Kewajiban sholat isya sudah kulaksanakan. Ponsel kugeletakkan di atas kasur begitu saja. Tanpa berniat menelepon atau bertanya keperluan mantan mertuaku tadi. Rasanya sudah malas berurusan dengan mereka. Kini saatnya mengistirahatkan tubuh yang sedari tadi sudah protes meminta haknya. Walaupun hari ini sangat melelahkan tapi aku bahagia dapat bertemu gadis kecilku.Bayang kejadian tadi siang menari-nari indah di benakku. Senyum manis Mas Yusuf muncul begitu saja. Menimbulkan bunga di hatiku kembali merekah. Ah, kenapa aku jadi memikirkannya? Sadar, Anita... Jangan mimpi terlalu tinggi, kalau jatuh sakit!Kucoba pejamkan mata, berharap lekas di alam mimpi. Tapi bayang Mas Yusuf kembali muncul begitu saja. Membuat mata ini enggan terpejam. Ternyata tanpa pakaian resmi Mas Yusuf terlihat lebih tampan. Aduh, Anita... Kenapa justru memikirkan papanya Nadia,sih? Kriiingg... Kriiingg.... Kuambil ponsel, penasaran siapa yang malam-malam menelepon. Tertera nama Rani di layar. Tak kuangkat
"O, maaf,Mas aku mengganggu. Permisi, Mas." Kutinggalkan mereka berdua. Sepertinya Mas Romi ingin mengejarku tapi dihalangi oleh Febi. Kenapa ada rasa kecewa, saat tau Mas Romi berbohong. Mungkin kemarin ucapannya dusta belaka. Laki-laki memang selalu begitu.Menyebalkan...!Duduk di ruang kerja dengan seabrek berkas yang harus kukerjakan. Rasa kantuk mulai menyerang, mungkin efek semalam tidur kemalaman. Kukucek beberapa kali, tapi tetap saja mata ini susah terjaga.Ini semua gara-gara Rani, sudah memaksa tidak berterima kasih pula. Malah ngajak ribut. Bener-bener mantan ipar tidak ada akhlak."Mungkin minum teh hangat bisa membuat lebih semangat." gumamku. Sebenarnya enak minum kopi, tapi karena takut asam lambung naik, ya sudahlah teh hangat pun oke. Beranjak menuju pantry, membuat teh hangat untuk diriku sendiri. Bisa saja aku meminta OB untuk membuatkannya tapi urung kulakukan. Sengaja menggerakkan kaki agar mata ini tak semakin mengantuk. "Anita...," panggil seseorang dari be
Hari ini adalah hari yang sudah kunantikan yaitu pembukaan toko pakaianku. Semua ini tak luput dari bantuan Intan dan Indah, tanpa mereka aku takkan sampai dititik ini. Mereka bukan hanya teman, mereka adalah saudara bagiku. "Mbak sudah siap? Ayo berangkat!" ucap Intan yang tiba-tiba sudah di dalam kamarku. "Sudah,Tan,tapi kok deg-degan,ya?" Kusentuh dada yang kian bergemuruh hebat. "Tenang mbak, Intan selalu ada buat mbak. Apalagi kalau ditambah bonusnya. Ha ha ha...."Hahaha, dasar ini anak emang rada-rada menyebalkan. Tapi justru itu yang menbuat kami semakin dekat. "Makasih, ya, Tan. Kamu selalu ada buat,Mbak." Mataku mulai berkaca-kaca. Hingga perlahan bulir bening itu jatuh membasahi pipi. "Udah ah, malah baper,kan. Ayo kita berangkat, Mbak. Nanti keduluan pelanggan lagi."Intan melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Pukul tujuh pagi kami sudah berada di depan toko Anita Fashion. Ya, itu nama toko pakaianku. "Bismillah, semoga dagangan hari ini dan seterusnya laris manis
Kepergian Febi diiringi tatapan sinis dari orang-orang padaku.Samar-samar terdengar mereka menjelek-jelekan diriku. "Janda ternyata, pantas merebut tunangan orang.""Penampilannya sih alim, tapi kelakuannya busuk.""Dasar pelakor."Ucapan itu sulih berganti memenuhi telingaku. Mendengar hujatan orang yang tak tahu siapa diri ini, Bahkan mereka sama sekali belum mengenalku. Tapi mengapa mereka tega mengeluarkan kata-kata itu padaku. Sungguh kejam! Tiba-tiba kakiku lemas, seperti tak ada tenaga. Akhirnya aku luruh di lantai. Beristighfar berkali-kali, menahan amarah yang ada di dada. Bulir bening berlomba-lomba turun, menetes membasahi pipi. Merasakan nyeri di ulu hati. Sebenarnya apa salahku? Bahkan aku dan Maaf Romi hanya berteman. Tapi kenapa Febi tega mempermalukanku begini? Mengobrak-abrik tokoku. Apakah begitu hina seorang janda? Hingga stigama buruk melekat padaku. Ya Robb... Kuatkan aku.Aku masih terdiam di tempat. Merenungi nasib yang selalu tak berpihak padaku. Apa dosa
"Selamat pagi...," sapaku pada Maya."Pagi,Mbak Nita, nampaknya lagi berbunga-bunga nih. Ada apa gerangan?""Bukan apa-apa,masuk dulu ya." Kulangkahkan kaki menuju ruangan. "Anita...," ucap Mas Romi saat berpapasan denganku. Ya Allah...Baru ingin menghindar tapi kenapa justru bertemu pagi-pagi begini. Suratan Illahi sepertinya tak berpihak padaku."Iya Pak, ada yang bisa saya bantu?" Kuberikan senyum kaku, ya senyum yang kupaksakan."Tidak ada Nit, bagaimana pembukaan toko pakaian kamu?" tanyanya penasaran.Diam, bingung harus menjawab apa. Mau jujur kalau toko hancur karena Febi tapi takut dikira mengadu domba. Apalagi kalau benar mereka masih bertunangan. Dikiranya aku pelakor lagi. Apa mungkin Mas Romi percaya padaku? Lebih baik jika Mas Romi tau dari orang lain, bukan dari mulutku sendiri."Baik kok Pak,saya permisi ke ruangan saya." Kutinggalkan Mas Romi yang masih diam terpaku menatapku.****Pukul sebelas lebih, tapi berkas laporan masih banyak di meja kerjaku. Rasanya kepal
Kuatur nafas, mengatur irama detak jantung yang tak menentu. Ada rasa bahagia saat mendengar Mas Romi mengungkapkan rasa cinta padaku. Tapi entah kenapa, rasa itu tak lagi sama. Teringat dulu saat dia mengajakku pergi membeli buku hanya berdua. Betapa berbunga-bunga hatiku kalau itu,sampai tak sanggup aku ungkapkan dengan kata. Tapi kali ini rasa itu tak kembali muncul. Hanya rasa bahagia, debarnya pun tak lagi sama. Apa mungkin rasa itu telah berkurang? Atau saat ini aku hanya terobsesi dengan cinta pertamaku. Ah, entahlah ... Hanya Tuhan yang tau. Takku hiraukan ucapan Mas Romi,kulangkahkan kaki menuju pintu. Ku pegang knop pintu, kuputar. Belum sempat pintu itu terbuka, Mas Romi sudah mencengkeram tanganku. "Aw...sakit Mas." Segera Mas Romi melepas cengkramannya. "Tolong jangan pergi menghindariku,Nit. Aku sangat mencintaimu." Matanya sudah berkaca-kaca. "Maaf Mas, orang tuamu tak menyukaiku.Tolong jangan hubungi aku lagi, aku lelah Mas, selalu dibilang menggoda kamu. Aku m
"Nit ... Nita." Indah menepuk pelan pundakku, menyadarkan dari lamunan tentang Mas Deni. "Iya," jawabku dengan air mata yang belum mengering. "Sabar, ini sudah kehendak Illahi. Mau melayat hari ini atau besok. Mungkin satu jam lagi jenazah sudah berada di kediaman Mas Deni.""Besok saja,ini sudah terlalu malam." Kulihat jarum jam sudah menunjukkan angka sebelas. "Besok biar ditemani Intan,ya." Kuanggukan kepala saat mulut ini terasa kelu hanya untuk sekedar menjawab. Merebahkan badan di atas kasur, mencoba memejamkan mata, tapi bayang Mas Deni menari-nari di benakku. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenal Mas Deni, walaupun akhirnya dia tega menancapkan belati di hati.Masih terngiang-ngiang di telingaku, Mas Deni meminta rujuk padaku. Maaf,Mas aku tega padamu, tapi semua karena ulahmu. Kamu menuai apa yang kamu tanam,Mas. ***Intan melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata membelah keramaian ibu kota. Kulihat jam tangan, baru menunjukan pukul delapan pagi. Pemakam
"Mas Yusuf," ucapku kaget. "Mbak Nita apa kabar?" Senyum manis terlukis dari bibir indahnya. "Alhamdulillah baik, seperti yang mas lihat.""Mas Yusuf gak tanya aku gitu? Aduh beneran jadi obat nyamuk nih," ucap Intan kesal. "Ha ha ha...." Aku dan Mas Yusuf tertawa serempak. Sesaat mata kita saling bertemu, Mas Yusuf seperti salah tingkah saat kulihat, rona merah terlihat di pipinya. "Nadia tidak ikut,Mas?" "Nadia sama Omanya,Mbak.""Mbak Nita sama Mas Yusuf cocok lho,buruan Mas Yusuf halalin Mbak Nitanya sebentar lagi masa iddahnya selesai lho."Uhuk... Uhuk.... Ucapan Intan berhasil membuatku tersedak. Intan ada-ada saja dia. Hening, suasana canggung menyelimuti makan kali ini. Gara-gara Intan jadi serba kaku begini. Si Intan justru tidak merasa bersalah sama sekali. "Hari minggu besok ada acara tidak,Mbak Nita?" tanya Mas Yusuf, bukan mencairkan suasana tapi menambah tegang saja. "Paling ke toko Mas, memangnya ada apa,ya?""Pasti mau ngajak jalan, atau gak mau ke rumah sa