Risa tersenyum sangat manis, tapi senyuman itu membuat Dika teramat sangat jijik. Dia terus mengumpat di dalam hati, terus merutuki kebodohannya yang dengan mudah masuk ke dalam drama yang diciptakan oleh Arya, dan Risa. "Wah, saya bahagia melihat pemandangan ini. Selamat untuk hubungan kalian," ucap Bramantyo sembari bangkit dari kursi lalu menepuk bahu Dika. Dika masih terdiam, dan saat Bramantyo sudah tak ada dalam jarak pandangannya dia langsung menghempaskan tangan Risa dari lengannya. "Nazwa, dengarkan saya, mereka telah bermain gila di belakangmu," ucap Dika sambil menggenggam tangan Nazwa. Nazwa terkesiap, ia menatap penuh tanya ke arah Arya. Melihat hal itu, Arya bergegas melepaskan genggaman tangan Dika. "Setelah menikmati malam panjang bersama, kamu tega fitnah kami? Apa kamu lupa bagaimana aku begitu kesakitan kamu paksa bercinta sepanjang malam?" ucap Risa lirih, bahkan ia pura-pura menangis. "Hei, jalang, apa yang kamu ucapkan!" pekik Dika, bahkan dia hampir menamp
Risa sangat merindukan hadirnya Arya di setiap malam-malam panjang, yang acap kali membuatnya kesepian. Dan malam ini, harapannya akhirnya bersambut. Risa mencoba membayangkan apa saja yang akan terjadi malam nanti, dan hal itu membuatnya semakin tak sabar. "Aku akan membuatmu melayang, Mas," gumam Risa saat ia menatap dirinya dalam pantulan cermin. Seksi, cantik, dan menggoda. Kesan pertama yang akan selalu Risa tampilkan di hadapan Arya. Maka, saat Arya telah berada dalam dekapannya sudah dapat dipastikan lelaki itu akan terus terbuai dalam gelora yang tak berkesudahan. Risa bergegas ke arah pintu saat ia mendengar suara deru mesin mobil. Senyumannya merekah menatap sosok lelaki bertubuh tegap, dengan dagu terbelah yang membuat gelenyar-gelenyar rasanya semakin terpacu. Pintu terbuka. Tanpa malu-malu Risa berlari ke dalam dekapan Arya, "Kenapa lama sekali?" tanyanya manja. "Kamu sudah tak sabar, Sayang?" tanya Arya, sambil membalas dekapan Risa. Risa tersenyum dan mengangguk
Gaun malam dengan belahan dada rendah, make-up bold, serta rambut yang dibiarkan terurai membuat Risa semakin memesona. Ia berjalan dengan anggunnya menuju tempat di mana pesta itu diadakan. "Selamat malam, Om," sapa Risa anggun kepada Bramantyo yang tengah menyapa tamu bersama Nazwa. Bramantyo terdiam, dia menatap penampilan Risa dengan dahi yang berkerut, begitupun dengan Nazwa yang menatapnya dengan tatapan aneh. "Sstt, Risa kemarilah," bisik Nazwa memberikan isyarat untuk mencondongkan tubuh. "Apa penampilanku aneh?" tanya Risa memastikan. Nazwa mengangguk, ia pun terkekeh saat melihat reaksi ayahnya yang tampak kesal melihat penampilan Risa. "Kamu, pergilah ke kamarku dan ganti pakaian dengan yang lebih tertutup," saran Nazwa berbisik. "Baiklah," ucap Risa mengiyakan, tanpa membuang waktu ia berjalan menjauh dari pesta. Namun, alih-alih mengganti pakaian Risa justru berniat membuat keributan. Ia berjalan menuju taman, merogoh petasan lalu hendak menyulutnya dengan korek a
"Jangan harap bisa melarikan diri dari saya, bajingan!" "Ma-maafkan saya, Tuan."Namun, ungkapan maaf dari pelayan itu hanya membuat amarah Arya semakin memuncak. Arya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, sadar jika posisi mereka tengah berada di tempat terbuka dia kembali menarik tubuh pelayan itu ke tempat yang dirasa aman. Gudang penyimpanan menjadi pilihan Arya, dibantingnya tubuh sang pelayan pada tumpukan kardus-kardus yang tersusun rapi. "Ampun, Tuan. Saya benar-benar tidak sengaja." Dia bersimpuh di hadapan Arya, memohon pengampunan. "Apa ada yang menyuruhmu untuk memata-matai kami?" selidik Arya, dan tak peduli dengan raut ketakutan pemuda di hadapannya. Pelayan itu mendongak, dia menatap Arya dengan sorot mata memelas. "Ti-tidak ada, Tuan. Saya hanya tidak sengaja lewat lalu merekam kalian," jawabnya tergagap. Arya menyeringai. Tiba-tiba dia telah berjongkok di hadapan pelayan itu sambil mencekiknya kuat. "Berikan ponselmu, jika kamu masih ingin hidup!""Po-ponsel
Raut wajah Arya menegang, tapi tidak dengan Risa. Ia justru berjalan menghampiri Bramantyo sambil menyerahkan ponsel kepadanya. "Apa, Om berkenan melihatnya? Tapi, rasanya ini sangat memalukan," ucap Risa, suaranya tercekat dengan mata yang berkaca-kaca. Bramantyo mengambil napas panjang, seperti melepaskan kekesalan yang dirasakannya. Dengan malas dia pun meraih ponsel itu. "Dika, coba lihat rekaman itu untukku," titah Bramantyo sambil memalingkan muka. Arya semakin terkejut, kedua tangannya gatal ingin merebut dan menghancurkan ponsel itu. Tapi, hadirnya Bramantyo di tengah-tengah mereka benar-benar membuatnya mati kutu. "Apakah, Ayah ingin membuat sahabatku malu?" Dengan suara serak Nazwa mulai bersuara. "Tenang saja, Nazwa. Apakah kamu lupa? Aku, dan dia bahkan pernah berbagi ranjang bersama. Jadi jika aku yang melihat rekaman ini, Risa tentu tidak akan keberatan, ya, kan?" sahut Dika sambil menyambar ponsel di tangan Risa. Risa mencebik mendengar ucapan Dika, ia tahu jika
"Hentikanlah sandiwara menjijikan kalian, bodoh!" bentak Dika sambil menghempaskan tubuh Risa ke ranjang. Risa hanya tersenyum sinis, ia menatap dengan tatapan tak suka kepada Dika. "Bukankah kamu pun mencintai, Nazwa? Bagaimana jika kita bekerja sama untuk membuat mereka bercerai?" kata Risa, sambil mengubah posisi tubuhnya dari terbaring menjadi duduk di tepian ranjang. Dika menelengkan kepala dengan pandangan mata menyipit, bahkan tubuh jangkungnya pun turut dicondongkan ke arah Risa. "Apa kamu bilang? Kerja sama untuk membuat, Nazwa dan Arya bercerai?" Risa mengangguk sambil tersenyum, "Bagaimana, apa kamu setuju?" Satu detik kemudian Dika terbahak mendengar ucapan wanita di hadapannya itu. Pertanyaan yang sangat menggelitik, membuatnya tak henti terbahak. "Dasar wanita tak tahu diri, aku memang mencintai, Nazwa. Tapi aku tidak sepicik kamu, dasar cewek murahan," ujar Dika, sesaat setelah dia berhenti tertawa. "Cih naif sekali," kata Risa meledek, ia pun bangkit dan mensej
"Pergilah, biarkan aku sendiri hari ini." Risa menatap sendu, bahkan ia mendorong tubuh Arya agar menjauh dari dirinya. "Apa kamu masih kesal, Sayang?" tanya Arya, tapi Risa masih saja merajuk. Namun, bukan Arya jika dia tak dapat meluluhkan hati seorang wanita. Dia merogoh saku celana lalu meraih sebuah kotak perhiasan berwarna merah muda. "Aku membeli ini sebelum datang kemari, pakailah." Arya membuka kotak perhiasan, kemudian berlutut tepat di hadapan Risa. Risa memicingkan mata, ia menatap sebuah cincin yang tampak familiar baginya. Risa meraih cincin itu, tidak ada senyum di wajah cantiknya hanya cemberut dan semakin merajuk. "Kamu memberiku cincin yang sama seperti cincin milik, Nazwa?" Risa menyimpan kembali cincin dengan kesal, "Pergilah, aku malas mendapatkan barang yang sama seperti milik, Nazwa.Risa mengusir Arya detik itu juga, hatinya kecewa, hatinya sedih, bahkan setelah Arya menghilang dari balik pintu ia menangis. "Tidak bisakah kamu memberikanku barang yang ber
Keingin memiliki Arya seutuhnya begitu kuat Risa rasakan. Aroma maskulin dari tubuh Arya, sikap romantis, serta perhatiannya sungguh membuat Risa tak rela jika ia harus terus berbagi kasih dengan Nazwa. Menjelang malam Risa memutuskan untuk keluar dari rumah, tanpa memberitahu Arya ataupun ditemani oleh sang kekasih. Malam itu ia pergi hanya seorang diri, mencari ketenangan dan berusaha melupakan rasa cemburu yang begitu menyiksa batinnya. "Setelah malam ini, aku akan membuatmu semakin jatuh cinta kepadaku, Mas Arya," ucap Risa sambil terus menenggak beer yang menjadi temannya malam itu. Malam yang yang sangat panjang bagi Risa, entah berapa banyak beer yang sudah ia minum. Satu hal yang pasti kini, wanita itu mabuk parah dan terus meracau tak karuan. "Seharusnya aku yang menjadi, Istri sahmu bukan dia!" pekik Risa sambil melemparkan botol beer ke sembarang arah. Beruntung, ruangan yang ditempati Risa kini merupakan ruangan VVIP jadi tak banyak orang yang melihat perangai anehnya