Hai kakak pembaca, Kira-kira happy endingnya Salma sama siapa ya? Yuda atau Elkan? Jawab di kolom komentar ya ... Yuk mampir juga ke cerita aku yang lainnya berjudul : Air Mata Maduku dan Istri Dekilku Anak Sultan.
Hingga sudah hampir sepuluh menit, Elkan belum juga keluar dari ruang kerjanya yang tak jauh dari tempat aku duduk. Aku berusaha sabar menunggu walaupun dilanda rasa penasaran yang sangat menganggu. Mau menyusul, rasanya tidak pantas. Lagi pula hujan masih sangat deras. Sesekali aku membuka ponselku. Namun masih saja tidak ada balasan pesan dari Mas Yuda ataupun Sabrina. Ini sudah lebih dari tiga jam. Seharusnya mereka sudah tiba di bandara Changi sejak tadi. Tapi kenapa ponsel Mas Yuda masih tidak aktif? Aku semakin gelisah sendirian. Apa yang harus aku lakukan? Aku putuskan untuk menyusul Elkan ke ruang kerjanya. Pikiranku tidak tenang memikirkan Mas Yuda. Saat ini hanya dia yang bisa aku ajak bicara. Perlahan aku mendekat pada ruangan yang pintunya setengah terbuka itu. Nampak Elkan sedang membolak-balik beberapa berkas. Nampaknya berkas-berkas itu sangat penting. "Masuklah!" Aku terlonjak, ternyata Elkan tau aku sudah ada di balik pintu ini. "M-maaf. Kamu lama banget," ucap
Pov Yuda "Bersiaplah, Yud. Sebentar lagi pesawat akan mendarat di bandara Changi." Sabrina duduk di sebelahku, dengan hati-hati memeriksa sabuk pengamanku. Aku mengangguk dengan pandangan masih menghadap jendela. Rasa sedih yang menyesakkan ini terasa begitu berat. Semoga saja keputusan yang aku ambil ini benar. Memang menyakitkan sekali rasanya. Namun ini semua demi kebahagian Salma dan anak-anak. Pergi dari kehidupan mereka adalah keputusan satu-satunya. Tak ada pilihan lain. Aku tak mau Salma menghabiskan hidupnya hanya dengan mengurusku. Resiko pengobatan ini cukup besar. Kemungkinannya aku akan lumpuh total. Salma masih muda dan cantik. Dia berhak bahagia dengan pria yang mencintainya dengan tulus dan bisa menjaganya setiap waktu. Pesawat sudah mendarat. Beberapa petugas membantuku untuk turun. Termasuk salah satu perawat pria yang ikut dengan Sabrina dari Jakarta tadi. Sabrina mendorong kursi rodaku menuju pintu kedatangan. "Sabrina, mana ponselku?" "Ada." "Sini. Aku
"Gila kamu, El!" Aku menghempas dengan kasar surat perjanjian itu. Di sana tertulis Elkan menyetujui permintaan Yuda untuk menikahiku. "Dengar dulu, Salma!" "Halaah! Sejak awal aku udah curiga, kamu punya niat nggak baik sama Aku dan Yuda." Aku kembali menjatuhkan tubuhku pada kursi seraya memandang keluar jendela. Hujan masih sangat deras. Suara petir masih terdengar menggelegar dan saling bersahutan Untunglah anak-anak di rumah aman. Setiap jam Bu Ratri memberi kabar tentang mereka. Kabar terakhir mereka sedang tidur dikamarnya. "Salmaaa, Aku tidak pernah punya pikiran seburuk itu. Jujur saja, sebenarnya aku keberatan menandatangani ini." Elkan mendekat. Wajahnya memucat, jelas terlihat ada rasa bersalah. "Lalu kenapa ada tanda tangan kamu di situ, hah?" Nada bicaraku semakin tinggi. "Kamu tau Yuda seperti apa. Ini murni keinginan dia," sanggah Elkan. Dia terlihat panik. Aku mencoba kembali menghubungi Mas Yuda dan Sabrina. Namun setelah berkali-kali aku hubungi, ponsel m
"Kenapa berhenti di sini? Ini kan masih di depan kost. Rumahku masih terus masuk ke sana," ujarku seraya menyipitkan mata, memandang penuh curiga pada pria tampan di hadapanku yang sedang senyum-senyum nggak jelas. "Jalan sedikit kenapa, sih? Hitung-hitung olah raga sore. Cuacanya lagi asik, loh. Dingin kayak di puncak." sahut Elkan terkekeh, lalu keluar dari mobil untuk menurunkan kopernya. "Hmmm ... sudah aku duga. Ternyata penghuni baru itu kamu." Aku mengikutinya keluar dan berdiri bersandar pada mobil yang sudah mulai kering dari air hujan tadi. Tanpa menghiraukan aku, Elkan membawa kopernya masuk ke dalam rumah kost. Salah satu karyawanku menyambutnya dengan ramah dan mengambil alih koper yang ada ditangannya "Permisi, saya mau ketemu ibu kost rumah ini bisa?" tanya Elkan dengan wajah serius. Sementara karyawanku itu terlihat bingung karena dia melihat Elkan tadi datang bersama ibu kostnya. Elkan sontak terbahak-bahak melihat kegugupan karyawanku itu "Hahaha ... maaf bec
Bagai terhipnotis aku pun menatap sosok yang hanya mengenakan celana pendek serta kaos tanpa lengan itu. Mata kami bagai magnit yang bertemu dari sisi yang berbeda, semakin melekat dan tak ingin berpaling. Tubuh pria itu sangat mirip dengan Mas Yuda. Tegap dan atletis. Aku jadi semakin merindukan suamiku. "Mas Yuda ...!" gumamku tanpa sadar. Pria itu mengetik sesuatu pada ponsel yang sejak tadi berada di tangannya. Tak lama terdengar ponselku bergetar. Gegas aku merogoh kantong piyama dan meraih ponselku. Sebuah pesan dari Elkan muncul pada layar. [ Cantik ... aku suka rambut panjaangmu ] Apaaaa? Astaghfirullah ... spontan aku melompat masuk ke dalam kamar saat tersadar bahwa saat ini aku sedang tak menggunakan hijab. Ya Allah, ampuni Aku. Bagaimana aku bisa lupa dan tak menyadarinya. Aku kembali mengintip dari balik gorden. Tampak Elkan sedang tersenyum lebar ke arahku. Sontak aku kembali menutup.gorden. Perlahan aku naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Maina. Elkan
"Hallo, Dokter Sabrina. Istri dari Pak Yuda ingin bicara." Dokter Binsar memberikan ponselnya padaku.."Hallo, dokter Sabrina. Apa bisa saya bicara dengan suami Saya?' Sabrina yang berada di seberang sana tiba-tiba terdiam. "Sabrina, Hallo! Sabrina ..!" Aku semakin kesal karena Sabrina hanya mendiamkan ponselnya. "Sabrina! Kenapa kamu tak pernah mengangkat telponku? Kenapa aku tak pernah bisa bicara dengan Mas Yuda? Jawab Sabrina!" Suaraku bergetar menahan sedih bercampur emosi. Dadaku semakin sesak bagai dihimpit batu besar. Kenapa Sabrina hanya diam saja. "Sabrina, tolong jawab!" Tak lama kemudian, akhirnya terdengar suara lembut dari wanita di seberang sana. "Dengar Salma! Yuda ada dalam pengawasanku. Kamu tidak perlu khawatir. Sampai hari ini keadaannya masih baik. Aku harap kamu tidak mengganggu Yuda!" Klik. Sambungan terputus secara sepihak. "Elkan, Dokter Binsar, bagaimana ini? Sabrina memutuskan panggilan begitu aja. Bagaimana ini Dok? Elkan?" Aku panik. Tanpa s
Dengan tangan gemetar, perlahan aku buka amplop coklat itu dan menarik selembar kertas di dalamnya. Kira-kira apa isinya? Tunggu. Kenapa perasaanku tak enak? Bagaimana kalau surat ini adalah .... Perlahan aku masukkan kembali kertas yang sepenuhnya belum keluar dari amplop itu. Kemudian dengan kaki gemetar kumelangkah menuju ruang kerja Mas Yuda. "Maak, Mak Isah!" "Iyya, Neng." Mak Isah datang menghampiriku. "Tolong panggilkan Elkan. Tadi Aku lihat mobilnya ada di depan kost!" "Baik, Neng." Entah kenapa aku tak kuasa membuka surat itu sendiri. Aku memerlukan seseoang untuk mendampingiku. Saat ini, satu-satunya orang yang dekat denganku hanya Elkan. Tak lama kemudian aku mendengar suara Elkan menyapa beberapa pelayan saat masuk. Pria itu memang ramah. Hampir semua pelayan dan tetanggaku akrab dengannya. "Salma ... Salma ..., Kamu nggak apa-apa, kan?" Elkan masuk dengan wajah cemas. "Belum," sahutku.. Elkan mengernyitkan dahinya mendengar jawabanku. "Duduk, El. Tadi aku teri
Pov Elkan "Salma ... Salma ..., bangun dong!" Aku terus menepuk-nepuk lembut wajah Salma yang memucat. "Dokter Binsar, bagaimana ini?" tanyaku panik. "Tidak usah khawatir. Ibu Salma hanya kaget saja. Sebentar lagi pasti sadar." Dokter Binsar terlihat tenang setelah memeriksa keadaan Salma. Saat ini wanita itu terbaring diatas brankar ruang periksa dokter Binsar. "Saya tinggal periksa pasien di ruangan lain dulu. Jika ada apa-apa, panggil saja perawat di depan." "Baik, Dok." Aku duduk di samping Salma sambil sesekali mengusap lengannya. Memanggil namanya. "Salma ... please, jangan bikin aku khawatir!" lirihku sambil menatap wajahnya. Entah kenapa aku takut sekali jika wanita ini kenapa-kenapa. Aku takut jika tak bisa melihatnya lagi. Aku takut jika dia pergi. Ya Ampun. Wajahnya cantik sekali. Baru kali ini aku bisa menatapnya dari jarak yang sangat dekat. Jantungku berdetak semakin cepat. Napasku mulai memburu. Wajahku semakin mendekat. "Elkan, mau apa Kamu?" Astaga! Aku