"Pagi, Mas!" "Pagi, Sayang!" Mas Yuda mengecup keningku mesra. Dengan penuh kesabaran suamiku itu menggandengku menuiu ruang makan. Aku mulai kesulitan berjalan karena usia kandunganku yang sudah mulai masuk sembilan bulan. Mas Yuda sudah mulai aktif setiap hari di perusahaan. Rein dengan setia mendampingi Mas Yuda sampai suamiku itu kembali memahami semua seluk beluk perusahaan. Memang tak mudah bagi Mas Yuda untuk kembali mengingat dan memahami semua tentang perusahaannya. "Bagaimana hasil sidang terakhir untuk kasus Angel, Mas?" tanyaku sambil mengoleskan selai kacang pada roti bakar untuk menu sarapan Mas Yuda." "Berdasarkan bukti-bukti yang ada, Angel dikenakan hukuman penjara seumur hidup." "Innalilahi ..." Sungguh aku terkejut. Karena obsesinya itu, Angel menerima akibat dari semua perbuatannya. "Bagaimana dengan Mira, Mas?" "Karena Mira mau memberikan kesaksian dan membantu penyelidikan. Hukumannya tidak seberat Angel." Syukurlah. Beruntung Mira mau menceritakan semuan
Yumaina, nama yang disematkan untuk gadis kecilku. Usianya kini sudah hampir tiga tahun. Wajah oval dengan mata bulat serta rambut panjang yang lurus dan tebal, membuat setiap orang gemas melihatnya. Orang bilang wajahnya sangat mirip dengan Mas Yuda. Maina, panggilan sayang kami untuknya. Gadis yang begitu lincah dan aktif. "Bundaaa ...., Raihan pergi sekolah dulu." Aku tersenyum bangga melihat Raihan dengan seragam sekolahnya. Hari ini adalah pertama kali dia masuk sekolah dasar. "Kakak Laihan ..., Maina mau ikut!" Maina yang baru saja terjaga dari tidurnya langsung bangkit dan menghampiri Raihan. Maina langsung memeluk Raihan yang tak henti-hentinya memamerkan seragam sekolahnya yang baru. Anakku itu sangat bangga dengan baju yang dia kenakan sekarang. Mereka sangat dekat dan jarang sekali bertengkar. Mas Yuda selalu menanamkan rasa saling menyayangi di dalam keluarga ini. "Aku tidak mau anak-anakku kelak hidup tidak akur dengan saudaranya sendiri. Seperti aku dan Rio. Sej
"Kamu disini juga Sabrina?" tanya Mas Yuda seraya menatap heran wanita cantik itu. "Iya, Yud. Anakku baru masuk sekolah di sini." Sepertinya mereka bukan rekan kerja. cara bicara mereka tidak formil sama sekali. Aku merasa cara wanita itu menatap Yuda sangat berbeda. Tatapannya begitu dalam. "Kamu antar anak juga?' Wanita itu mulai sesekali melirik padaku. "Iya, anakku juga baru aja masuk sekolah di sini. Oh ya, Sabrina kenalkan ini Salma istriku. Salma, ini Sabrina, anak salah satu teman Ayah." "Salma." Aku menyodorkan tanganku pada wanita cantik itu seraya tersenyum. "Hai Salma." Wanita bernama Sabrina itu menerima tanganku, lalu kami bersalaman. Namun matanya terus menatap Mas Yuda dengan tatapan ... entahlah. " Kalau begitu Aku duluan. Sampai ketemu lagi, Yuda!" Sampai ketemu? Apakah mereka sering ketemu? Ya Tuhan, apa yang aku pikirkan. "Ayo, Salma, aku antar pulang! "I-iyya, Mas." Aku mengikuti langkah Mas Yuda menuju mobil. Entah kenapa sepanjang jalan pikiranku ta
Hatiku gelisah sejak tadi. Sudah pukul sepuluh malam Mas Yuda belum juga pulang. Sejak beberapa bulan ini sudah empat kali Mas Yuda pulang larut malam. Bahkan pernah sampai hampir pagi. Raihan dan Yumaina sudah tidur. Aku sendiri duduk di ruang tamu sambil membuka ponsel. Beberapa kali mencoba menghubungi Mas Yuda. Namun ponselnya tidak aktif. Pesan-pesanku tak satupun yang dia balas. Ya Tuhan, lindungilah suamiku. Aku mencoba mengirim pesan pada Elkan. Mungkin dia tau kemana perginya Mas Yuda. Sedangkan Rein saat ini sedang berada di kalimantan sejak minggu lalu. [ Aku memang ke kantor Yuda siang tadi. Namun dia buru-buru hendak pergi. Wajahnya agak pucat. Aku pikir dia pulang karena sedang kurang sehat] Aku semakin khawatir setelah membaca balasan pesan dari Elkan. Kalau Mas Yuda memang tadi sakit, kenapa dia tidak pulang saja? Tidak ada yang bisa aku lakukan. Syifa pun tidak tau kemana Mas Yuda pergi. Mas Yuda hari ini tidak memakai supir. jadi dia memang pergi sendiri. "N
"Raihan, hari inI Ayah minta maaf tidak bisa antar Raihan. Nggak apa-apa, kan?" Mas Yuda mengusap kepala Raihan penuh kasih sayang. Saat ini kami bertiga sedang sarapan. Sedangkan Yumaina belum bangun dari tidurnya. "Nggak apa-apa,, Ayah. Biar Bunda aja yang antar Raihan." Mas Yuda terkekeh mendengar sahutan Raihan seraya mengangkat kedua jempolnya di depan Raihan. Anak itu nampak senang sekali mendapat pujian dari Mas Yuda. "Ssstttt, Sayang. Aku minta maaf soal semalam ya. Aku lelah sekali." Mas Yuda berbisik tepat di dekat telingaku. Aku yang sedang mengunyah roti bakar hanya membalas dengan senyuman. Sejujurnya saputangan semalam masih menjadi sebuah tanda tanya besar di kepalaku. Apa aku tanyakan saja sekarang? Ah, Mas Yuda bisa saja mengelak. Biarlah untuk sementara aku selidiki saja dulu. "Kok diam aja? Masih marah, humm ...?" Aku tak bisa mengelak saat Mas Yuda meraih bahuku dan membawa kepalaku ke dada bidangnya. Beruntung Raihan sudah lebih dulu ke teras bersama Ma
Cafe pelangi berada tak jauh dari kantor Mas Yuda. Pagi ini terlihat masih sepi pengunjung. Hanya ada beberapa meja yang terisi dengan sepotong roti bakar isi dan segelas kopi diatasnya. Menu sarapan terfavorite di cafe ini. Beberapa kali Mas Yuda pernah mengajakku ke sini. Aku melangkah masuk melewati pintu kaca. Mataku menyisir ruangan mencari keberadaan Elkan. Namun sepertinya dia belum datang. "Ehm ..., sedang menunggu seseorang?" Aku terlonjak dan menoleh ke belakang. Ternyata Elkan sudah berada di belakangku. "Svģvgungguh aku tersanjung seorang wanita cantik mengajakku bertemu di pagi hari ini." Elkan terkekeh menggodaku. "Apaan, sih!" Aku memutar malas bola mataku. "Yuk, duduk di sana aja!" ajakku seraya menunjuk sebuah meja yang berada di sudut ruangan. Kami duduk saling berhadapan. Seorang pelayan datang hendak menuliskan pesanan kami. "Aku teh hangat dan kentang goreng aja," ujarku. "Aku kopi pahit dan roti bakar selai kacang," tambah Elkan. Pelayan itu pergi setel
Aku turun dari mobil dan melangkah masuk melalui gerbang sekolah Raihan. Masih lima belas menit lagi waktu Raihan keluar dari kelas. Sebaiknya aku menunggu di bangku taman saja. Sudah hampir satu bulan sejak di cafe pelangi waktu itu, Aku dan Mas Yuda tidak lagi membicarakan masalah itu. Namun aku yakin, wanita yang aku lihat masuk ke cafe itu adalah Sabrina. Sayangnya Mas Yuda seperti terburu-buru membawaku ke kantor waktu itu. Sejak hari itu pula tidak ada hal yang mencurigakan dari suamiku itu. Semua nampak seperti biasa saja. Bahkan aku hampir tak percaya jika Mas Yuda sedang dekat dengam wanita lain. "Selamat ,siang..Kamu Salma, kan?" Sontak aku menoleh pada suara yang menyapaku. Astaga! Itu Sabrina. Wanita yang baru saja melintas dibenakku, kini berdiri di hadapanku. "Siang. Ya, Aku Salma. Apa kabar, Sabrina?" .Wanita cantik dengan rambut panjang, lurus dan hitam lebat itu tersenyum. "Baik." "Raihan cerita, kamu dokter, ya? Hebat bangeti!" ujarku mencoba untuk memulai
"Pulang malam lagi, Mas?" tanyaku seraya mencium tangan Mas Yuda ketika suamiku itu baru saja keluar dari mobilnya. Belakangan ini Mas Yuda kembali beberapa kali pulang larut malam. Dalam bulan ini saja sudah tiga kali Mas Yuda pulang di atas jam 10, dan setiap aku tanya Syifa, sekretarisnya itu bilang Mas Yuda sudah pulang sejak siang. "Maaf ... maaf, ya!" ucapnya dengan mendaratkan sebuah kecupan singkat di keningku. Hanya itu jawaban yang aku dapat setiap kali bertanya. Aku mengikutinya melangkah masuk ke kamar. Biasanya Mas Yuda akan langsung tidur di ranjang. "Mana anak-anak?" "Sudah tidur, Mas. Ini sudah jam sebelas malam." Benar dugaanku. Mas Yuda langsung merebahkan diri di tempat tidur kami. "Mulai besok Mas Yuda harus bawa supir! Aku nggak mau Mas kenapa-kenapa di jalan.," tegasku. Sementara kedua tanganku mulai membuka kemejanya dan mengganti pakaiannya. Namun kali ini aku mencium.bau asing pada pakaiannya. Bukan, ini bukan bau parfum. Tapi ... seperti bau obat-oba