Pov YusufAku mengenalnya secara tak sengaja. Pertama melihatnya tak ada rasa. Bagiku dia wanita pada umumnya. Hingga pertemuan kedua kali, entah mengapa Nadia begitu menyukainya.Bahkan memanggilnya mama, padahal sudah kujelaskan bahwa mamanya sudah tenang di surga. Tapi dia tetap kekeh memanggilnya mama. Kulihat wanita itu, ternyata dia begitu lembut dan penyayang, sorot matanya teduh,begitu keibuan, pantas saja Nadia jatuh hati padanya. Bahkan aku jadi mendoakan yang buruk untuknya. Tapi sungguh wanita itu telah mencuri hatiku, padahal namanya saja aku tak tahu. "Bapak...!" teriakan Bik Surti mengagetkanku. "Ada apa,Bik?" tanyaku sambil melangkahkan kaki menuju tempat Bi Surti berada. "Non Nadia panas,Pak," ucapnya sambil berjalan ke kamar putri kecilku. Dengan cepat kuikuti Bu Surti. Telapak tangan kutempelkan di dahi Nadia, benar-benar panas. "Kita bawa Nadia ke rumah sakit,Bik," ucapku sambil membopong Nadia menuju mobil. Bik Surti mengikutiku dari belakang. Sepanjang perj
Ibu ini kalau bicara langsung kepokoknya, tanpa basa-basi. Bagaimana kalau Anita tersinggung. "Saya memang sangat menyayangi Nadia Bu,bahkan sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Nadia sangat mengemaskan ...." Anita menjeda ucapannya. "Tapi untuk menikah dalam jangka waktu dekat, saya belum kepikiran Bu, saya masih ingin sendiri. Masa iddah saya juga belum selesai."Tak bisa kututupi rasa kecewaku dengan jawaban Anita. Tapi mau apa, toh ini keputusannya. Mungkin aku saja yang terlalu berharap padanya. Atau mungkin aku terlalu cepat mengungkapkannya. "Aku akan menunggumu sampai kamu benar-benar siap," ucapku mantap. Anita menganggukkan kepala,sepertinya dia memberi lampu hijau padaku. Alhamdulillah... Aku akan berusaha meluluhkan hatimu.Hari ini akan kunyatakan lagi perasaan ini pada Nita. Semoga saja kali ini dia menerimaku dan segera akan ku halalkan dia.Pukul sepuluh kulajukan mobil perlahan, menyusuri padatnya jalanan ibu kota. Hari ini tak ada jadwal ke pengadilan ma
Pov RomiAku duduk terpaku menatap kepergian Anita, wanita yang benar-benar aku cintai.Tadinya aku sangat berharap dia akan menerima cintaku. Tapi ternyata aku salah. Anita menolakku,dan aku tau alasannya. Karena mama tak merestui hubungan kami, mama pikir janda itu murahan. Sehingga beliau sangat menentang hubungan kami. Bagi Anita sendiri, restu adalah hal utama. Tapi bukankah kita bisa berjuang untuk mendapatkan restu. Aku sangat yakin dengan kelembutan Anita, pasti mama akan luluh juga.Apa kamu tak mencintaiku, Nit? Apa ada orang lain di hati kamu? Kenapa kita tak mencoba dulu? Aku tahu perkataan mama menyakitkan, ingin rasanya aku membelamu kala itu. Tapi aku takut akan menjadi anak durhaka. Bukankah kamu tahu, surgaku ada ditelapak kaki ibuku? Tidakkah kamu mengerti itu? Anita...Nita...! Aku berjalan sambil melamun, beberapa kali hampir terjatuh karena tersandung kursi atau menabrak meja. Ah, aku tak perduli. Sekarang yang ada dipikiranku hanya Anita dan Anita. BRUUUGG... "
Pov AnitaMentari telah bangun dari singgasananya. Memberi kehangatan bagi makhluk hidup di muka buka. Membuka jendela kamar, agar udara segar dapat masuk ke dalam. Kuhirup dalam-dalam pemberian Sang Pencipta. Alhamdulillah... Allah masih memberiku kehidupan sampai saat ini.Kulangkahkan kaki ke kamar mandi, menguyur seluruh tubuh dengar air dingin. Membuat diri ini lebih fresh. Setelah mandi ku poles sedikit bedak dan lipstik di bibir. Sempurna"Bu Inem saya berangkat dulu ya, Assalamu'alaikum ...." Aku berjalan cepat meninggalkan rumah."Waalaikumsalam,Mbak Anita hati-hati di jalan,ya." ucapnya sambil menutup pintu depan. Bu Inem memang selalu menutup pintu saat hanya sendiri di rumah. Maklumlah sekarang banyak orang jahat dimana-mana. Seperti pesan dalam sebuah acara kriminal di salah satu stasiun televisi.Kejahatan bukan hanya karena ada niat tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah...waspadalah...! Begitulah kira-kira pesannya. Kulajukan mobil perlahan membelah padatnya j
Pov RaniHari ini aku akan ke rumah Nita,akan kuminta apa yang menjadi milik Mas Deni. Enak saja dia menikmati sendiri. Mobil itu harus menjadi milikku, bagaimanapun caranya.Kupesan ojek online, lima menit lagi pasti sudah sampai rumah. Sengaja aku tak membawa motor supaya mudah membawa mobil.Aku senyum-senyum sendiri membayangkan pulang membawa sebuah mobil. Pasti ibu sangat senang. Sengaja tak kuberi tahu agar menjadi kejutan untuknya.[Sesuai aplikasi ya,mbak.]Satu pesan dari driver ojol.[Iya Pak.]SendTak berapa lama seorang ojek online berhenti tepat di depan gerbang rumah. Segera aku duduk di jok belakang, motor pun melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya jalan raya.Sepanjang perjalanan tukang ojek selalu mencuri pandang padaku, sering menanyakan hal-hal tak penting. Membuatku ilfeel saja. Ingin rasanya kuhajar dari belakang. Tapi takut urusannya jadi panjang.Dasar tukang ojek genit, tidak bisa melihat wanita cantik!Akhirnya sampai juga di rumah Nita. Segera aku
Aku mendengus kesal, pasalnya apa yang aku rencanakan gatot alias gagal total. Entah Nita sudah menjelaskan atau memang ibunya Yusuf tak percaya padaku. Hari pernikahan mereka sudah dekat tak sampai satu minggu mereka akan sah menjadi suami istri. Aku gak mau ini terjadi. Berfikir, berfikir Rani...! Kuacak rambut yang tak gatal, secepatnya aku harus bisa membatalkan pernikahan mereka. Mas Deni pasti senang kalau Nita menjanda seumur hidupnya. Satu ide gila muncul begitu saja, tapi resiko ini terlalu besar. Kalau sampai aku gagal bagaimana? Tapi ini ide terakhirku, hanya ini satu-satunya cara membatalkan pernikahan mereka. Dua pendapat berlawanan saling beradu di pikiranku. Membuatku harus berfikir matang-matang untuk melakukannya. Tekatku sudah bulat, akan kulakukan apapun untuk membalas iri dan dendamku pada Nita. Bukan Rani namanya jika segitu saja menyerah. Ku ambil ponsel, kucari kontak bernama Roy. Dialah teman semasa sekolah dulu. Yang aku tau sekarang dia menjadi salah
Dari pagi aku sibuk membantu di toko. Merasa tak enak dengan Intan dan yang lain. Karena beberapa hari ini sibuk dan tak sempat ke sini. Laporan keuangan baru sempat kuperiksa tadi pagi. Menjelang hari bahagia, banyak sekali yang harus aku siapkan. Walau badan terasa lelah, tak mengurangi semangat untuk mengurus ini itu. "Tan, ada hijab yang seperti ini warna hitam gak?" tanyaku sambil menyerahkan hijab instan dari tangan kanan. "Saya cari dulu,Mbak." Dia berjalan ke tempat stok hijab berada."Tunggu sebentar ya,Mbak," ucapku pada pembeli yang berdiri di hadapanku. "Iya,Mbak."Kriingg... Kriingg.... Ponsel menyanyi, meminta perhatian dari pemiliknya. "Permisi,Mbak, nanti sama Mbak Intan,ya." Dia mengangguk tanda mengerti maksudku. Segera aku ambil benda pipih yang sedari tadi menjerit-jerit di loker meja kasir. Belum sempat ku angkat ponsel itu diam seketika. Panggilan tak terjawab dari tambatan hati ini. [Sayang, tolong jemput Nadia,ya. Mas mau sidang.]Pesan dari Mas Yusuf, k
"Ran... Rani...!""Sepertinya kosong,Dek.""Mbak Nita,kan?" tanya tetangga Rani. "Iya Bu Tutik, Raninya tidak ada di rumah ya,Bu?""Mbak Nita belum tau ya, setelah Deni meninggal Rani sering tinggal di sana. Anton juga belum pulang lagi setelah meninggalnya Deni." Bu Tutik seperti diam sejenak. "Itu siapa,Mbak? ganteng banget. Pantes saja Mbak Nita minta cerai ya. Kasian ya Deni sampai meninggal gara-gara mikirin,Mbak." sindirnya padaku. Allahu Akbar...Kuelus dada yang terasa sesak. Ada ya orang macam begitu. Belum tahu masalahnya seperti apa sudah menghakim orang saja. "Sudah Sayang, ayo kita pulang." Mas Yusuf menggandeng tanganku. "Permisi,Bu," ucapku sambil berjalan ke arah mobil. Sempat kulirik Bu Tutik, dia masih saja menatapku penuh rasa tak suka. ****"Assalamu'alaikum," salamku saat berada di rumah Alm. Mas Deni. "Waalaikumsalam." Derap langkah sesorang mendekat ke pintu depan. "Anita." Ibu memelukku erat. Tak terasa punggung ini menjadi basah karena air bah mengalir