"Selamat pagi...," sapaku pada Maya."Pagi,Mbak Nita, nampaknya lagi berbunga-bunga nih. Ada apa gerangan?""Bukan apa-apa,masuk dulu ya." Kulangkahkan kaki menuju ruangan. "Anita...," ucap Mas Romi saat berpapasan denganku. Ya Allah...Baru ingin menghindar tapi kenapa justru bertemu pagi-pagi begini. Suratan Illahi sepertinya tak berpihak padaku."Iya Pak, ada yang bisa saya bantu?" Kuberikan senyum kaku, ya senyum yang kupaksakan."Tidak ada Nit, bagaimana pembukaan toko pakaian kamu?" tanyanya penasaran.Diam, bingung harus menjawab apa. Mau jujur kalau toko hancur karena Febi tapi takut dikira mengadu domba. Apalagi kalau benar mereka masih bertunangan. Dikiranya aku pelakor lagi. Apa mungkin Mas Romi percaya padaku? Lebih baik jika Mas Romi tau dari orang lain, bukan dari mulutku sendiri."Baik kok Pak,saya permisi ke ruangan saya." Kutinggalkan Mas Romi yang masih diam terpaku menatapku.****Pukul sebelas lebih, tapi berkas laporan masih banyak di meja kerjaku. Rasanya kepal
Kuatur nafas, mengatur irama detak jantung yang tak menentu. Ada rasa bahagia saat mendengar Mas Romi mengungkapkan rasa cinta padaku. Tapi entah kenapa, rasa itu tak lagi sama. Teringat dulu saat dia mengajakku pergi membeli buku hanya berdua. Betapa berbunga-bunga hatiku kalau itu,sampai tak sanggup aku ungkapkan dengan kata. Tapi kali ini rasa itu tak kembali muncul. Hanya rasa bahagia, debarnya pun tak lagi sama. Apa mungkin rasa itu telah berkurang? Atau saat ini aku hanya terobsesi dengan cinta pertamaku. Ah, entahlah ... Hanya Tuhan yang tau. Takku hiraukan ucapan Mas Romi,kulangkahkan kaki menuju pintu. Ku pegang knop pintu, kuputar. Belum sempat pintu itu terbuka, Mas Romi sudah mencengkeram tanganku. "Aw...sakit Mas." Segera Mas Romi melepas cengkramannya. "Tolong jangan pergi menghindariku,Nit. Aku sangat mencintaimu." Matanya sudah berkaca-kaca. "Maaf Mas, orang tuamu tak menyukaiku.Tolong jangan hubungi aku lagi, aku lelah Mas, selalu dibilang menggoda kamu. Aku m
"Nit ... Nita." Indah menepuk pelan pundakku, menyadarkan dari lamunan tentang Mas Deni. "Iya," jawabku dengan air mata yang belum mengering. "Sabar, ini sudah kehendak Illahi. Mau melayat hari ini atau besok. Mungkin satu jam lagi jenazah sudah berada di kediaman Mas Deni.""Besok saja,ini sudah terlalu malam." Kulihat jarum jam sudah menunjukkan angka sebelas. "Besok biar ditemani Intan,ya." Kuanggukan kepala saat mulut ini terasa kelu hanya untuk sekedar menjawab. Merebahkan badan di atas kasur, mencoba memejamkan mata, tapi bayang Mas Deni menari-nari di benakku. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenal Mas Deni, walaupun akhirnya dia tega menancapkan belati di hati.Masih terngiang-ngiang di telingaku, Mas Deni meminta rujuk padaku. Maaf,Mas aku tega padamu, tapi semua karena ulahmu. Kamu menuai apa yang kamu tanam,Mas. ***Intan melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata membelah keramaian ibu kota. Kulihat jam tangan, baru menunjukan pukul delapan pagi. Pemakam
"Mas Yusuf," ucapku kaget. "Mbak Nita apa kabar?" Senyum manis terlukis dari bibir indahnya. "Alhamdulillah baik, seperti yang mas lihat.""Mas Yusuf gak tanya aku gitu? Aduh beneran jadi obat nyamuk nih," ucap Intan kesal. "Ha ha ha...." Aku dan Mas Yusuf tertawa serempak. Sesaat mata kita saling bertemu, Mas Yusuf seperti salah tingkah saat kulihat, rona merah terlihat di pipinya. "Nadia tidak ikut,Mas?" "Nadia sama Omanya,Mbak.""Mbak Nita sama Mas Yusuf cocok lho,buruan Mas Yusuf halalin Mbak Nitanya sebentar lagi masa iddahnya selesai lho."Uhuk... Uhuk.... Ucapan Intan berhasil membuatku tersedak. Intan ada-ada saja dia. Hening, suasana canggung menyelimuti makan kali ini. Gara-gara Intan jadi serba kaku begini. Si Intan justru tidak merasa bersalah sama sekali. "Hari minggu besok ada acara tidak,Mbak Nita?" tanya Mas Yusuf, bukan mencairkan suasana tapi menambah tegang saja. "Paling ke toko Mas, memangnya ada apa,ya?""Pasti mau ngajak jalan, atau gak mau ke rumah sa
Pov YusufAku mengenalnya secara tak sengaja. Pertama melihatnya tak ada rasa. Bagiku dia wanita pada umumnya. Hingga pertemuan kedua kali, entah mengapa Nadia begitu menyukainya.Bahkan memanggilnya mama, padahal sudah kujelaskan bahwa mamanya sudah tenang di surga. Tapi dia tetap kekeh memanggilnya mama. Kulihat wanita itu, ternyata dia begitu lembut dan penyayang, sorot matanya teduh,begitu keibuan, pantas saja Nadia jatuh hati padanya. Bahkan aku jadi mendoakan yang buruk untuknya. Tapi sungguh wanita itu telah mencuri hatiku, padahal namanya saja aku tak tahu. "Bapak...!" teriakan Bik Surti mengagetkanku. "Ada apa,Bik?" tanyaku sambil melangkahkan kaki menuju tempat Bi Surti berada. "Non Nadia panas,Pak," ucapnya sambil berjalan ke kamar putri kecilku. Dengan cepat kuikuti Bu Surti. Telapak tangan kutempelkan di dahi Nadia, benar-benar panas. "Kita bawa Nadia ke rumah sakit,Bik," ucapku sambil membopong Nadia menuju mobil. Bik Surti mengikutiku dari belakang. Sepanjang perj
Ibu ini kalau bicara langsung kepokoknya, tanpa basa-basi. Bagaimana kalau Anita tersinggung. "Saya memang sangat menyayangi Nadia Bu,bahkan sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Nadia sangat mengemaskan ...." Anita menjeda ucapannya. "Tapi untuk menikah dalam jangka waktu dekat, saya belum kepikiran Bu, saya masih ingin sendiri. Masa iddah saya juga belum selesai."Tak bisa kututupi rasa kecewaku dengan jawaban Anita. Tapi mau apa, toh ini keputusannya. Mungkin aku saja yang terlalu berharap padanya. Atau mungkin aku terlalu cepat mengungkapkannya. "Aku akan menunggumu sampai kamu benar-benar siap," ucapku mantap. Anita menganggukkan kepala,sepertinya dia memberi lampu hijau padaku. Alhamdulillah... Aku akan berusaha meluluhkan hatimu.Hari ini akan kunyatakan lagi perasaan ini pada Nita. Semoga saja kali ini dia menerimaku dan segera akan ku halalkan dia.Pukul sepuluh kulajukan mobil perlahan, menyusuri padatnya jalanan ibu kota. Hari ini tak ada jadwal ke pengadilan ma
Pov RomiAku duduk terpaku menatap kepergian Anita, wanita yang benar-benar aku cintai.Tadinya aku sangat berharap dia akan menerima cintaku. Tapi ternyata aku salah. Anita menolakku,dan aku tau alasannya. Karena mama tak merestui hubungan kami, mama pikir janda itu murahan. Sehingga beliau sangat menentang hubungan kami. Bagi Anita sendiri, restu adalah hal utama. Tapi bukankah kita bisa berjuang untuk mendapatkan restu. Aku sangat yakin dengan kelembutan Anita, pasti mama akan luluh juga.Apa kamu tak mencintaiku, Nit? Apa ada orang lain di hati kamu? Kenapa kita tak mencoba dulu? Aku tahu perkataan mama menyakitkan, ingin rasanya aku membelamu kala itu. Tapi aku takut akan menjadi anak durhaka. Bukankah kamu tahu, surgaku ada ditelapak kaki ibuku? Tidakkah kamu mengerti itu? Anita...Nita...! Aku berjalan sambil melamun, beberapa kali hampir terjatuh karena tersandung kursi atau menabrak meja. Ah, aku tak perduli. Sekarang yang ada dipikiranku hanya Anita dan Anita. BRUUUGG... "
Pov AnitaMentari telah bangun dari singgasananya. Memberi kehangatan bagi makhluk hidup di muka buka. Membuka jendela kamar, agar udara segar dapat masuk ke dalam. Kuhirup dalam-dalam pemberian Sang Pencipta. Alhamdulillah... Allah masih memberiku kehidupan sampai saat ini.Kulangkahkan kaki ke kamar mandi, menguyur seluruh tubuh dengar air dingin. Membuat diri ini lebih fresh. Setelah mandi ku poles sedikit bedak dan lipstik di bibir. Sempurna"Bu Inem saya berangkat dulu ya, Assalamu'alaikum ...." Aku berjalan cepat meninggalkan rumah."Waalaikumsalam,Mbak Anita hati-hati di jalan,ya." ucapnya sambil menutup pintu depan. Bu Inem memang selalu menutup pintu saat hanya sendiri di rumah. Maklumlah sekarang banyak orang jahat dimana-mana. Seperti pesan dalam sebuah acara kriminal di salah satu stasiun televisi.Kejahatan bukan hanya karena ada niat tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah...waspadalah...! Begitulah kira-kira pesannya. Kulajukan mobil perlahan membelah padatnya j