Alhamdulillah...Aku bersyukur kepada Allah, sidang terakhir berjalan dengan lancar. Hakim juga sudah mengetuk palu. Mulai hari ini, aku dan Mas Deni resmi berpisah. Walau tak pernah terbesit sekalipun dalam benakku untuk berpisah. Mungkin, ini takdir Sang Pencipta agar aku terbebas dari Mas Deni dan keluarganya. Kuambil benda pipih untuk mengirimkan pesan pada Mas Deni. [Terima kasih,Mas untuk tidak kehadirannya di sidang perceraian kita. Mulai hari ini,aku bukan istrimu lagi. Terima kasih untuk semua yang telah Mas berikan untukku. Walau Mas menoreh luka di sanubari, tapi aku sudah memaafkan Mas.]Tak ada balasan walau pesanku sudah dibaca.Ah, sudahlah, ini bukan urusanku lagi. Saatnya menata hidupku. Kejadian dengan Mas Deni akan kujadikan pelajaran. Hidup berumah tangga tak hanya menyatukan dua hati. Namun juga menyatukan dua buah keluarga. Suatu saat jika aku mendapatkan jodoh lagi. Aku harus mengetahui watak keluarga calonku sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah agar ke
"Nita... !" teriak seseorang dari belakang. Aku hafal betul suara itu,Mas Romi. Kuhentikan langkah, balik badan. Sekarang kami tepat berhadapan dengan jarak dua langkah. "Iya Pak, ada yang bisa saya bantu?" "Mau pulang bareng?" tanyanya sambil mengatur napas. Mungkin efek sedikit berlari tadi. "Saya bawa mobil kok Pak," tolakku halus. "O, ya sudah. Hari minggu ada acara,Nit?""Ada Pak, rencananya mau cari ruko atau kios untuk membuka toko baju.""O... Ya sudah. Apa mau Mas temani?" tawarnya. "Sudah sama Intan kok,Pak. Ya sudah Pak, saya permisi. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam...." Ada rasa kecewa dari tatapan Mas Romi padaku. Maaf Mas,aku masih masa iddah. Rasanya kurang pantas kalau sering jalan berdua. ***Kujatuhkan bobot ini di ranjang. Ingin sejenak melemaskan tubuh karena setengah hari duduk di kursi. Hari ini, hari sabtu jadi aku pulang setengah hari. Memang jatah libur hanya di hari minggu saja. Tok ...Tok ...Tok"Mbak Nita sudah tidur?" tanya Intan."Belum Tan
Lima belas menit kami menunggu, belum ada tanda-tanda Nadia ataupun Pak Yusuf. "Mama...!" teriak anak kecil dari belakang. Kutoleh,Nadia berlari kearahku. Kurentangkan kedua tanganku sambil berjongkok. Kusambut Nadia dengan pelukan.Binar bahagia tergambar dari netranya. Begitupun Pak Yusuf, melihat kami berpelukan,bulir bening menetes dari netranya. Mungkin dia bahagia sampai mengeluarkan air mata. "Mama...," panggil Nadia masih dalam pelukanku.Entah kenapa ada rasa bahagia melihat senyum khas Nadia ini. Senyum tulus seorang anak pada ibunya. Meski aku baru mengenalnya tapi senyum itu begitu tulus untukku. Kuelus rambut hitamnya, hingga tak sengaja netra ini bertemu dengan netra Pak Yusuf. Pak Yusuf termangu sejenak, membuatku salah tingkah. Pak Yusuf hanya tersenyum melihat diri ini merona karena menahan malu. Pak Yusuf terlihat lebih muda dan tampan dengan memakai celana panjang jeans dipadukan dengan kaos berwarna putih. Kalau dilihat mirip artis Ali Syakieb. Sempurna.Astag
Kewajiban sholat isya sudah kulaksanakan. Ponsel kugeletakkan di atas kasur begitu saja. Tanpa berniat menelepon atau bertanya keperluan mantan mertuaku tadi. Rasanya sudah malas berurusan dengan mereka. Kini saatnya mengistirahatkan tubuh yang sedari tadi sudah protes meminta haknya. Walaupun hari ini sangat melelahkan tapi aku bahagia dapat bertemu gadis kecilku.Bayang kejadian tadi siang menari-nari indah di benakku. Senyum manis Mas Yusuf muncul begitu saja. Menimbulkan bunga di hatiku kembali merekah. Ah, kenapa aku jadi memikirkannya? Sadar, Anita... Jangan mimpi terlalu tinggi, kalau jatuh sakit!Kucoba pejamkan mata, berharap lekas di alam mimpi. Tapi bayang Mas Yusuf kembali muncul begitu saja. Membuat mata ini enggan terpejam. Ternyata tanpa pakaian resmi Mas Yusuf terlihat lebih tampan. Aduh, Anita... Kenapa justru memikirkan papanya Nadia,sih? Kriiingg... Kriiingg.... Kuambil ponsel, penasaran siapa yang malam-malam menelepon. Tertera nama Rani di layar. Tak kuangkat
"O, maaf,Mas aku mengganggu. Permisi, Mas." Kutinggalkan mereka berdua. Sepertinya Mas Romi ingin mengejarku tapi dihalangi oleh Febi. Kenapa ada rasa kecewa, saat tau Mas Romi berbohong. Mungkin kemarin ucapannya dusta belaka. Laki-laki memang selalu begitu.Menyebalkan...!Duduk di ruang kerja dengan seabrek berkas yang harus kukerjakan. Rasa kantuk mulai menyerang, mungkin efek semalam tidur kemalaman. Kukucek beberapa kali, tapi tetap saja mata ini susah terjaga.Ini semua gara-gara Rani, sudah memaksa tidak berterima kasih pula. Malah ngajak ribut. Bener-bener mantan ipar tidak ada akhlak."Mungkin minum teh hangat bisa membuat lebih semangat." gumamku. Sebenarnya enak minum kopi, tapi karena takut asam lambung naik, ya sudahlah teh hangat pun oke. Beranjak menuju pantry, membuat teh hangat untuk diriku sendiri. Bisa saja aku meminta OB untuk membuatkannya tapi urung kulakukan. Sengaja menggerakkan kaki agar mata ini tak semakin mengantuk. "Anita...," panggil seseorang dari be
Hari ini adalah hari yang sudah kunantikan yaitu pembukaan toko pakaianku. Semua ini tak luput dari bantuan Intan dan Indah, tanpa mereka aku takkan sampai dititik ini. Mereka bukan hanya teman, mereka adalah saudara bagiku. "Mbak sudah siap? Ayo berangkat!" ucap Intan yang tiba-tiba sudah di dalam kamarku. "Sudah,Tan,tapi kok deg-degan,ya?" Kusentuh dada yang kian bergemuruh hebat. "Tenang mbak, Intan selalu ada buat mbak. Apalagi kalau ditambah bonusnya. Ha ha ha...."Hahaha, dasar ini anak emang rada-rada menyebalkan. Tapi justru itu yang menbuat kami semakin dekat. "Makasih, ya, Tan. Kamu selalu ada buat,Mbak." Mataku mulai berkaca-kaca. Hingga perlahan bulir bening itu jatuh membasahi pipi. "Udah ah, malah baper,kan. Ayo kita berangkat, Mbak. Nanti keduluan pelanggan lagi."Intan melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Pukul tujuh pagi kami sudah berada di depan toko Anita Fashion. Ya, itu nama toko pakaianku. "Bismillah, semoga dagangan hari ini dan seterusnya laris manis
Kepergian Febi diiringi tatapan sinis dari orang-orang padaku.Samar-samar terdengar mereka menjelek-jelekan diriku. "Janda ternyata, pantas merebut tunangan orang.""Penampilannya sih alim, tapi kelakuannya busuk.""Dasar pelakor."Ucapan itu sulih berganti memenuhi telingaku. Mendengar hujatan orang yang tak tahu siapa diri ini, Bahkan mereka sama sekali belum mengenalku. Tapi mengapa mereka tega mengeluarkan kata-kata itu padaku. Sungguh kejam! Tiba-tiba kakiku lemas, seperti tak ada tenaga. Akhirnya aku luruh di lantai. Beristighfar berkali-kali, menahan amarah yang ada di dada. Bulir bening berlomba-lomba turun, menetes membasahi pipi. Merasakan nyeri di ulu hati. Sebenarnya apa salahku? Bahkan aku dan Maaf Romi hanya berteman. Tapi kenapa Febi tega mempermalukanku begini? Mengobrak-abrik tokoku. Apakah begitu hina seorang janda? Hingga stigama buruk melekat padaku. Ya Robb... Kuatkan aku.Aku masih terdiam di tempat. Merenungi nasib yang selalu tak berpihak padaku. Apa dosa
"Selamat pagi...," sapaku pada Maya."Pagi,Mbak Nita, nampaknya lagi berbunga-bunga nih. Ada apa gerangan?""Bukan apa-apa,masuk dulu ya." Kulangkahkan kaki menuju ruangan. "Anita...," ucap Mas Romi saat berpapasan denganku. Ya Allah...Baru ingin menghindar tapi kenapa justru bertemu pagi-pagi begini. Suratan Illahi sepertinya tak berpihak padaku."Iya Pak, ada yang bisa saya bantu?" Kuberikan senyum kaku, ya senyum yang kupaksakan."Tidak ada Nit, bagaimana pembukaan toko pakaian kamu?" tanyanya penasaran.Diam, bingung harus menjawab apa. Mau jujur kalau toko hancur karena Febi tapi takut dikira mengadu domba. Apalagi kalau benar mereka masih bertunangan. Dikiranya aku pelakor lagi. Apa mungkin Mas Romi percaya padaku? Lebih baik jika Mas Romi tau dari orang lain, bukan dari mulutku sendiri."Baik kok Pak,saya permisi ke ruangan saya." Kutinggalkan Mas Romi yang masih diam terpaku menatapku.****Pukul sebelas lebih, tapi berkas laporan masih banyak di meja kerjaku. Rasanya kepal