"Ayo segera ke bandara! Jangan sampai terlambat!" Sabrina masuk dan langsung menghampiri Mas Yuda. Dadaku kembali sesak melihat penampilan Sabrina yang begitu cantik. Wanita itu menggunakan stelan celana panjang dengan jas putihnya. "Ayo, Yuda. kita naik ambulan!" Tiba-tiba Sabrina meraih tubuh Yuda. "B-biar aku saja. Ayo, Yud!" Elkan dengan cepat mengambil alih tubuh Yuda dan membantunya duduk ke kursi roda. "Sabrina, biarkan Mas Yuda di mobilku!" pintaku. "Tidak bisa. Ambulan dilengkapi alat-alat medis lengkap. Yuda lebih aman di sana.," sahutnya tanpa menoleh padaku. Sementara kedua tangannya sibuk memeriksa kondisi Mas Yuda saat ini. Juga memerika semua obat-obatan serta perlengkapan medis untuk selama perjalanan nanti "Bagaimana jika aku ikut bersama ambulan? A-aku ingin berada di sampingnya." Aku terus mencoba bernegosiasi dengan Sabrina. Sabrina diam. Sepertinya dia ragu. "Sabrina. Aku mohon izinkan Salma menemaniku. Please ...!" Akhirnya Mas Yuda bersuara Sabrina m
"Mulai hari ini aku akan tinggal di rumahmu!" "Apaaa??" Sontak aku menoleh dengan mata membelalak ke arahnya. "Yuda memintaku menjagamu 24 jam," sahutnya sambil melangkah di sampingku menuju area parkir. "Haah? 24 jam? Jangan becanda, El. Nggak mungkin Mas Yuda seperti itu," pungkasku dengan yakin. Mengingat betapa cemburunya Mas Yuda selama ini jika aku sedang berdekatan dengan Elkan. Namun Elkan sepertinya serius. Dengan rasa penasaran Aku mencoba menghubungi Mas Yuda dengan ponselku. Namun ternyata ponsel Mas Yuda tidak aktif. "Mungkin mereka sedang bersiap-siap naik pesawat," ujar Elkan. Tak mau menyerah, aku pun mencoba menghubungi Sabrina. Namun sama. Ponselnya pun tak aktif. "Kamu nggak percaya padaku ...?" tanya Elkan sambil melangkah tenang, denga kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. "El, jangan ngaco, deh. Mana bisa kita satu atap. Kita bukan muhrim," cecarku. Elkan terkekeh "Yang bilang kita satu atap siapa, cantik" "Maksud kamu?" Aku jadi semakin bigung
Hingga sudah hampir sepuluh menit, Elkan belum juga keluar dari ruang kerjanya yang tak jauh dari tempat aku duduk. Aku berusaha sabar menunggu walaupun dilanda rasa penasaran yang sangat menganggu. Mau menyusul, rasanya tidak pantas. Lagi pula hujan masih sangat deras. Sesekali aku membuka ponselku. Namun masih saja tidak ada balasan pesan dari Mas Yuda ataupun Sabrina. Ini sudah lebih dari tiga jam. Seharusnya mereka sudah tiba di bandara Changi sejak tadi. Tapi kenapa ponsel Mas Yuda masih tidak aktif? Aku semakin gelisah sendirian. Apa yang harus aku lakukan? Aku putuskan untuk menyusul Elkan ke ruang kerjanya. Pikiranku tidak tenang memikirkan Mas Yuda. Saat ini hanya dia yang bisa aku ajak bicara. Perlahan aku mendekat pada ruangan yang pintunya setengah terbuka itu. Nampak Elkan sedang membolak-balik beberapa berkas. Nampaknya berkas-berkas itu sangat penting. "Masuklah!" Aku terlonjak, ternyata Elkan tau aku sudah ada di balik pintu ini. "M-maaf. Kamu lama banget," ucap
Pov Yuda "Bersiaplah, Yud. Sebentar lagi pesawat akan mendarat di bandara Changi." Sabrina duduk di sebelahku, dengan hati-hati memeriksa sabuk pengamanku. Aku mengangguk dengan pandangan masih menghadap jendela. Rasa sedih yang menyesakkan ini terasa begitu berat. Semoga saja keputusan yang aku ambil ini benar. Memang menyakitkan sekali rasanya. Namun ini semua demi kebahagian Salma dan anak-anak. Pergi dari kehidupan mereka adalah keputusan satu-satunya. Tak ada pilihan lain. Aku tak mau Salma menghabiskan hidupnya hanya dengan mengurusku. Resiko pengobatan ini cukup besar. Kemungkinannya aku akan lumpuh total. Salma masih muda dan cantik. Dia berhak bahagia dengan pria yang mencintainya dengan tulus dan bisa menjaganya setiap waktu. Pesawat sudah mendarat. Beberapa petugas membantuku untuk turun. Termasuk salah satu perawat pria yang ikut dengan Sabrina dari Jakarta tadi. Sabrina mendorong kursi rodaku menuju pintu kedatangan. "Sabrina, mana ponselku?" "Ada." "Sini. Aku
"Gila kamu, El!" Aku menghempas dengan kasar surat perjanjian itu. Di sana tertulis Elkan menyetujui permintaan Yuda untuk menikahiku. "Dengar dulu, Salma!" "Halaah! Sejak awal aku udah curiga, kamu punya niat nggak baik sama Aku dan Yuda." Aku kembali menjatuhkan tubuhku pada kursi seraya memandang keluar jendela. Hujan masih sangat deras. Suara petir masih terdengar menggelegar dan saling bersahutan Untunglah anak-anak di rumah aman. Setiap jam Bu Ratri memberi kabar tentang mereka. Kabar terakhir mereka sedang tidur dikamarnya. "Salmaaa, Aku tidak pernah punya pikiran seburuk itu. Jujur saja, sebenarnya aku keberatan menandatangani ini." Elkan mendekat. Wajahnya memucat, jelas terlihat ada rasa bersalah. "Lalu kenapa ada tanda tangan kamu di situ, hah?" Nada bicaraku semakin tinggi. "Kamu tau Yuda seperti apa. Ini murni keinginan dia," sanggah Elkan. Dia terlihat panik. Aku mencoba kembali menghubungi Mas Yuda dan Sabrina. Namun setelah berkali-kali aku hubungi, ponsel m
"Kenapa berhenti di sini? Ini kan masih di depan kost. Rumahku masih terus masuk ke sana," ujarku seraya menyipitkan mata, memandang penuh curiga pada pria tampan di hadapanku yang sedang senyum-senyum nggak jelas. "Jalan sedikit kenapa, sih? Hitung-hitung olah raga sore. Cuacanya lagi asik, loh. Dingin kayak di puncak." sahut Elkan terkekeh, lalu keluar dari mobil untuk menurunkan kopernya. "Hmmm ... sudah aku duga. Ternyata penghuni baru itu kamu." Aku mengikutinya keluar dan berdiri bersandar pada mobil yang sudah mulai kering dari air hujan tadi. Tanpa menghiraukan aku, Elkan membawa kopernya masuk ke dalam rumah kost. Salah satu karyawanku menyambutnya dengan ramah dan mengambil alih koper yang ada ditangannya "Permisi, saya mau ketemu ibu kost rumah ini bisa?" tanya Elkan dengan wajah serius. Sementara karyawanku itu terlihat bingung karena dia melihat Elkan tadi datang bersama ibu kostnya. Elkan sontak terbahak-bahak melihat kegugupan karyawanku itu "Hahaha ... maaf bec
Bagai terhipnotis aku pun menatap sosok yang hanya mengenakan celana pendek serta kaos tanpa lengan itu. Mata kami bagai magnit yang bertemu dari sisi yang berbeda, semakin melekat dan tak ingin berpaling. Tubuh pria itu sangat mirip dengan Mas Yuda. Tegap dan atletis. Aku jadi semakin merindukan suamiku. "Mas Yuda ...!" gumamku tanpa sadar. Pria itu mengetik sesuatu pada ponsel yang sejak tadi berada di tangannya. Tak lama terdengar ponselku bergetar. Gegas aku merogoh kantong piyama dan meraih ponselku. Sebuah pesan dari Elkan muncul pada layar. [ Cantik ... aku suka rambut panjaangmu ] Apaaaa? Astaghfirullah ... spontan aku melompat masuk ke dalam kamar saat tersadar bahwa saat ini aku sedang tak menggunakan hijab. Ya Allah, ampuni Aku. Bagaimana aku bisa lupa dan tak menyadarinya. Aku kembali mengintip dari balik gorden. Tampak Elkan sedang tersenyum lebar ke arahku. Sontak aku kembali menutup.gorden. Perlahan aku naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Maina. Elkan
"Hallo, Dokter Sabrina. Istri dari Pak Yuda ingin bicara." Dokter Binsar memberikan ponselnya padaku.."Hallo, dokter Sabrina. Apa bisa saya bicara dengan suami Saya?' Sabrina yang berada di seberang sana tiba-tiba terdiam. "Sabrina, Hallo! Sabrina ..!" Aku semakin kesal karena Sabrina hanya mendiamkan ponselnya. "Sabrina! Kenapa kamu tak pernah mengangkat telponku? Kenapa aku tak pernah bisa bicara dengan Mas Yuda? Jawab Sabrina!" Suaraku bergetar menahan sedih bercampur emosi. Dadaku semakin sesak bagai dihimpit batu besar. Kenapa Sabrina hanya diam saja. "Sabrina, tolong jawab!" Tak lama kemudian, akhirnya terdengar suara lembut dari wanita di seberang sana. "Dengar Salma! Yuda ada dalam pengawasanku. Kamu tidak perlu khawatir. Sampai hari ini keadaannya masih baik. Aku harap kamu tidak mengganggu Yuda!" Klik. Sambungan terputus secara sepihak. "Elkan, Dokter Binsar, bagaimana ini? Sabrina memutuskan panggilan begitu aja. Bagaimana ini Dok? Elkan?" Aku panik. Tanpa s