Audrey duduk di sofa kamar dengan raut wajah yang muram. Wanita itu baru saja mengantarkan Serry ke depan pintu apartemen bersama dengan Xander, namun Audrey lebih dulu masuk ke dalam kamar, meninggalkan Xander—yang sekarang berada di ruang kerjanya karena menerima telepon dari asistennya.Audrey tampak terdiam. Pancaran mata abu-abu wanita itu begitu lemah memendung kesedihan yang mendalam. Dalam benak Audrey memikirkan kejadian tadi, kejadian di mana Audrey menumpahkan cake di baju Serry dan Xander begitu peduli pada Serry. Sungguh, hati Audrey sangat sakit dan sesak. Bahkan tadi Xander sampai membentak dirinya.Audrey sudah berusaha menyingkirkan pikiran negative, tapi Audrey tak bisa dipungkiri Audrey cemburu karena Xander menunjukan peduliannya pada Serry. Kepedulian yang menunjukan melampui batas pertemanan.Tidak! Tidak mungkin! Audrey buru-buru menepis segala pikiran buruk yang menerpa benaknya saat ini. Sejak dulu Audrey sangat percaya pada Xander melebihi apa pun yang ada di
ByurrrrAudrey melompat ke dalam kolam renang. Wanita itu berenang dengan gaya bebas. Audrey begitu hebat dalam berenang. Beberapa gerakan dalam berenang dia kuasai. Cuaca pagi yang cerah, Audrey memilih untuk berenang. Air dingin yang menerpa kulitnya membuat Audrey terasa segar. Rasa penat dan lelah di tubuhnya seakan lenyap. Hingga ketika Audrey sudah puas berenang, wanita itu muncul di permukaan—lalu naik ke tepi kolam. Tepat disaat Audrey sudah naik ke tepi kolam, sudah ada satu pelayan yang memberikan handuk dan bathrobe untuk Audrey.“Terima kasih,” ucap Audrey kala sang pelayan memberikan handuk padanya. Wanita itu pun segera memakai bathrobe dan melilit rambutnya dengan handuk.“Nyonya, tadi Tuan Xander mencari Anda. Beliau juga baru selesai berolah raga,” ujar sang pelayan dengan sopan memberitahu tahu. Audrey.Audrey terdiam beberapa saat. Tadi pagi, Xander bangun lebih awal karena pria itu berolah raga. Sedangkan Audrey pun memilih untuk berenang. Bisa dikatakan pagi ini
Serry menghela napas pelan seraya meremas ponsel di tangannya. Tampak Serry sedikit gelisah. Sudah hampir sepuluh menit setelah Serry mengirimkan pesan untuk Xander, tapi malah Xander tak kunjung muncul. Padahal Serry berharap sekali kalau Xander langsung datang kala dirinya memberi pesan padannya.“Apa Xander tidak datang, ya?” gumam Serry gelisah.Serry mendecakan lidahnya pelan. Ada sesuatu hal menyelinap dalam hati dan pikirannya yang membuat wanita itu tak tenang. Sungguh, Serry merasa tak nyaman akan ini semua.Saat Serry tengah mondar-mandir gelisah; tiba-tiba Serry mendengar suara bell pintu apartemennya berbunyi. Refleks, Serry langsung berlari ke arah pintu dan membuka kenop pintu apartemennya itu.“Xander?” Seketika senyuman di wajah Serry terlukis melihat Xander tiba di hadapannya. Detik berikutnya, Serry menarik tangan Xander masuk ke dalam apartemennya, menutup pintu apartemen—dan langsung memeluk tubuh Xander begitu erat. Pun Xander membalas pelukan Serry tak kalah erat
Raut wajah Xander berubah kala membaca pesan masuk dari Dylan. Pancaran mata Xander menunjukan jelas kobaran kemarahan. Rahangnya mengetat. Sorot mata tajam menakutkan seperti ingin membunuh.“Berengsek!” umpat Xander kasar.“Xander, kau kenapa?” tanya Serry bingung melihat Xander yang begitu marah.Xander tak henti meloloskan umpatan kasar dalam hatinya. Xander tak mengerti kenapa bisa Dylan mengetahui alamat apartemen barunya. Padahal, belum ada satu pun yang tahu alamat apartemen barunya kecuali asistennya sendiri. Bahkan keluarganya ataupun keluarga Audrey belum juga tahu alamat apartemen terbarunya. Tapi kenapa Dylan bisa tahu?“Xander?” tegur Serry kala Xander hanya diam dan tak mengatakan sepatah kata pun padanya.“Serry, aku harus pergi sekarang. Ada hal penting yang harus aku kerjakan.” Xander berucap seraya mengecup kening Serry, namun Serry segera menahan lengan Xander.“Xander, jangan pergi,” pinta Serry yang tak rela Xander pergi.Xander membelai pipi Serry. “Maaf, aku ha
“Xander? Kau sudah pulang?” Audrey tersenyum kala melihat Xander mendekat padanya. Wajah polos Audrey menatap wajah Xander yang jelas menunjukan amarah tertahan. Sorot mata tajam Xander membuat Audrey menciut.Audrey tak mengerti ada apa dengan Xander yang baru saja pulang langsung memasang wajah marah padanya. Sedangkan Dylan yang berdiri di samping Audrey memasang wajah tanpa dosa. Karena memang Dylan merasa tidak bersalah sama sekali.“Kenapa kau tadi berpelukan dengan Dylan?” Xander tak basa-basi pada Dylan. Nadanya dingin penuh tuntutan. Pria itu langsung menegur Audrey, meminta penjelasan pada Audrey.Mendengar pertanyaan Xander membuat Audrey langsung mendekat, dan memeluk lengan suaminya itu, sambil berkata, “Tadi aku mau jatuh, Xander. Beruntung tadi Dylan menangkap tubuhku. Kalau tidak pasti aku akan jatuh.”Mata Xander menatap dingin dan tajam Dylan yang berdiri di hadapannya. Meski sudah mendengarkan penjelasan Audrey tetap saja amarah Xander masih membakar dirinya. Xander
Kening Audrey mengerut, tatapannya semakin menatap bingung Xander. “Aku bukan berpelukan dengan Dylan. Tadi itu aku tersandung dan hampir jatuh. Harusnya malah kau berterima kasih pada Dylan. Kalau saja Dylan tidak menangkap tubuhku pasti aku akan jatuh, Xander.” Audrey berusaha menjelaskan pada Xander.Napas Xander memburu. Menunjukan emosi yang tertahan. Benak Xander terus mengingat kala Dylan memeluk pinggang Audrey. Ditambah Audrey memakai dress tipis dan seksi. Membuat amarah dalam diri Xander terkumpul menjadi satu.“Xander, kau masih marah?” Audrey melangkahkan kakinya kian mendekat pada Xander. Namun, dikala baru saja Audrey tiba di depan Xander; Xander langsung menarik tengkuk leher Audrey, melumat dengan liar bibir Audrey. Refleks, Audrey terkejut kala Xander melumat bibirnya. Ciuman itu begitu agresif hingga membuat Audrey kewalahan.“Xander—” Audrey berusaha mengambil napas di sela-sela ciuman itu.“Kau harus dihukum, Audrey,” bisik Xander penuh ancaman tepat di depan bibi
Xander berdiri di balkon kamar seraya mengisap rokok, dan mengembuskan asap ke udara. Sorot mata lurus ke depan, dengan pikiran yang memikirkan jutaan hal. Tampak raut wajah Xander dingin dan tegas itu seperti kacau karena ada hal yang mengusik pikirannya.Xander menegak whisky-nya. Memejamkan mata singkat. Sungguh, Xander tak pernah mengira amarahnya telah melahap hingga lepas kendali menyentuh Audrey untuk kesekian kali. Xander tak mengerti kenapa dia sampai melampui batas seperti ini.Dinding pertahanan dibangun tinggi seolah runtuh dan tak tersisa. Xander menyadari dirinya tak bisa mengendalikan diri jika sudah berada di dekat Audrey. Ya, mungkin saja semua ini karena posisi Audrey adalah istri resminya. Itu kenapa Xander tak mampu mengendalikan diri.Xander menekan putung rokok ke asbak. Lantas pria itu berbalik, dan hendak masuk ke dalam kamar—di mana Audrey masih terlelap setelah pergulatan panas mereka. Saat Xander tiba di kamar, tatapan Xander melihat Audrey tertidur dengan
“Aw—” ringis Audrey perih kala tubuhnya ditangkap oleh Xander. Tampak Audrey sedikit malu kala tubuhnya ditangkap oleh Xander dalam keadaan telanjang tanpa memakai sehelai benang pun. Meski Xander sudah pernah melihat tubuhnya tapi tetap saja Audrey sedikit malu kalau dalam posisi seperti ini.“X-Xander—”“Masih sakit?” Xander merasa iba melihat Audrey yang meringis kesakitan.Audrey mengangguk lemah. “Iya, masih sakit.”Xander tak banyak bicara. Pria itu bangkit berdiri menggendong tubuh Audrey gaya bridal. Lantas Xander membawa Audrey masuk ke dalam kamar mandi. Sedangkan Audrey hanya patuh kala Xander menggendongnya. Audrey melingkarkan tangannya di leher Xander dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya itu.Saat tiba di dalam kamar mandi, Xander meletakan tubuh Audrey ke dalam jacuzzi. Pun pria itu membantu memberikan aroma sabun susu dicampur lavender di air. Aroma sabun yang kerap dipakai oleh Audrey ketika berendam.“Berendamlah. Aku akan menunggumu di luar.” Xander h