Dari pagi aku sibuk membantu di toko. Merasa tak enak dengan Intan dan yang lain. Karena beberapa hari ini sibuk dan tak sempat ke sini. Laporan keuangan baru sempat kuperiksa tadi pagi. Menjelang hari bahagia, banyak sekali yang harus aku siapkan. Walau badan terasa lelah, tak mengurangi semangat untuk mengurus ini itu. "Tan, ada hijab yang seperti ini warna hitam gak?" tanyaku sambil menyerahkan hijab instan dari tangan kanan. "Saya cari dulu,Mbak." Dia berjalan ke tempat stok hijab berada."Tunggu sebentar ya,Mbak," ucapku pada pembeli yang berdiri di hadapanku. "Iya,Mbak."Kriingg... Kriingg.... Ponsel menyanyi, meminta perhatian dari pemiliknya. "Permisi,Mbak, nanti sama Mbak Intan,ya." Dia mengangguk tanda mengerti maksudku. Segera aku ambil benda pipih yang sedari tadi menjerit-jerit di loker meja kasir. Belum sempat ku angkat ponsel itu diam seketika. Panggilan tak terjawab dari tambatan hati ini. [Sayang, tolong jemput Nadia,ya. Mas mau sidang.]Pesan dari Mas Yusuf, k
"Ran... Rani...!""Sepertinya kosong,Dek.""Mbak Nita,kan?" tanya tetangga Rani. "Iya Bu Tutik, Raninya tidak ada di rumah ya,Bu?""Mbak Nita belum tau ya, setelah Deni meninggal Rani sering tinggal di sana. Anton juga belum pulang lagi setelah meninggalnya Deni." Bu Tutik seperti diam sejenak. "Itu siapa,Mbak? ganteng banget. Pantes saja Mbak Nita minta cerai ya. Kasian ya Deni sampai meninggal gara-gara mikirin,Mbak." sindirnya padaku. Allahu Akbar...Kuelus dada yang terasa sesak. Ada ya orang macam begitu. Belum tahu masalahnya seperti apa sudah menghakim orang saja. "Sudah Sayang, ayo kita pulang." Mas Yusuf menggandeng tanganku. "Permisi,Bu," ucapku sambil berjalan ke arah mobil. Sempat kulirik Bu Tutik, dia masih saja menatapku penuh rasa tak suka. ****"Assalamu'alaikum," salamku saat berada di rumah Alm. Mas Deni. "Waalaikumsalam." Derap langkah sesorang mendekat ke pintu depan. "Anita." Ibu memelukku erat. Tak terasa punggung ini menjadi basah karena air bah mengalir
Pov RaniNetra ini menatap atas, pandangan pertama hanyalah sarang laba-laba menempel di kayu-kayu penyangga genting yang sudah bocor dimana-mana. Di sudut-sudut rumah, binatang berkaki delapan membuat sarangnya. Lantaipun seperti berhari-hari tak disapu.Ini sih namanya bukan rumah, melainkan kandang.Roy bisa-bisanya tinggal di tempat seperti ini!Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Roy belum juga pulang. Entah kemana dia sekarang. Itu orang selalu hilang tanpa kabar.Kucoba memejamkan mata, guling sana guling sini. Aku tidak bisa tidur dengan kasur keras seperti ini. Ya Tuhan, mana tak ada kipas angin apalagi AC. Kalau bukan karena ingin balas dendam sama Nita mana sudi aku tidur di kandang sapi punya Roy.Nasib-nasib! Terdengar suara mobil memasuki halaman rumah Roy yang sempit. Suaranya terdengar sampai di tempatku membaringkan tubuh.Ah, mungkin itu Roy. Tapi kok suara mobilnya beda ya? Apa jangan-jangan dia ganti mobil kali ya, biar polisi tak bisa melacak kebera
Pov AnitaAlhamdulillahTak henti-hentinya aku bersyukur karena Allah telah mengembalikan Nadia dalam pelukan kami tanpa kurang suatu apapun.Kutidurkan putri kecilku di kasur empuknya. Mengelus rambutnya yang hitam, menghujani pipinya dengan ciuman."Mama, pulang dulu ya sayang." Kuelus pucuk kepalanya."Mama bobog cini,Nadia takut."Netra ini saling beradu dengan netra milik Mas Yusuf. Dia mengangguk, sepertinya tau apa yang hendak ku katakan. Padahal mulut ini belum mengucapkan sepatah katapun.Apa mungkin Mas Yusuf dapat membaca pikiranku?AstaghfirullahAneh-aneh saja diriku ini."Mama cini." Nadia menepuk-nepuk kasur yang ada di sampingnya.Aku tau Nadia pasti trauma dengan kejadian hari ini. Semoga saja dengan aku tidur di sampingnya dapat menenangkan hatinya. Walaupun sejujurnya aku ragu, takut menimbulkan fitnah. Karena aku belum resmi menjadi istri Mas Yusuf.Ku rebahkan badan di samping putri kecilku."Baca doa dulu ya sayang.""Bismillahirrahmanirrahim.Bismika Allahumma a
Pov Romi[Alhamdulillah, Nadia sudah ketemu Rom.]Aku baca pesan Yusuf semalam, Alhamdulilah ucapku bersyukur. Setelah pakaian rapi segera aku turun ke bawah. Mau sarapan rasanya malas, pasti akan berdebat dengan mama hanya karena Anita. Sebenarnya apa kurangnya Anita di mata mama. Dia sholehah, pintar, penyayang. Bukankah wanita seperti itu cocok untuk menjadi ibu dari anak-anakku. "Rom, ayo sarapan dulu," ucap papa. "Romi gak lapar pa, nanti sarapan di kantor saja." "Papa dan mama ingin bicara serius,Nak."Dengan berat hati ku langkahkan kaki ke meja makan. Kalau papa yang meminta rasanya sungkan untuk menolak. Sepotong roti masuk ke dalam perut. "Kapan kamu mau menikah Rom?"Uhuuk... Uhuuk... Ucapan papa mengagetkan diriku, Tak ada angin tak ada hujan, kenapa papa tiba-tiba menanyakan itu? "Mama mau secepatnya kamu menikah dengan Febi!""Romi gak cinta sama Febi,Ma.""Pokoknya mama gak mau tau, kamu harus menikah dengan Febi!""Stop, jangan memaksakan kehendak Mama padaku!
Pov Tante Lisa"Dia hamil Rom," lirih aku bersuara.Seketika Romi menghentikan mobilnya, membuat jantung ini berdebar tak menentu. Sudah tau penumpangnya tak lagi muda, main ngerem mendadak. Untung tidak jantungan."Febi hamil ma? Mama gak salah ngomong,kan?" tanya Romi memastikan."Dokter yang bilang kalau Febi hamil Rom, ternyata mama salah menilai dia" lirih aku berkata. Rasanya malu mengakui kesalahan, tapi kenyataannya aku memang yang salah. Dan untung Tuhan membuka aib Febi sebelum mereka terlanjur menikah."Ya sudahlah ma, nasi sudah menjadi bubur dan untunglah Allah menyelamatkanku dari Febi. Walau pada akhirnya aku tak bisa memiliki Anita."Anita?Apa begitu besar rasa cintanya pada janda itu?Apakah tak ada gadis yang bisa merebut hati Romi?"Apa kamu sangat mencintai Anita, Rom?""Aku sangat mencintainya, dia wanita yang baik penuh dengan kasih sayang. Wanita yang bisa menjaga harga dirinya. Wanita mandiri yang membangun bisnis dari nol hingga bisa berkembang seperti sekara
Aku duduk di depan cermin, melihat diri di dalam cermin. Sambil sesekali perias menambah polesan di wajah. Terasa berat wajahku, mungkin karena berbagai kosmetik menempel. Maklumlah aku jarang berias,paling hanya memoles bedak dan lipstik."MasyaAllah cantiknya," ucap Intan dan Indah serempak."Kamu cocok pakai gaun warna putih tulang, terlihat anggun. Cantik paripurna," ucap Indah lagi.Pipi ini mendadak memerah mendengar ucapan mereka.Indah menggenggam tanganku. "Tangan kamu kok dingin banget Nit?" Netranya terus memindaiku."Aku deg-degan,Ndah. Mas Yusuf lancar gak ya mengucapkannya?""Hahaha ...." Indah dan Intan tertawa serempak.Ya Allah, bukannya menenangkan tapi justru mereka berdua terpingkal-pingkal mentertawakaku.Dasar pada gak ada akhlak!"Ini sudah yang kedua lho mbak, masak iya masih deg-degan ...he he he," ledek Intan.Aku manyunkan bibir ini lima sentimeter, merajuk. Keduanya malah tertawa terbahak-bahak melihat tingkah polahku.Memang benar ini yang kedua untukku d
Tiga bulan usia pernikahan kami. Rasanya baru kemarin Mas Yusuf mengucap janji suci di depan penghulu. Waktu begitu cepat berlalu.Menjalani mahligai rumah tangga dengan Mas Yusuf rasanya bahagia tiada tara. Dia lelaki yang sangat romantis jika bersamaku. Selalu memanjakan diriku. Mungkin benar kata orang, jika seorang wanita menikah dengan lelaki yang tepat. Dia akan diperlakukan seperti ratu. Dan itu yang terjadi padaku."Sayang, tolong ambilkan handuk Mas dong." ucapnya dari dalam kamar mandi.Kebiasaan Mas Yusuf memang seperti itu, lupa membawa handuk saat mandi. Untung kamar mandi terletak di kamar. Coba kalau tidak, pasti repot."Ini Mas." Aku sodorkan handuk saat pintu kamar mandi sedikit dibuka.Tak berapa lama,Mas Yusuf keluar dengan rambut basah. Handuk yang ku berikan melingkar di pinggangnya."Lain kali kalau mandi bawa handuk dong Mas. Untung aku masih di kamar kalau tidak ...." Tak ku lanjutkan kata-kataku."Kalau tidak apa?" Mas Yusuf mendekatkan tubuhnya ke arahku. Tan