya. Kali ini Kak Norma yang gelagapan. Ia tak berani membalas tatapanku. Setelah mengalihkan pendanganny
"Mas, ada apa?Kenapa kamu pukul Elkan?" jeritku seraya menghalanginya agar tak lagi memukul Elkan. Beruntung jalanan di sekitar sini sepi. "Aku tahu kamu suka mempermainkan wanita. Tapi bukan berarti istriku kamu jadikan korbanmu juga!" Mas Yuda menarik kerah kemeja Elkan dengan kasar. Kilat amarah terlihat dari matanya. "Mas ... Mas .... sudah, sudah! Ayo kita pergi dari sini!" Dengan susah payah Aku meraih tangan Mas Yuda dan membawanya masuk ke mobil. Elkan hanya diam dan pasrah. Laki-laki itu sama sekali tidak melawan ataupun membela diri. Sempat kulihat satu tangannya menyusut darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sebagian wajahnya lebam dan bengkak. Selama di mobil aku belum berani bicara. Mas Yuda masih diam dan nampak emosi. Sepertinya percuma saja jika aku menjelaskan semuanya sekarang. Barlah suamiku itu tenang dulu. "Maaf Mas. Ini semua salah paham. Aku harap Mas mau mendengarkan penjelasanku nanti di rumah!" "Kenapa harus di rumah? Jelaskan padaku ada apa antara
"Diamlah! Aku akan menghukummu di sini!" "A-apaaa ?" Aku terpekik ketika tiba-tiba Mas Yuda mengangkat tubuhku. Matanya terus menatapku tajam. Entah kemana ia akan membawaku. Apa aku akan ditenggelamkan ke kolam renang itu? Tiba-tiba aku merasa cemas. Mengingat aku tak bisa berenang. Ternyata tidak. Dia justru membawaku ke arah yang berlawanan dengan kolam renang. Mas Yuda masuk ke sebuah ruangan lain dalam apartement ini. Aku tercengang ketika pintu ruangan itu terbuka. Kini kami berada dalam sebuah kamar yang begitu mewah. Sebuah ranjang king size dengan ukiran jati setiap tepinya, tirai putih sedikit transparan, yang terkait pada setiap tiang kayu berukir, yang terpasang kokoh di setiap sudut ranjang, tampak bagaikan peraduan para raja-raja besar. Lagi-lagi aku terpekik ketika Mas Yuda menyibak tirai putih itu, lalu merebahkanku di atas ranjang beralaskan kain putih yang sangat lembut. Harum aromaterapi yang menguar, sangat menenangkan. "Masss ...!" tanpa sadar aku mendesis
"Kita pulang, yuk! Kasian Raihan." Mas Yuda membuyarkan lamunanku. Gegas aku bangkit dari ranjang dan beranjak menuju kamar mandi yang berada di sisi kanan kamar ini. Setelah membersihkan diri kami keluar dari kamar. Aku melihat ada makanan sudah terhidang di meja. Siapa yang menyiapkan semua ini? "Makanlah dulu, kamu pasti lapar setelah bertempur tadi" ucap Mas Yuda seraya menggodaku dengan satu kedipan matanya. "Please jangan menggodaku lagi, Mas," sahutku dengan wajah yang sudah merona. "Mau aku suapi?" Laki-laki yang hari ini semakin tampan di mataku itu, memutar garpunya hingga sesuap spagheti dengan saos tuna siap di arahkan ke mulutku. "Ayo buka mulutnya." Astaga! Dia serius mau suapi Aku. Karena Mas Yuda terus memaksa, akhirnya aku hanya pasrah disuapi hingga spagheti habis tak bersisa. "Kamu kok nggak makan, Mas?' "Lihat kamu makan aku sudah kenyang banget," sahutnya terkekeh. "Gantian aku yang suapi, ya!' Dia menggeleng. Kami terus bercengkrama beberapa saat, kem
POV Yuda [ Jika kamu tak bisa kumiliki, tidak akan kubiarkan siapapun memilikimu selamanya. Kamu harus lenyap dari dunia ini, Yuda! Agar tak ada satupun wanita yang bisa memilikimu] Berkali-kali aku baca pesan dari Angel. Padahal saat ini perempuan gila itu sedang berada di balik jeruji besi. Namun kaki tangannya begitu banyak di luar sana yang menjadi ancaman untukku. Orang--orang Angel semakin kuat dan licik. Anak buah Rein hingga saat ini tak mampu mengimbangi mereka. Begitu dendamnya perempuan itu padaku. Setelah bisnis kotornya aku hancurkan, Angel semakin menggila dan menginginkan aku mati. .Pagi ini aku akan bertemu dengan Elkan. Sahabatku sejak SMU yang sangat tampan bak artis itu,namun hingga saat ini belum menikah. Sejak dulu dia memang sering bertukar pasangan. Bahkan istrikupun nyaris dia dekati. Namun aku percaya pada Salma. Istriku itu bukanlah wanita murahan yang mudah tergoda. Banyak wanita yang menginginkan Elkan. Namun, tak satupun yang dijadikan istri olehnya
Pov Yuda"Apa kamu sudah lapor polisi?' "Percuma. Dari dalam penjarapun perempuan itu masih bisa bebas berbuat apapun untuk menghabisiku." "Lalu apa rencanamu selanjutnya? Apa karena ini tiba-tiba kamu ingin membuat surat wasiat ?" Aku menghela napas panjang. Berusaha memantapkan diri. "Betul. Aku ingin mempersiapkan segala sesuatunya sebelum semua terjadi. Aku ingin orang-orang yang kucintai tetap bahagia setelah kepergianku." Kami terdiam sejenak. Elkan menatapku lekat. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh sahabatku itu. "B-bagaimana dengan Salma? A-apakah aku boleh menjaganya? Bolehkah kelak aku menjadi penggantimu?" A-paaa? Sontak wajahku kembali memerah. Emosiku kembali tersulut oleh sahabatku ini. Sontak aku berdiri dan melotot padanya "Hey, hey ... tenang dulu, Yud! Maksudku bukan sekarang. Mana mungkin Aku berani kalau masih ada kamu!" cegahnya seraya menepuk-nepuk ringan lengan atasku. "Dasar brengs*k kamu, Elkan!" umpatku. Setelah lebih tenang, Aku kembali duduk