Dengan tangan gemetar, perlahan aku buka amplop coklat itu dan menarik selembar kertas di dalamnya. Kira-kira apa isinya? Tunggu. Kenapa perasaanku tak enak? Bagaimana kalau surat ini adalah .... Perlahan aku masukkan kembali kertas yang sepenuhnya belum keluar dari amplop itu. Kemudian dengan kaki gemetar kumelangkah menuju ruang kerja Mas Yuda. "Maak, Mak Isah!" "Iyya, Neng." Mak Isah datang menghampiriku. "Tolong panggilkan Elkan. Tadi Aku lihat mobilnya ada di depan kost!" "Baik, Neng." Entah kenapa aku tak kuasa membuka surat itu sendiri. Aku memerlukan seseoang untuk mendampingiku. Saat ini, satu-satunya orang yang dekat denganku hanya Elkan. Tak lama kemudian aku mendengar suara Elkan menyapa beberapa pelayan saat masuk. Pria itu memang ramah. Hampir semua pelayan dan tetanggaku akrab dengannya. "Salma ... Salma ..., Kamu nggak apa-apa, kan?" Elkan masuk dengan wajah cemas. "Belum," sahutku.. Elkan mengernyitkan dahinya mendengar jawabanku. "Duduk, El. Tadi aku teri
Pov Elkan "Salma ... Salma ..., bangun dong!" Aku terus menepuk-nepuk lembut wajah Salma yang memucat. "Dokter Binsar, bagaimana ini?" tanyaku panik. "Tidak usah khawatir. Ibu Salma hanya kaget saja. Sebentar lagi pasti sadar." Dokter Binsar terlihat tenang setelah memeriksa keadaan Salma. Saat ini wanita itu terbaring diatas brankar ruang periksa dokter Binsar. "Saya tinggal periksa pasien di ruangan lain dulu. Jika ada apa-apa, panggil saja perawat di depan." "Baik, Dok." Aku duduk di samping Salma sambil sesekali mengusap lengannya. Memanggil namanya. "Salma ... please, jangan bikin aku khawatir!" lirihku sambil menatap wajahnya. Entah kenapa aku takut sekali jika wanita ini kenapa-kenapa. Aku takut jika tak bisa melihatnya lagi. Aku takut jika dia pergi. Ya Ampun. Wajahnya cantik sekali. Baru kali ini aku bisa menatapnya dari jarak yang sangat dekat. Jantungku berdetak semakin cepat. Napasku mulai memburu. Wajahku semakin mendekat. "Elkan, mau apa Kamu?" Astaga! Aku
"Bundaa ..., kita mau ke mana?" Yumaina protes saat dibangunkan pagi-pagi sekali "Kita mau jalan-jalan sama Om Elkan!" sahutku asal. Bukannya tidak mau terus terang pada mereka. Aku tidak tau bagaimana kondisi Mas Yuda nanti ketika kami di sana. Aku hanya tidak ingin melihat mereka kecewa. Sementara Raihan beberapa hari ini sering nampak murung. Aku meminta Elkan untuk membujuknya. Kami sepakat untuk tidak mengatakan yang sebenarnya dulu pada putraku itu. Aku tak mau dia kembali kecewa nantinya. "Salma, bagaimana Yumaina? Sudah bangun?'" Tiba-tiba Elkan melongo ke dalam kamar Yumaina. Pria itu memang sudah sangat hapal dengan seluk beluk rumah ini. "Hai Om Elkan yang ganteng!" teriak Yumaina yang sedang disisir rambutnya oleh Bu Ratri. "Maina, yang sopan dong, sama Om Elkan!" Aku cukup terkejut mendengar Maina mengatakan ganteng pada Elkan. Mana mungkin anak sekecil itu mengerti kata-kata ganteng. "Hehehe, siapa yang bilang sama Maina kalau Om Elkan ini ganteng? Bunda ya?" tanya
Netraku melebar tak percaya saat melihat seseorang yang kukenal menjemput kami. "Sejak kapan dia ada di sini?" gumamku. "Hai Rein. Apa kabar?" Elkan menghampiri pria yang ternyata adalah Rein. Aku menatapnya penuh selidik.Sejak kapan dia ada di sini? Jika dia memang di sini sejak kemarin, kenapa tidak memberi kabar padaku? "Hai, Salma." "Rein, sejak kapan kamu ada di Singapore?" Rein terlihat gugup karena pertanyaanku.. "Nanti kita ngobrol lagi. Sekarang, ayo aku antar ke apartement!" Dengan memendam rasa penasaran, Aku menuntun anak-anakku menuju mobil yang telah disediakan oleh Rein untuk kami. Sepanjang jalan tidak ada satupun yang memberi penjelasan padaku. Mungkin karena ada anak-anak diantara kita. Tak berselang lama kami tiba di sebuah apartemen mewah. "Apartement milik siapa ini, Rein?"tanyaku saat kami memasuki salah satu unit apartemen mewah ini. "Ini milik Yuda." Satu lagi kejutan yang tidak pernah aku duga. Mas Yuda punya apartement semewah ini di Singapore. M
"Sabrina ...!" desisku dengan menahan napas. Sejak awal setiap melihat wanita itu, dadaku selalu bergemuruh. Wanita cantik berpakaian formil dengan rok di atas lutut itu mendekatiku. "Untuk apa kamu ke sini? Bukankah sudah jelas Yuda bukan lagi suamimu?" Sikap Sabrina jauh berbeda. Dia lebih angkuh dan sombong. Apa saat ini dia merasa telah memiliki Mas Yuda? "Mas Yuda masih Ayah dari anak-anakku, Sabrina!" ucapku dengan emosi tertahan. Napasku memburu. Sabrina menyeringai. Sialnya dia tetap terlihat cantik. Membuat hatiku meringis. Lelaki manapun akan tertarik dengan kecantikannya. Termasuk ... Mas Yuda. Dadaku kembali merasakan nyeri membayangkan hal ini. "Bukankah Yuda sudah memintamu menikah dengan Elkan setelah dia menceraikanmu? Bukankah kamu memang ada main dengan pengacara tampan itu?" Sabrina kembali tersenyum miring seolah mengejekku. "Jaga bicaramu. Jangan fitnah!" Tubuhku gemetar hebat mendengar ucapan Sabrina. Kenapa dia bicara seperti itu? "Sudahlah! Aku mohon j
Rein muncul bersama seorang perawat. "Bagaimana, Rein? Apa Aku bisa masuk ke kamar Mas Yuda sekarang?" Wajahku berbinar melihat anggukan Rein. "Ayolah cepat, Rein!" Aku memandang Rein dengan tatapan memohon. Sabrina melirik kami dengan tatapan tak suka. Wanita itu mendengkus kesal. "Ingat, kamu bukan lagi istri Yuda!" ketusnya. Tanpa mempedulikan ucapan dokter itu, aku dan Rein mengikuti langkah perawat itu menuju pintu masuk tempat Mas Yuda berada. Sebelum masuk, aku dan Rein diminta perawat itu untuk menggunakan pakaian khusus. Bagai dejavu, aku kembali berada di situasi delapan tahun yang lalu. Ketika Mas Yuda terbaring tak berdaya karena kecelakaan itu. Langkahku terhenti tepat di samping Mas Yuda terbaring. Perlahan tanganku terangkat untuk menyentuh wajah yang selalu kurindukan siang dan malam. Namun aku sadar, kini kami bukan lagi suami istri. Ingin rasanya membelai wajah tampan yang telah mengisi hatiku itu. Andai saja saat ini kami masih sah sebagai suami istri, te
"Astaga! Mau apa kamu?" Aku terlonjak melihat Elkan berada di dapur. Ternyata yang menarikku barusan adalah Elkan. Mau apa dia? Elkan berdiri di dekat pintu dapur yang baru saja dia kunci. Matanya menatap dalam padaku. "Jangan macam-macam, El!" desisku. "Bagaimana Yuda?" "Kalau mau membicarakan Yuda, kenapa harus tutup pintu?" tanyaku ketus. "Maafkan aku Salma, Aku sudah tak bisa lagi menahan diri." Haah?? Aku tersentak mendengar ucapan Elkan barusan. Apa maksudnya? Apa Elkan akan berbuat sesuatu yang tidak pantas padaku? "Maksudmu apa?" Aku memandangnya dengan tatapan nyalang. Elkan berdiri semakin dekat. Tubuhnya yang tinggi semakin mengikis jarak diantara kami. "Elkan, Stop!" Aku meletakkan kedua tanganku di depan mencoba menghalangi Elkan. Sialnya, kedua tanganku malah menempel di dada bidangnya Secepat kilat kembali menarik kedua tanganku. "Aku ... nggak bisa lihat kamu dekat-dekat dengan pria lain. Aku nggak bisa lihat kamu dekat dengan Rein," tegasnya dengan tatapa
POV Sabrina "Pulanglah, Sabrina! Kasihan Tristan." Aku berdecak kesal mendengar permintaan ibu.Entah untuk yang ke berapa kalinya ibu menghubungiku dalam beberapa hari ini. Lagi-lagi alasannya karena Tristan. Padahal Sejak kecil Tristan sudah terbiasa aku tinggal. Bahkan hingga berbulan-bulan. "Maaf, Bu. Bukankah Tristan sudah biasa aku tinggal pergi dalam waktu yang cukup lama? ini hanya alasan ibu saja, kan?" Walau Tristan bukan anak kandungku, tapi sejak kecil anak itu memanggilku Mami. Yang dia tau aku adalah ibu kandungnya. Tapi Ibulah yang merawatnya sejak aku mengadopsinya. Waktu itu aku tidak tega melihat bayi kecil yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Tristan dirawat beberapa hari di rumah sakit tempat aku bertugas. Setelah sembuh, Aku membawanya pulang dan mengadopsinya. Beberapa bulan kemudian aku melanjutkan pendidikan ke luar negeri meninggalkan Tristan bersama Ibu dan pengasuhnya. Aku hanya pulang sesekali menengok mereka. "Lalu demi laki-laki itu kamu r