"Ka ... kamu siapa ...?" Aku menatap Mas Yuda tak percaya. Jantungku seakan berhenti berdetak. Dadaku tiba-tiba terasa sangat sesak. Benarkah apa yang baru saja aku dengar? Apa benar Mas Yuda tidak mengenaliku? Aku menatap lekat manik matanya. Mata yang selalu aku rindukan. Mata yang selalu menatapku penuh cinta. Mata yang pernah meluluhkan hatiku hingga diri ini jatuh dalam pelukannya. Namun tatapan itu kini sungguh berbeda. Tidak ada lagi cinta yang tersirat di sana. Mas Yuda tak lagi membalas tatapanku. Dia justru membuang pandangannya. Perih. Kenapa sesakit ini rasanya. Seorang yang begitu kucintai. Siang malam aku menunggu kapankah dia akan terjaga. Aku berharap dapat memeluk dan menciumnya kini. Namun apa yang terjadi? Suamiku tak mengenaliku. Mataku berkabut. Aku kembali menyusut air mataku yang semakin deras. Aku semakin terisak. Rasa sesak kembali memenuhi dadaku. Cobaan apa lagi ini. "Mas ... Aku Salma ... istrimu." Parau suaraku menjelaskan padanya. Namun lelaki di
"Selamat pagi, Bu Salma. Kita periksa dulu, ya!" Pagi ini dokter Mariska kembali memeriksaku. "Hari ini Bu Salma sudah boleh pulang. Kondisinya sudah lebih baik. Namun tetap harus banyak istirahat." "Syukurlah. Terimakasih Dok," sahutku lega. "Dok, Apa saya bisa menemui suami saya lagi?" harapku pada dokter mariska setelah dua hari ini aku menahan diri untuk tidak menemui Mas Yuda. Dokter cantik itu terdiam sejenak. "Baiklah. Namun jangan terlalu memaksakan pasien untuk mengingat semuanya." "Siap, Dok," jawabku antusias. "Satu hal lagi yang perlu Ibu Salma ketahui. Bapak Yuda mengalami kelumpuhan sementara pada kakinya." "Aa-paa? Mas Yuda lumpuh?" jeritku tertahan. Dokter Mariska mengangguk. Tapi Ibu Salma tidak perlu khawatir. Menurut dokter Neurologi, lumpuhnya hanya sementara dan bisa disembuhkan." "Iya, Dok. Saya akan merawat suami saya sebaik-baiknya." Setelah dokter Mariska keluar dari kamarku, Kak Lina membantuku berkemas. Aku telah menghubungi supir untuk menjem
Setelah semua sudah beres, kami bersiap-siap untuk berangkat. Aku hanya mengajak Bu Ratri untuk pindah ke kampung Bawal. Sedangkan Asisten rumah tangga lainnya masih bekerja di rumah Mas Yuda. Beruntung Mak Isah dan Kak Lina mau kembali bekerja membantuku. "Salma, bawalah satu mobil Yuda dan Pak Supir bersamamu." Sungguh aku tak percaya, ternyata Ayah masih memperhatikan aku. "Terima kasih, Ayah!" Tampak mata Ayah berkaca-kaca. Aku dapat merasakan, jauh di relung hati Ayah, beliau tidak percaya kalau aku selingkuh. Bulir bening mulai menetes dari sudut matanya saat kami berpamitan. Ayah mengusap-usap kepalaku. Lelaki yang sudah aku anggap seperti orang tuaku sendiri itu juga menciumi wajah Raihan. Aku pun tak kuasa menahan air mata yang berderai. Entah kenapa perpisahan ini terasa sangat berat. "Kamu baik-baik, Ya Salma!" Suara ayah bergetar. "Ayah juga yang sehat. Jangan lupa minum obat rutinnya!" sahutku di antara isak tangis. Ayah hanya mengangguk. Tak lagi keluar satu k
Kak Lina datang bersama Bang Safwan dan Kak Norma, serta anak-anak mereka. Sementara Elkan dan dokter Mariska belum datang. Mereka memang sudah bilang akan datang lebih malam, sepulang dokter Mariska praktek. "Bang, kalau Bang Safwan bersedia, aku minta Abang dan kak Norma bisa kerja sama aku mengurus rumah kost. Untuk pemasaran kita kerjakan bersama. Kebetulan yang booking sudah lebih dari separuh. "Salma, apa kamu masih percaya sama kami?" tanya Bang Safwan saat kami sedang berkumpul. Aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. "Entahlah. Saat ini, hanya kalian yang Aku punya. Jika kalian memang masih jahat padaku, entahlah." Aku menaikkan kedua bahuku. Kak Norma dan Bang Safwan terdiam. "Kami ... minta maaf atas perbutan kami selama ini padamu, Salma. Kami telah menelantarkan kalian yang seharusnya menjadi tanggung jawab kami. Tidak sepantasnya kamu masih baik sama kami saat ini ...," ungkap Bang Safwan tertunduk. "Betul! Kalian memang tidak pantas menerima kebaika
Sungguh aku merasa tidak tenang saat perjalanan kembali ke rumah sakit. Beruntung lalu lintas malam sangat lancar. Mobil terus melaju membelah kota. Saat ini yang ada di kepalaku hanya kekhawatiran pada Ayah. Laki-laki yang sudah aku anggap seperti orang tua kandungku sendiri. "Jangan banyak pikiran, Salma. Ingat kandunganmu!" Elkan terus mengingatkanku. Aku terus menghela napas panjang. Berusaha untuk menenangkan diri. Tak henti-henti berdoa dalam hati untuk kesembuhan Ayah. Sementara Dokter Mariska terus memandu Mariam lewat ponselnya, selama perjalanan membawa ayah ke rumah sakit. Karena rumah sakit lebih dekat dari rumah Mas Yuda, maka Mariam lebih dulu tiba. Atas petunjuk dari dokter Mariska, Mariam membawa Ayah langsung ke UGD. Aku langsung bergegas keluar dari mobil ketika kami tiba tepat di depan UGD. Melangkah cepat memasuki pintu kaca Unit Gawat Darurat. Dokter Mariska langsung masuk ke ruang pasien. Sementara aku menghampiri Mariam yang sedang duduk di ruang tunggu. "
Perlahan aku turun dari brankar, kemudian perlahan melangkah keluar dari UGD. Suasana rumah sakit malam ini sangat sepi. Langkahku terseret melalui koridor rumah sakit. Sesekali berhenti dan berpegangan pada salah satu tiang pondasi koridor ini, karena merasakan perputaran pada kepala dan penglihatanku.Namun, semangatku untuk bertemu suamiku membuatku tak ingin berhenti dan terus melangkah. Udara malam terasa dingin hingga menusuk ke tulang. Beberapa keluarga pasien yang berpapasan menatap heran padaku. Aku tiba di depan pintu lift dan bergegas masuk saat pintunya terbuka. Berpegangan erat pada dinding lift saat kembali merasakan di sekitarku berputar. Aku merasa lega saat pintu lift terbuka dan melangkah cepat untuk keluar. Ruang ICU sudah berada di depanku. Perlahan aku masuk dan menemui seorang suster yang sedang berjaga malam. "Suster, Saya ingin menemui suami Saya, Yudatara," ucapku lemah. "Maaf, Bu. Ini sudah malam. Sebaiknya besok pagi saja!" sahut suster yang terheran me
Seminggu sejak kepergian Ayah. Beberapa kali aku mondar mandir ke rumah sakit, ingin memastikan keadaaan Mas Yuda yang sudah mulai membaik. Hanya saja ingatannya belum kembali. Menurut dokter, kami harus bersabar dan tidak boleh memaksa Mas Yuda untuk mengingat semuanya dengan cepat. Sejak tidak ada Ayah, Kak Rio dan Mira tidak pernah datang mengurus Mas Yuda. Hal ini justru membuatku lebih leluasa untuk mengikuti perkembangan kondisi suamiku itu. Aku pun bisa merawat Mas Yuda dengan tenang, tanpa ada larangan lagi dari keluarganya. Pasti Kak Rio dan Mira sangat sibuk. Sejak dulu mereka memang tidak pernah peduli pada Mas Yuda dan Ayah. Sejak lima hari yang lalu, Mas Yuda sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa di ruang VIP. Semua anggota tubuhnya sudah berfungsi kembali. Semua alat bantu yang menempel pada tubuhnya pun sudah dilepas. Hanya ada selang infus yang menempel pada tangan kirinya saat ini. "Mas, makan, yuk! Aku suapi, ya." Dengan segenap cinta yang memenuhi seisi jiwa, l
"Selamat pagi Bu salma." Dokter Mariska muncul dari balik pintu nampak cantik dengan jas putih dan stetoskop menggantung di lehernya "Selamat pagi, Dok" Aku menyambut senyum dokter Mariska yang langsung mendekat pada Mas Yuda. "Pak Yuda, kami periksa kondisinya dulu, Ya!" Mas Yuda mengangguk. Dokter Mariska memeriksa Mas Yuda dengan teliti. Aku berdiri di sudut ranjang rumah sakit ini seraya memperhatikan dokter Mariska dengan seksama. "Bu Salma, Jika kondisi Pak Yuda stabil seperti ini terus, dalam beberapa hari kedepan, Pak Yuda sudah bisa pulang." "Syukurlah. Alhamdulilah." Tak henti-hentinya aku bersyukur dalam hati. Inilah saat yang aku tunggu-tunggu. Membawanya ke kampung bawal. Tempat di mana pertama kami bertemu Semoga dia dapat mengingat kembali kisah cinta kita yang unik selama di sana. Setelah Mas Yuda makan siang, seperti biasa ,aku hendak pulang ke rumah melihat Raiihan. Saat ni aku bersiap-siap untuk berangkat dan pamit pada suamiku itu. "Mas, aku tinggal pula