Aku masih tak percaya jika harus berada di situasi seperti ini. Duduk di hadapan para pengusaha ternama di Nusantara. Bukan, bukan untuk menjalin sebuah kerja sama. Namun untuk melelang perusahaan yang pernah jaya saat berada di tangan papa. Bayangan kala perusahaan ini masih berdiri kokoh kembali memenuhi pikiran. Rasanya masih tak rela harus melepaskan perusahaan ini. Dila yang duduk tak jauh dariku menatap kami dengan mata berkaca-kaca. Aku tahu, dia juga merasakan hal yang sama. Karena dia sudah mengabdi cukup lama di perusahaan ini. Acara demi acara telah terselenggarakan dengan baik. Kini acara inti akan segera dimulai. Pelelangan perusahaan yang selama ini menopang kehidupanku dan kehidupan karyawan yang bekerja di sana. Pelelangan mencakup semua isi kantor dan yang lainnya. Wicaksana Grup hanya tinggal sejarah. Satu persatu pimpinan perusahaan yang hadir mulai menawarkan harga terbaik menurut versi mereka. Dan kami akan mengambil harga tertinggi yang mampu mereka tawarka
Lagi, kenapa pelayan ini tentang aku dan papa? Jangan-jangan perempuan ini selingkuhan papa. Astagfirullah, kenapa pikiranku jadi sesat seperti ini. "Apa hubungan mbak dengan papa saya?" Tak sabar ingin ku tanyakan masalah ini. Aku tak mau hubungan papa dan mama berantakan hanya karena orang ketiga. "Saya ini ....""Dia itu karyawan papa Rom, dan restoran ini milik papa. Tentu pelayan ini tahu kesukaan papa dan nama kamu." Aku bernafas lega mendengar penjelasan papa. Untunglah, apa yang ku khawatirkan tak pernah terjadi. Hubungan akan hancur jika ada orang ketiga dan itulah yang terjadi denganku dan Febi dulu. Pantas saja semua pelayan tersenyum ramah saat bertemu kami. Lha pemilik restoran ini adalah papa. "Sejak kapan papa mempunyai restoran ini?" tangaku penuh selidik. Papa tersenyum menampakkan gigi putih yang masih terawat. Inikan alasan yang membuat papa tak terlalu sedih saat kehilangan perusahaan meski rasa kecewa ada. Namun tak sebesar rasa kecewa dan sedih yang berta
Pov IntanAku terkejut saat melihat Mas Romi berada di sampingku. Sejak kapan lelaki berhidung mancung ini ada di sini? "Maaf atas sikapku tempo hari karena tak memberi kabar atau membalas pesanmu. Tepat setelah aku dari rumah sakit, perusahaan bangkrut. Jadi aku sibuk mengurus semuanya dan akhirnya mengurus restoran ini. Hingga aku belum sempat menjenguk Bu Halimah lagi."Mas Romi menjelaskan alasan dia tak menanggapi pesan yang ku kirim satu bulan yang lalu. Benarkah yang disampaikan Mas Romi? Tapi kenapa Mbak Anita tak pernah bercerita jika perusahaan Mas Romi bangkrut? Bukankah suami Mbak Anita sepupu Mas Romi? Ah, kenapa aku menjadi ragu seperti ini? "Tidak apa-apa Mas. Itu hak Mas Romi. Harusnya saya yang berterima kasih. Mas Romi berhak tak memberi kabar, toh saya bukan siapa-siapa Mas."Astaga, kenapa justru aku mengatakan jika bukan siapa-siapa Mas Romi. Aduh, nanti dia GR lagi. Pasti dia mengira jika aku menyukainya. Bodoh! Kenapa aku justru keceplosan! Ya Allah, rasanya
Pov RomiKedatangan Indah membuat suasana yang mulanya hangat menjadi sedikit canggung. Entah hanya perasaanku saja atau memang seperti itu. "Isue perusahaan Mas Romi bangkrut apa benar?" tanya Indah. Ku anggukan kepala. Indah terlihat terkejut tapi tidak dengan Intan. Ya, karena Intan sudah tahu lebih dahulu. "Maaf Mas. Bukan maksud saya mengingatkan. Hanya saja saya penasaran kenapa perusahaan sebesar bisa bangkrut dalam hitungan hari." Indah tampak tak enak hati tapi rasa penasarannya cukup tinggi hingga ia bertanya begitu. Berbeda dengan Intan yang lebih diam, tak banyak bertanya. "Biasa masalah persaingan bisnis. Bukankah bangkrut dalam suatu bisnis hal yang biasa?" Aku hanya menjawab sekenanya. Tak mungkin aku menceritakan detail pada orang asing. Meski mereka teman Anita. "Semangat ya Mas, pasti ada jalan lain kok untuk sukses." Indah berusaha menghiburku. Ku lihat Intan yang hanya diam membisu. Ya, sejak kedatangan Indah, wanita yang memakai penutup wajah itu lebih asyik
"Kenapa dengan Yusuf, Pa?" Ku letakkan sendok di atas piring. Kini fokus menyimak setiap kata yang akan keluar dari mulut lelaki yang membesarkanmu dengan limpahan kasih sayang itu. Entah kenapa aku masih saja penasaran dengan kehidupan Anita dengan Yusuf. Meski sering luka yang ku terima setelah mendengarnya. "Besok malam di rumah tante Ningrum akan diadakan tujuh bulanan Anita. Hanya acara pengajian yang dihadiri saudara dan kerabat."Sesak kembali menyelimuti dada. Memang benar, setiap mendengar berita tentang keluarga Yusuf, dadaku terasa sesak. Sakit hati itu lebih tepatnya. Meski aku sudah mengucapkan kata ikhlas tapi nyatanya aku belum juga bisa melakukannya. Kata ikhlas memang mudah tapi tak mudah mempraktekannya. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Hening, tak ada lagi sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Papa dan mama seakan tahu jika diriku tengah merasakan pahitnya cinta. ***Mobil ku parkiran di depan rumah Yusuf karena di halaman rumahnya sudah terpasang ten
Pov Romi"Kami hanya teman," ucap kami serempak hingga membuat mama tersenyum puas. Entah apa yang kini ada di pikiran mama. "Dari teman jadi imam tidak apa-apa kok nak Intan." Mama menggoda Intan. Intan kembali melirikku. Aku yakin di balik cadarnya dia pasti cemberut karena mama bicara seenaknya sendiri. Aku sendiri bingung harus bagaimana. Mama seperti bahagia dekat dengan Intan. Memang aneh, karena mereka baru saja mengenal. Dan mama langsung suka dengan wanita berhijab menjutai itu. Entah magnet apa yang menempel di tubuh Intan hingga mama begitu lengket dengannya. "Ayo ma, acara sudah mau mulai lho." Ku gandeng tangan mama berusaha memisahkan mama dari Intan. Aku yakin jika Intan risih dengan sikap mama. "Ayo Intan, kita duduk di sana!" Mama menggandeng erat tangan Intan. Aku semakin tak enak hati dengan tingkah mama. Aduh! Mama membuat masalah baru dalam hidupku. "Kita duduk di situ saja, Ma!" Ku tarik pelan tangannya. "Kalian kompak sekali ya." Sontak ku lepaskan pegan
Febi kembali mengutak-atik ponsel mahalnya. Berulang kali mencoba menghubungi nomor Viona. Namun panggilan Febi tak juga di angkat. Wanita dengan perut membukit itu berulang kali menarik nafas mencoba menahan rasa sakit yang kadang datang. Ini adalah kehamilan pertama bagi Febi. Dia tak sadar jika rasa sakit yang mendera adalah awal proses kelahiran. Wanita yang memakai daster lengan pendek itu mengira sakit yang ia rasakan karena efek kebanyakan makan sambal tadi malam. Rasa nyeri dan perut keram yang kadang muncul dan hilang adalah salah satu tanda sang bayi ingin segera mengirup udara luar. Ini adalah kehamilan pertama untuk Febi. Tak heran jika ia tak mengetahui rasa nyeri dan kram adalah tanda semakin dekat waktu kelahiran. Sebenarnya kehamilan pertama bukan alasan untuk Febi tak mengetahui tanda-tanda kelahiran. Di jaman yang semakin maju membuat seseorang dengan mudah mendapat informasi perihal apapun termasuk mengenai kehamilan.Rasa benci pada bayi yang ia kandung menjad
"Febi ...," panggilan seorang perempuan menghentikan langkah kedua suster. Dari suaranya aku tahu betul itu milik siapa. "Ri-Rista." Mataku membulat sempurna saat melihat temanku berdiri tepat di samping brankar. Ya Tuhan, kenapa aku harus dipertemukan dengannya di saat seperti ini? Apa yang harus ku katakan dengan kondisiku seperti ini. Mengelak pun tak mungkin lagi. Pasrah, hanya itu yang bisa ku lakukan. "Jadi gosip di luar sana benar ya Feb? Gue gak nyangka lo semurahan itu!"Nyeri di ulu hati kala sahabat sendiri mengatakan diriku wanita murahan hanya karena aku hamil di luar nikah. "Katanya mau balikan sama Romi, tapi kok gak jadi. Ya, pasti dia gak mau nikahin bekas orang,"Apa ini yang namanya sahabat? Tutur katanya sungguh menyayat hati. Rasanya jauh lebih sakit dari kram perut ini. "Sus, saya tidak kuat." Segera dua suster itu mendorong brankar meninggalkan Rista yang masih mematung menatapku. Dua orang suster mendorong brankar melewati koridor dan berbagai ruangan. S