Share

Terlintas

4

Cahya memimpikan hal buruk malam ini hingga ia merasa gelisah dan terbangun tengah malam. Ia melihat suaminya yang terpejam di sampingnya dan ia merasa lega karena semua hanya sebuah mimpi di malam hari.

Cahya turun dari ranjang dan mengambil air wudhu untuk menenangkan hatinya setelah mimpi buruk. Ia menggelar sajadahnya dan melakukan ibadah qiyamullail sebagai sarana pendekatan hati dengan Sang Pencipta.

Cahya berdoa dengan khusuk, meminta dijauhkan hal buruk dari sang suami. Karena tujuh tahun menikah, rasanya berat jika belum diberikan amanah. Meski setiap berdoa dia tidak luput untuk meminta, namun tetap saja hatinya ada yang mengganjal.

Cahya melakukan zikir sampai adzan subuh berkumandang. Bahkan sampai meneteskan air mata sampai hanyut dalam doa.

"Ya, kok nggak nungguin Mas sholat jama'ah bareng?" tanya Hardian.

"Tadi sekalian, Mas. Mas nanti kerja?" tanya Cahya terdengar aneh.

"Ya. Tumben nanya gitu?"

"Habisnya Cahya tadi malam habis mimpi buruk."

"Mimpi apa sih? Sampai tegang gitu?" tanya Hardian mencium pipi Cahya yang tampak khawatir.

"Mimpi Mas nikah lagi. Entahlah, itu terlihat nyata."

Hardian tersenyum. "Masa mimpi nikah lagi? Ah, bunga tidur kamu bawa perasaan."

"Itu kek nyata banget loh. Cahya sampe nangis dan terbangun tadi. Nyesek banget bayangin mimpi tadi, kalau nyata bagaimana. Udah Cahya mau sate aja tuh wanita."

Kali ini Hardian terbahak. Dia merasa lucu dengan ucapan istrinya yang memasang wajah seram.

"Kok ketawa? Emang ada yang lucu?" tanya Cahya heran.

"Habisnya kamu ini, Ya. Mana mungkin kamu mau nyate orang. Lah orangnya aja ada dalam mimpi kamu dan gak mungkin kejadian juga."

"Tapi, Mas. Kalau itu nyata, Cahya nggak akan maafin Mas loh. Seriusan!" seru Cahya.

"Nggaklah. Satu aja dah cukup bahagia. Eh, Mas mau mandi sekalian ya. Hari ini Mas berangkat pagi. Ibu minta Mas buat mampir ambil uang kontrakan yang dititipkan sama Rehan katanya."

"Biasanya Ibu yang ke sini, Mas."

"Mungkin Ibu lagi nggak enak badan."

"Baiklah. Cahya ke dapur dulu buat bikin sarapan ya."

Hardian mengangguk dan pergi ke kamar mandi sedangkan Cahya mengambil baju ganti Hardian kemudian pergi ke dapur untuk menyiapkan keperluan sarapan suaminya.

"Pagi Bu Cahya. Seger amat," sapa Silvia.

"Pagi, Sil. Kok udah di dapur aja? Jam berapa bangun tadi?"

"Jam 3an, Bu. Habis itu nggak bisa tidur lagi dan sepertinya, melakukan aktivitas lebih awal cukup membantu pekerjaan Silvi siang nanti. Hehhehe."

"Rajinnya. Masak apa?"

"Masak semur jengkol. Katanya Bapak mau mampir ke rumah Ibu nanti. Jadi Silvi masak jengkol buat dibawa ke sana."

"Loh, sudah tahu Bapak mau ke rumah Ibu?"

Silvi menelan salivanya. Ia keceplosan mengatakan hal itu, padahal ia hanya samar-samar mendengar lewat telepon Hardian saat baru turun dari mobil.

"Hehehe, maaf, Bu. Silvi nggak sengaja nguping pas Pak Hardian baru turun mobil. Pas Silvi lagi nyiram tanaman, katanya Ibu minta Bapak ke sana."

"Oh. Saya kira Mas Hardian bilang sama kamu."

"Ya nggak mungkin lah, Bu. Lah wong saya hanya ARTnya saja."

Cahya sama sekali tak curiga dengan gerak-gerik Silvia yang aneh. Ia kembali melanjutkan memasaknya dengan Silvia. Bahkan keduanya terlihat sangat akrab.

"Ya, Mas sudah diminta Ibu ke sana. Mas nggak sarapan ya? Bawa ke rumah Ibu aja makanannya. Biar Mas sarapan di sana," ucap Hardian dengan tergesa.

"Baik, Mas. Sudah Cahya dan Silvi siapkan."

Hardian menerima uluran bekal makanan dari tangan Cahya dan mencium kening istrinya sebelum pergi. Ia juga tak lupa mengucapkan terimakasih sebagai sarana menghangatkan hubungannya dengan Cahya agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Mobil sampai di rumah Marta. Jarak yang tidak terlalu jauh dari rumah Hardian, membuat ia segera sampai dalam waktu 10 menit.

"Assalamualaikum, Bu."

"Waalaikumsalam. Nah, datang juga. Sarapan dulu, Nak. Ibu dah masak semur ayam kesukaanmu." Marta mengajak Hardian duduk kursi ruang makan dan menikmati lezatnya semur yang dihidangkan.

"Siapa yang masak semur jengkol ini? Kok enak?" tanya Marta.

"Ya istri Hardian, Bu. Siapa lagi?" jawab Hardian.

"Ah, masa? Rasanya kok lain. Yang ini rasanya enak banget loh kamu mau cobain?"

"Nggak, Bu. Hardian tidak makan jengkol. nanti kasihan lawan bicara Hardian. Kabur semua karena bau jengkol," kelakar Hardian.

"Hahaha, iya juga. Sayang sekali loh, padahal rasanya enak. Lain kali kamu harus coba, Yan."

"Gak lah. nggak suka jengkol dari dulu. Mungkin Cahya yang masakin spesial Ibu."

"Ah, masa? Bukan Silvia?"

Hardian menghentikan makannya sejenak, lalu kembali melanjutkan sarapannya hingga habis.

"Jadi ibu meminta Hardian ke sini untuk apa?" tanya Hardian. Sengaja tadi Hardian membuat alasan akan mengambil uang kontrakan, agar Cahya tidak curiga dengan keinginan ibunya yang memintanya datang tiba-tiba.

"Yan, kamu itu menikah sudah 7 tahun lebih. Ibu sudah tidak bisa menunggu cahaya untuk bisa hamil sedangkan kamu juga tidak mau melakukan bayi tabung," ucap Marta sendu.

"Bukan tidak mau, Bu. Tapi belum ada persiapan untuk itu dan beresiko juga untuk kesehatan Cahya. Hardian Masih memikirkan ulang," ucap Hardian.

"Mau sampai kapan dipikirkan? Kali ini lebih baik kamu dengarkan saran Ibu. Menikahlah dengan Silvi. Dia mantan kekasihmu dulu 'kan? Kamu yang sengaja membawa dia masuk ke dalam rumah itu kan? Kamu kira itu tidak tahu, jika kamu masih ada sesuatu dengan Silvia itu. Sudahlah, Ibu sudah tahu semuanya. Silvia juga sudah mengatakannya sama ibu dan dia menawarkan rahim miliknya kamu gunakan secara cuma-cuma. Dia juga bilang akan mengikhlaskan anaknya nanti untuk kamu dan Cahya asuh. Jadi, kamu tidak perlu menyakiti perasaan Cahya nanti."

Hardian kaget. Tentu Ia tidak menyangka jika ibunya akan tahu apa yang telah Ia sembunyikan.

"Ya. Tapi untuk menikahinya, Hardian tak bisa."

"Kenapa?"

"Karena dia memang sudah menjadi istri siri Hardian sejak satu bulan yang lalu."

Marta kaget. Tentu berikut ini adalah berita yang mengejutkan sekaligus membuatnya merasa lega. Ternyata anaknya selangkah lebih maju ke depan dan ia tidak perlu repot-repot menjadi karakter antagonis kehidupan Cahya dan Hardian.

"Cahya tahu?"

"Tidak. Dia hanya tahu kalau Silvia sedang hamil dan Hardian sudah membujuk Cahya agar mau menerima Silvia sebagai art di rumah dan mengasuh anak Hardian dan Silvia nanti."

"Cahya gak marah?"

"Sempat marah. Tapi Hardian sudah membujuknya dan mengatakan jika Sivia akan pergi setelah melahirkan anak itu. Anggap pemancing Cahya hamil, gitu Hardian bilang dan bersyukurnya Cahya percaya."

"Pintar! Ternyata Ibu tidak sia-sia mempunyai anak sepertimu. Hah, lega rasanya mau punya cucu anak sendiri. Ya sudah sana berangkat kerja. yang semangat mau jadi Ayah jangan loyo, biar masa depan cerah."

Hardian tersenyum dan menjabat tangan pada sang ibu untuk berpamitan pergi bekerja. Meski hatinya bergejolak mengatakan jika ini semua salah, tetapi sebagai anak sekaligus suami ia memang harus memutuskan semua hal dengan cepat sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status