Share

Maaf Mas, Aku Tega!
Maaf Mas, Aku Tega!
Penulis: Dyah Ayu Prabandari

Bab 1

DEEEERRRR...!! 

Suara pintu dibanting, kutoleh sumber suara.

 

Ah... 

Ibu lagi ... ibu lagi, bosan rasanya setiap hari selalu dan selalu begini. Ingin rasanya pergi dalam sekejap memakai pintu kemana sajanya Dora***n, tapi sayang hanya ada di televisi saja. 

Ibu mertuaku memang selalu begini saat Mas Deni tak ada di rumah. Menurutnya aku seperti benalu, yang menumpang makan dan tidur tanpa melakukan apapun. Padahal dulunya dia begitu baik dengan aku, kami seperti anak dan ibu kandung. 

Namun setelah aku resign, dan memilih menjadi ibu rumah tangga sesuai keinginan Mas Deni agar aku bisa segera hamil. Tiba-tiba juga ibu berubah 180°. 

Tidak ada angin, tidak ada hujan selalu marah-marah padaku. Atau memang ini watak aslinya, 

Entahlah... 

"Ada apa bu?" tanyaku  selembut kapas, tapi hatiku jangan tanya pengen teriak rasanya. 

Sabar, sabar Nit. Kusemangati diriku sendiri. 

Kalau bukan aku siapa lagi? 

"Kamu itu ya gak guna banget! Sudah gak kerja, gak pinter masak. Bisanya apa sih? Makan doang hah!" Ibu berkacak pinggang di depan kamarku.

 

Diam.Tak kujawab omelan ibu tadi. Kalau dijawab bisa seperti kereta nanti. Panjang... Tidak bisa berhenti. Huft... 

"Diajak ngomong orang bukannya dijawab, ini malah diem aja. Kamu tuli atau girang sih?"

Tambah ngegas aja nih mertua.

 

"Ada masalah apa lagi,Bu? "

"Kenapa masakan kamu asin gitu? Sengaja? Mau bikin ibu darah tinggi biar cepet mati. Biar bebas kamu!" omel ibu. 

"Maaf ya,Bu,Nita gak sengaja kok. Lagian ibu tau sendiri,kan, dari awal menikah Nita itu wanita karir  dan gak bisa masak.Nah,setelah jadi ibu rumah tangga baru deh belajar masak. Harap maklum ya,Bu, namanya juga lagi belajar. Bukannya dari dulu ibu gak mempermasalahkan ya?"

Tak ada jawaban dari ibu,yang ada beliau pergi dengan wajah masam. Hahahahahaha

Puas aku, 

Upss,, 

Kelepasan, untuk gak dengar. 

***

Jam sudah menunjukkan tepat pukul 17.00. Sebentar lagi Mas Deni pasti sampai rumah. Tak lama terdengar suara mobil Mas Deni masuk ke halaman rumah. Aku berjalan menuju teras rumah. 

"Assalamualaikum,"ucap Mas Deni

"Wa'alaikumsalam." Kucium punggung tangan Mas Deni, tak lupa kubawakan tas kantornya. 

"Langsung mandi aja ya Mas, udah kusiapin air hangat sama bajunya. Habis itu baru makan."

"Iya sayang." Tangannya mentoel pipiku 

Setelah mandi, Mas Deni dan aku menuju ruang makan. Ternyata sudah dari tadi ibu menunggu kami di sana. Dengan sigap aku mengambilkan nasi berserta sayur lodeh plus tempe bacem untuk Mas Deni. 

"Ini yang masak kamu,Dek?"tanyanya sambil menyendok makanan. 

"Iya mas, maaf ya,Mas masakan Nita gak enak." Aku menundukan kepala, malu rasanya belum bisa masak. 

"Gak papa Nita, namanya baru belajar, lama-lama juga bisa kok. Dulu ibu juga gak bisa masak kayak kamu, tapi sekarang bisa. Semangat terus ya,"ucap ibu. 

"Iya sayang gak papa kok, Mas ngerti," imbuh mas Deni.Kuanggukan kepala mendengar perkataan Mas Deni. 

Nah kan benar,kalau ada Mas Deni baiknya ketulungan mertuaku ini. Coba kalau tidak ada. 

Duh, udah dimaki-maki aku. Dihina-hina. Hufft...!

Dasar Muka Dua

 ***

Hari Minggu, hari rebahan seharian.  Tak perlu memasak dan mencuci. Semua sudah kuserahkan pada ahlinya. Makanan kami katering tetangga dan urusan mencuci tinggal di laundry. Semua terima beres. Tapi... Itu dulu. Saat aku masih sibuk bekerja dan menghasilkan uang. Kalau sekarang semua harus kukerjakan sendiri. Dari mencuci, menyapu, mengepel dan memasak. Karena pemasukan sudah berkurang, berkurang banyak malah. Ya,karena gajiku lebih besar dari Mas Deni. Harus hemat mulai sekarang. 

Tok ... Tok ... Tok .... 

Suara pintu diketuk, segera kusambar khimar yang tergeletak di atas ranjang. Ku buka pintu depan. Ternyata Rani, adik mas Deni yang berkunjung. Ku persilahkan dia masuk. 

"Tumben sendiri,Ran? Gak sama suamimu?" tanyaku saat memberikan minuman untuknya. 

"Enggak kok mbak, Mas Anton lagi sibuk," jawabnya datar.Aku berjalan ke belakang untuk membuatkannya teh hangat. 

"Ini diminum,Ran." Kuletakkan secangkir teh di atas meja. 

"Makasih Mbak, sebenarnya aku ke sini ada perlu sama mbak, "Rina menghela napas panjang. 

"Boleh pinjam uang 10 juta aja gak,Mbak?" ucapnya

dengan enteng tanpa rasa bersalah. Apa aku tak salah dengar? dia bilang 10juta aja? 

Hello... 

Utang yang kemarin aja belum dikembalikan, ini malah nambah sepuluh juta.Memangnya aku bank. 

Hmmmm...

"Maaf ya Ran, bukannya mbak gak mau kasih pinjem, cuman mbak lagi gak punya. Gimana dong?" jawabku datar. 

Sebenarnya sih uang di bank masih ada, tapi mana mungkin kukasih. Enak di dia enggak di aku. 

"Bilang aja mbak gak mau kasih.  Ya kan? Dasar mbak pelit!" cerocosnya. 

Nah keluar deh watak aslinya.Manis kalau ada maunya doang. Tidak ibu tidak anak, sama saja. 

"Ini kenapa sih pada ribut gini?" tanya Mas Deni yang tiba tiba masuk ke dalam rumah. 

"Istri kamu tu mas, aku pinjam uang aja gak dikasih. Emang kebangetan dia mas," tudingnya kepadaku. 

"Benar itu Nita?" nada suara Mas Deni naik satu oktaf. 

"Bu-Bukan gitu Mas," jawabku terbata.

"Jangan hitung hitungan gitu sama Rani!" omelnya

Sebel-sebel. Ini Mas Deni bukannya nanya dulu, main sewot aja. Tak kuperdulikan mereka. Balik badan, kutinggalkan mereka di kamar. Tak lupa kukunci kamar. Kubanting badan di kasur empuk. 

Tidur solusi terbaik dari pada berdebat tak ada ujungnya.

Lelah...

****

Tok ... Tok  ... Tok .... 

Kudengar pintu kamar di ketok agak keras. 

"Nit ... Nita..." teriak Mas Deni lantang. 

Aku yang tadinya ingin istirahat dari penatnya urusan rumah tangga, terpaksa harus bangun. 

Malas, kesal jadi satu. Kenapa sikap mereka berubah setelah aku tak bekerja?

Tanda tanya besar di benakku. 

Ceklek... 

Kreeekk... 

Kubuka pintu kamar, sudah ada Mas Deni, Rina dan tambah satu lagi,ibu. 

"Ada apalagi sih mas? Aku capek, pengen istirahat. Gak boleh juga?" tanya ku kesal. 

Bukan, bukan istirahat badan tapi istirahat pikiran tepatnya. Karena diri ini sudah lelah selalu dan selalu dipojokan. Baru tiga bulan jadi ibu rumah tangga rasanya sudah tidak kuat. Ingin berkarir lagi. 

"Jelaskan sama mas, bener gak yang diomongin Rani?"

Ini tanya apa nyolot sih? 

Heran aku tu! 

"Gini lho mas, Rani mau pinjam 10juta. Aku kan udah gak punya uang jadi gak aku kasih?apa aku salah?"

"Halah bilang aja mbak pelit, mbak seneng kan lihat aku susah!" olok Rani

"Istri kamu itu Den, pelitnya gak ketulungan. Gak mau bantu aja kebanyakan alasan. Udah gak bisa masak, mandul, semena-semena lagi sama ibu. Kalau kamu gak ada di rumah nih. Ibu yang disuruh bersih bersih, menantu macam apa kaya gitu! Padahal ini rumah  peninggalan ayahmu. Dia kaya majikan, ibu yang pembantu. Hias... Hiks...." Ibu mulai berdrama. 

PLAKK...! 

Tangan Mas Deni membekas di pipi kiriku. Air bening lolos begitu saja dari netraku. Sakit, sakit sekali, bukan karena tamparan ini. Tapi rasa sakit di hati, suami yang harusnya melindungi, mengayomi, menyayangi kenapa malah menyakiti dan percaya begitu saja, tanpa mencari tahu kebenarannya. 

"Aku salah apa,Mas? Kenapa kamu tak mencari tau kebenarannya dulu. Dengan mudah kamu menamparku." 

"Nggak usah didengerin mas, maling mana ada yang mau ngaku!"Rani mulai menuangkan bensin di api yang menyala. 

Mata Mas Deni merah padam, menyiratkan rasa kebencian padaku. 

"Asal mas tau, Rani selalu pinjam uang kepadaku dari awal aku menjadi istrimu. Dan tak sepeser pun uang yang dikembalikan nya padaku. Selama ini aku cuman diam tapi kali ini dia benar-benar keterlaluan," ku atur napas, "dan ibu mana pernah aku memperlakukan ibu seperti pembantu, jangan suka fitnah."

Tatapan mas Deni beralih ke ibu dan Rani, mereka berdua hanya diam. Tak menjawab perkataanku.

DEERR...!!

Kututup pintu kamar, kukunci. Tak kuperdulikan apa yang akan terjadi pada mereka. Yang aku ingin Mas Deni sadar dengan apa yang dilakukannya padaku hari ini. Karena sekali hati ini terluka susah untuk menyembuhkannya. Ibarat kaca yang pecah, biarpun disatukan tak akan sama.

Selamat membaca, jangan lupa tinggalkan jejak. ❤️❤️

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status