Share

Part 6

Nazwa mengatupkan mulutnya saat mendapati pemandangan yang cukup mengejutkan. Dika bersama Nazwa dalam satu kamar yang sama, terlebih Risa hanya mengenakan handuk membuat sebuah prasangka tersendiri dalam benak Nazwa. 

"Ma-maaf aku sudah mengganggu. Lanjutkan saja, dan jangan lupa tutup pintu kamar," ucap Nazwa sambil mengulum senyum, lalu memberikan isyarat kepada pelayannya untuk segera mendorong kursi rodanya menjauh. 

Dika berdecak, dia beralih menatap Risa yang masih saja tak sadarkan diri. Dengan kesal dia membopong tubuh Risa, dan merebahkannya di ranjang. 

"Bangunlah jalang, dan katakan dengan siapa kamu bercinta!" 

"Hei, siapa yang kamu sebut jalang?!" pekik seseorang dari ambang pintu. 

Dika menegakkan tubuh lalu menghadap ke arah sumber suara, dua pria yang sama-sama berparas tampan itu pun saling beradu pandangan. 

"Apa masalah Anda, Tuan?" tanya Dika sambil menelengkan kepala. 

"Apa yang sudah kamu lakukan, kepadanya?"

Masih dengan tatapan sinis, Arya melangkah mendekati ranjang. Menarik selimut lalu menutupi tubuh Risa, yang hanya terbalut handuk. 

"Apakah, Tuan menikmatinya semalam? Ah, aku yakin itu pasti sangat menyenangkan."

Dahi Arya berkerut, "Apa maksud kamu?"

"Tanda merah di leher, Risa. Itu perbuatan, Anda bukan? Dan saya yakin jika anting yang tertinggal di kantor Anda, itu milik wanita ini!" ucap Dika tegas sambil menyibak rambut Risa, dan menunjukkan jika wanita di hadapan mereka hanya mengenakan satu anting. 

Rupanya, Dika begitu percaya diri. Dirinya yakin jika selama ini Arya, dan Risa benar-benar bermain gila di belakang semua orang. 

"Bagaimana mungkin? Semalaman tentu saya bersama dengan, Nazwa. Bukankah sudah jelas dia bersama siapa pagi ini?" Arya tersenyum penuh kemenangan, tanpa banyak berkata dia berbalik dan hendak keluar dari kamar itu. 

Tidak terima dengan tuduhan Arya, Dika menahannya dengan kasar. Dia mencengkram jas yang digunakan Arya lalu menyudutkannya pada tembok. 

"Jaga sikapmu, kamu lupa di mana kita berada?" ucap Arya dengan nada datar, dan tatapan dingin. 

"Saya tidak melakukan apapun, Tuan!" tegas Dika berdalih. 

Namun, Arya hanya terkekeh mendengar ucapan itu. Melihat raut kesal Dika, satu kebahagian tersendiri bagi dirinya. 

"Jadi kamu ingin mengatakan jika, Nazwa pembohong? Asal kamu tahu, Nazwa sendiri yang mengatakan jika, Dika tengah bersama Risa dalam kamar yang sama. Bahkan, Risa sampai tak sadarkan diri. Wah, sepertinya semalam suntuk kalian bercinta."

Cengkraman Dika semakin kuat, dan Arya hanya menepisnya dengan satu gerakan cepat. 

"Sudahlah jangan mempermalukan dirimu, bukankah semalam kamu masuk ke dalam kamar ini?"

Dika bergeming, napasnya menderu hebat. Jika saja saat ini mereka tak sedang berada di kediaman keluarga besar Bramantyo sudah dapat dipastikan, kepalan tangannya akan melayang ke wajah tampan Arya. 

Risa yang baru saja tersadar, diam-diam mendengarkan perdebatan itu. Dalam hening ia mengumpat dengan keputusan Arya. Namun, satu sisi ia merasa lega. Setidaknya untuk saat ini dia merasa aman, karena pada akhirnya orang-orang akan mengira jika dirinya memadu kasih dengan Dika. 

"Sayang, kenapa kamu marah-marah kepada Pak Arya," celoteh Risa sambil mengubah posisi dari rebahan menjadi duduk bersandar pada bantal. 

Secara bersamaan ke dua pria tampan itu mengalihkan pandangan kepada sumber suara. Dahi Dika berkerut mendengar ucapan Risa, sedangkan Arya tampak mengulum senyuman. 

"Apa kamu bilang, Sayang?" tanya Dika tak percaya dengan kata-kata itu. 

"Apa kamu malu, Sayang? Tidak apa-apa semua sudah terbongkar. Kita tak perlu lagi menyembunyikan hubungan ini," kata Risa sambil tersenyum. 

Dika menggeleng-gelengkan kepala, dia mendekati Risa lalu memaksanya untuk berdiri. 

"Apa ini skenario kalian? Dasar gila!" pekik Dika lalu kembali menghempas tubuh Risa dengan kasar. 

Dengan langkah lebar-lebar Dika bergegas meninggalkan kamar mencari keberadaan Nazwa, dia ingin meluruskan apa yang sebenarnya terjadi. 

"Nazwa, ada yang ingin aku jelaskan bahwa sebenarnya—" ucap Dika dengan napas yang terengah-engah, tapi kata-katanya terhenti saat dia menyadari jika ada seseorang yang kini tengah bersama Nazwa. 

"Hai, Dika. Sepertinya ada hal mendesak yang ingin kamu sampaikan kepada, Nazwa. Silahkan, ucapkan saja," ucap Bramantyo sesaat setelah menyeruput teh hangatnya. 

Dika menelan salivanya susah payah, menatap Bramantyo duduk di sebelah Nazwa membuatnya kehilangan kata-kata. 

"Aku tahu, sebenarnya Kakak gak bermaksud menyembunyikan hubungan kalian, kan?" ucap Nazwa sambil tersenyum. 

"Hubungan, siapa?" tanya Bramantyo sambil menatap ke arah Dika. 

Tanpa sempat mengucapkan hal yang sebenarnya Arya muncul lalu merangkul tubuh Dika. 

"Hubungan dia dengan, Risa yang sepertinya sangat hangat," ucap Arya sambil menoleh ke arah Dika. Dia tersenyum, senyuman yang sarat akan makna. 

"Benarkah itu, Dika?" tanya Bramantyo kembali. 

Dika benar-benar tak dapat berkutik. Dia menatap kepada Nazwa, dan Arya secara bersamaan. 

"I-itu—" 

"Itu benar, Om. Kami saling mencintai," ungkap Risa yang tiba-tiba muncul lalu merangkul lengan Dika mesra. 

Dika terkejut, dia menoleh, dan menatap tajam ke arah Risa yang dibalas sebuah senyuman yang sangat manis. 

"Para bajingan ini! Lihat saja balasanku!" batin Dika, Murka. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status