Pov MiraAku melajukan mobil membelah jalan raya yang masih padat. Sengaja aku tak memberitahu Rio kemana tujuanku. Dia pun sepertinya tak peduli. Aku harus menyelesaikan masalahku sendiri. Punya suami sama sekaki tak bisa diandalkan. Setelah perjalanan hampir satu jam, akhirnya aku tiba di depan Cafe Blackwhite. Setelah memarkir mobil di halaman depannya yang cukup luas, aku melangkah masuk ke dalam Cafe yang cukup ramai namun tenang. Astaga kenapa aku lupa menanyakan nama orang yang akan aku temui ini? Seperti orang bodoh aku celingukan ke sana ke mari. Mencoba menghubungi nomor tak dikenal tadi, namun masih tidak aktif. Dengan rasa hampir putus asa aku memutuskan untuk duduk di salah satu meja di sudut ruangan. Kemudian mencoba memesan segelas minuman. Sempat terpikir olehku ini hanyalah lelucon. Mungkin saja seseorang ingin mengerjaiku Tiba-tiba seorang wanita bertubuh tinggi dan langsing bagaikan seorang model datang mendekat. Wanita itu memakai kacamata sedikit gelap.
Kembali Pov Salma [ Tinggalkan Yuda atau tidak akan ada satupun yang pernah bisa memilikinya!] Mataku membola saat membaca sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal. Jantungku berdetak cepat. Napasku memburu tak beraturan. Kecemasan dan ketakutan mulai merajai hati ini. Siapa pengirim pesan misterius ini? Apakah ini Angel? Walau saat ini berada di penjara, wanita itu tetap menjadi ancaman bagi keluargaku. Dari kata-katanya jelas sekali dia hendak mengancamku dan Mas Yuda. Jangan sampai terjadi apa-apa lagi terhadap Mas Yuda. Aku harus bisa menjaganya. Aku harus segera menghubungi Rein. "Ada apa, Salma? Kenapa wajahmu tampak panik?" Mas Yuda yang tadi terlelap disampingku ternyata sudah bangun. "Pesan dari siapa malam-malam begini, hmm?" Perlahan Mas Yuda mencoba untuk bangkit. Sejak rutin melakukan terapi di rumah sakit, Mas Yuda sudah mulai ada kemajuan. Walau masih belum bisa berjalan, tapi suamiku ini sudah bisa melakukan berbagai aktifitas. Syaraf-syaraf yang sebelumnya t
"Beruntung kamu Salma. Andai dulu aku tak mengkhianati Yuda, mungkin akulah yang kini menjadi istrinya." Aku menatap tajam pada wanita yang senang berpakaian ketat itu. "Eh, maaf! Aku nggak bermaksud apa-apa."pungkasnya setelah melihat tatapanku. "Bisa langsung saja? Apa yang mau kamu bicarakan?" tanyaku tak sabar. Sejujurnya aku khawatir Mira berbuat yang tidak-tidak di rumahku. Diam-diam aku mengirim pesan pada Rein lewat ponsel yang berada dalam genggamanku. "Baik, baiklah." Mira menghela napas panjang. Wajahnya mulai tampak serius. Ada raut kecemasan tersirat dari wajahnya. Sebelum bicara, Mira menoleh ke kanan dan ke kiri. Sepertimya dia takut jika ada yang mendengar atau melihat dirinya. "Salma, Aku punya imformasi penting. Informasi ini menyangkut hidup matinya Yuda. Tapi informasi ini akan aku berikan padamu jika kamu mau membantuku melunasi semua hutang-hutangku." Wajah Mira sedikti memelas. Aku jadi ragu kenapa begitu cepat seseorang bisa berubah. "Bagaimana, Salm
"Allahu Akbar!" jeritku seraya menutup wajah dengan kedua tangan, ketika mendengar suara tembakan. "Salmaaa!" Teriakan Mas Yuda pun terdengar jelas olehku. Sesaat aku merasakan sebuah pelukan di tubuhku. "Tenanglah, Sayang. Kita baik-baik saja." Suara Mas Yuda terdengar hangat di telingaku. Ya Tuhan, saat ini Mas Yuda memelukku dengan berdiri tegak di atas kedua kakinya. Tak kusangka kami berdua baik-baik saja. Lalu siapa yang tertembak? Perlahan aku mengurai pelukan. Memandang haru kedua kaki Mas Yuda yang tiba-tiba sudah bisa berdiri tegak. "Maas, kamu bisa berdiri ..," lirihku bergetar. "Apaa? Ya Allah. Kenapa aku baru sadar," balas Mas Yuda sambil menatap ke bawah pada dua kakinya "Maaaas, lihat! Mira, Mas!" Aku kembali terpekik saat melihat tubuh Mira ambruk di ambang pintu. Kakinya berlumuran darah. Suara rintihan pilu terdengar dari mulut iparku itu. "Salmaa ..., to-tolong Aku ...!" "Kenapa Mira bisa tertembak? Siapa yang menembaknya, Mas?" tanyaku panik hendak mengham
"Pagi, Mas!" "Pagi, Sayang!" Mas Yuda mengecup keningku mesra. Dengan penuh kesabaran suamiku itu menggandengku menuiu ruang makan. Aku mulai kesulitan berjalan karena usia kandunganku yang sudah mulai masuk sembilan bulan. Mas Yuda sudah mulai aktif setiap hari di perusahaan. Rein dengan setia mendampingi Mas Yuda sampai suamiku itu kembali memahami semua seluk beluk perusahaan. Memang tak mudah bagi Mas Yuda untuk kembali mengingat dan memahami semua tentang perusahaannya. "Bagaimana hasil sidang terakhir untuk kasus Angel, Mas?" tanyaku sambil mengoleskan selai kacang pada roti bakar untuk menu sarapan Mas Yuda." "Berdasarkan bukti-bukti yang ada, Angel dikenakan hukuman penjara seumur hidup." "Innalilahi ..." Sungguh aku terkejut. Karena obsesinya itu, Angel menerima akibat dari semua perbuatannya. "Bagaimana dengan Mira, Mas?" "Karena Mira mau memberikan kesaksian dan membantu penyelidikan. Hukumannya tidak seberat Angel." Syukurlah. Beruntung Mira mau menceritakan semuan
Yumaina, nama yang disematkan untuk gadis kecilku. Usianya kini sudah hampir tiga tahun. Wajah oval dengan mata bulat serta rambut panjang yang lurus dan tebal, membuat setiap orang gemas melihatnya. Orang bilang wajahnya sangat mirip dengan Mas Yuda. Maina, panggilan sayang kami untuknya. Gadis yang begitu lincah dan aktif. "Bundaaa ...., Raihan pergi sekolah dulu." Aku tersenyum bangga melihat Raihan dengan seragam sekolahnya. Hari ini adalah pertama kali dia masuk sekolah dasar. "Kakak Laihan ..., Maina mau ikut!" Maina yang baru saja terjaga dari tidurnya langsung bangkit dan menghampiri Raihan. Maina langsung memeluk Raihan yang tak henti-hentinya memamerkan seragam sekolahnya yang baru. Anakku itu sangat bangga dengan baju yang dia kenakan sekarang. Mereka sangat dekat dan jarang sekali bertengkar. Mas Yuda selalu menanamkan rasa saling menyayangi di dalam keluarga ini. "Aku tidak mau anak-anakku kelak hidup tidak akur dengan saudaranya sendiri. Seperti aku dan Rio. Sej
"Kamu disini juga Sabrina?" tanya Mas Yuda seraya menatap heran wanita cantik itu. "Iya, Yud. Anakku baru masuk sekolah di sini." Sepertinya mereka bukan rekan kerja. cara bicara mereka tidak formil sama sekali. Aku merasa cara wanita itu menatap Yuda sangat berbeda. Tatapannya begitu dalam. "Kamu antar anak juga?' Wanita itu mulai sesekali melirik padaku. "Iya, anakku juga baru aja masuk sekolah di sini. Oh ya, Sabrina kenalkan ini Salma istriku. Salma, ini Sabrina, anak salah satu teman Ayah." "Salma." Aku menyodorkan tanganku pada wanita cantik itu seraya tersenyum. "Hai Salma." Wanita bernama Sabrina itu menerima tanganku, lalu kami bersalaman. Namun matanya terus menatap Mas Yuda dengan tatapan ... entahlah. " Kalau begitu Aku duluan. Sampai ketemu lagi, Yuda!" Sampai ketemu? Apakah mereka sering ketemu? Ya Tuhan, apa yang aku pikirkan. "Ayo, Salma, aku antar pulang! "I-iyya, Mas." Aku mengikuti langkah Mas Yuda menuju mobil. Entah kenapa sepanjang jalan pikiranku ta
Hatiku gelisah sejak tadi. Sudah pukul sepuluh malam Mas Yuda belum juga pulang. Sejak beberapa bulan ini sudah empat kali Mas Yuda pulang larut malam. Bahkan pernah sampai hampir pagi. Raihan dan Yumaina sudah tidur. Aku sendiri duduk di ruang tamu sambil membuka ponsel. Beberapa kali mencoba menghubungi Mas Yuda. Namun ponselnya tidak aktif. Pesan-pesanku tak satupun yang dia balas. Ya Tuhan, lindungilah suamiku. Aku mencoba mengirim pesan pada Elkan. Mungkin dia tau kemana perginya Mas Yuda. Sedangkan Rein saat ini sedang berada di kalimantan sejak minggu lalu. [ Aku memang ke kantor Yuda siang tadi. Namun dia buru-buru hendak pergi. Wajahnya agak pucat. Aku pikir dia pulang karena sedang kurang sehat] Aku semakin khawatir setelah membaca balasan pesan dari Elkan. Kalau Mas Yuda memang tadi sakit, kenapa dia tidak pulang saja? Tidak ada yang bisa aku lakukan. Syifa pun tidak tau kemana Mas Yuda pergi. Mas Yuda hari ini tidak memakai supir. jadi dia memang pergi sendiri. "N