“Xander! Lepaskan aku!” Serry berontak kala Xander menariknya masuk ke dalam ruang kerja pria itu.Xander mendorong tubuh Serry, membenturkan punggung Serry ke dinding. Menghimpit tubuh wanita itu hingga kesulitan bergerak. “Kenapa kau selalu saja tidak percaya padaku, Serry?” serunya menekankan.Serry nyaris tertawa kala mendengar ucapan Xander. “Kenapa aku harus percaya padamu? Kau tidak membalas pesanku. Tidak juga mengangkat teleponku. Kemarin kau pergi begitu saja meninggalkanku. Apa yang kau lakukan dengan Audrey sampai-sampai kau sesibuk itu, Xander?” jawabnya menahan amarah dengan mata yang sudah berkaca-kaca.“Serry, ini tidak seperti yang kau pikir.”“Lalu bagaimana, hah? Kapan kau akan menceraikan Audrey? Kapan, Xander? Kau bilang kau hanya mencintaiku. Tapi kenapa sulit sekali kau melepaskan Audrey?”Xander mengembuskan napas kasar seraya memejamkan mata singkat. “Serry, berikan aku waktu sebentar. Semua ini tidak mudah.”“Semua mudah kalau memang kau hanya mencintaiku. Le
“Audrey! Kau itu kenapa lama sekali? Ini sudah hampir jam 7, Audrey.” Suara Xander berseru meminta Audrey agar cepat. Sudah dua jam Audrey berias di kamar tapi belum juga Audrey muncul.Hal yang paling konyol adalah pesta undangan jamuan makan malam Dylan ada di jam 7 malam. Well, itu sama saja Audrey membuatnya datang terlambat. Padahal Xander paling benci kalau datang ke suatu pesta terlambat. Ini tak berlaku hanya pesta saja tapi memang Xander membenci orang yang tidak bisa datang tepat waktu di sebuah acara.Xander mendecakan lidahnya seraya melirik arloji yang ada di tangannya sekilas. Raut wajah Xander menunjukan jelas rasa kesal dan kemarahannya. Jika dalam lima menit Audrey belum juga muncul; maka Xander akan menarik Audrey keluar dari kamar. Tak peduli Audrey sudah selesai berias ataupun belum.Xander mengatur napasnya seraya memejamkan mata singkat. Jarum jam bergerak cepat menunjukan detik dan menit telah berganti. Hingga ketika, kesabaran Xander telah menipis—pria itu hend
“Anyway, Xander. Apa kau tahu Serry ada di Roma? Hari ini aku mengundang Serry datang ke pestaku. Aku sendiri terkejut saat tahu Serry ada di Roma,” ujar Dylan yang sontak membuat raut wajah Xander berubah.“Kau mengundang Serry?” ulang Xander memastikan.Dylan menganggukan kepalanya. “Ya, aku mengundang Serry. Kemarin, aku tidak sengaja bertemu dengan Serry di supermarket. Ternyata Serry ada di Roma. Jadi aku mengundangnya saja.”“Wah, Dylan! Aku lupa kalau kau juga teman kuliah Xander,” ujar Audrey riang. “Serry kan sekarang menjadi tetanggaku dan Xander, Dylan. Aku sampai lupa bertanya padamu tentang Serry.”“Serry tetangga kalian?” Kening Dylan mengerut, menatap terkejut Audrey.Audrey menganggukan kepalanya. “Iya, Serry tinggal di apartemen yang sama denganku dan Xander. Jarak apartemen Serry dan apartemen kami sangat dekat, Dylan. Oh, ya di mana Serry sekarang, Dylan? Aku tidak melihatnya.”Dylan terdiam beberapa saat tak langsung menjawab pertanyaan Audrey. Lantas, tatapan Dyla
Audrey berdiri di lobby hotel menunggu Xander datang. Jamuan makan malam telah berakhir namun entah kenapa Xander tak kunjung datang. Padahal sebelumnya, Xander sendiri yang bilang pada Audrey untuk menunggu.Audrey menghela napas dalam. Sejak tadi Audrey berdiri di lobby seraya memberikan senyuman pada tamu undangan yang satu persatu mulai pulang. Bisa dikatakan di lobby itu hanya ada beberapa tamu undangan yang diwawancarai oleh para wartawan.Audrey berdiri sedikit jauh dari para wartawan. Pasalnya, Audrey enggan jika harus diwawancarai dalam keadaan hati yang sedang tidak mood. Di hadapan publik, Audrey tetap dipaksa mengulas wajahnya dengan senyuman.Tentu alasannya karena Audrey tidak mau masuk ke dalam buku halaman depan gossip. Ditambah, tadi pun Xander menggendong Serry. Pasti Audrey yakin banyak wartawan yang akan memberitakan hal yang sembarangan.“Audrey? Kau masih di sini?” Dylan terkejut kala melihat Audrey berdiri di lobby hotel.“Iya, aku menunggu Xander,” jawab Audrey
Xander menatap cemas sang dokter yang tengah memeriksa keadaan Serry. Tampak jelas raut wajah Xander menunjukan kekhawatirannya di wajah pria itu. Sepasang iris mata cokelat gelap Xander memancarkan rasa khawatir. Kepanikan yang melanda Xander hingga membuat pria itu melupakan segalanya.Saat sang dokter sudah selesai memeriksa Serry, Xander melangkah mendekat pada sang dokter dengan memberikan tatapan menuntut. “Bagaimana keadaannya?” tanyanya mendesak agar sang dokter menjawab.“Tuan, kondisi Nona Serry baik-baik saja. Tulangnya tidak ada yang patah. Kaki beliau sedikit bengkak karena terpeleset. Saya sudah memberikan resep obat untuk Nona Serry. Bengkak di kaki Nona Serry tidaklah para, Tuan. Pasti akan segera berangsur-angsur membaik,” jawab sang dokter memberitahu.“Kau yakin tidak ada yang serius di kaki Serry?” ulang Xander memastikan. Tatapan pria itu menunjukan bahwa dia ingin sang dokter memastikan kondisi Serry baik-baik saja.“Saya yakin, Tuan. Tidak ada luka serius di kak
“Audrey!” Xander masuk ke dalam apartemennya, dan langsung menuju kamar. Amarah begitu terlihat di wajah pria itu. Bahkan Xander tak memedulikan kala tadi para pelayan menyapanya. Yang Xander inginkan adalah bertemu dengan Audrey. Emosi dalam diri Xander seakan ingin meledak. Ditambah dia ingat bahwa Audrey diantar oleh pria lain.“Audrey!” Xander kembali berseru seraya mengendarkan pandangannya ke sekitar. Menatap kamarnya kosong tak ada Audrey. Padahal tadi Dylan mengatakan sudah mengantar Audrey pulang.“Audrey! Kau di mana!” Xander menelusuri kamarnya, mulai dari walk-in closet hingga ke seluruh ruangan yang ada di kamar megah itu. Namun, tiba-tiba gerak Xander terhenti melihat pintu kamar mandi terbuka.“Xander? Kau sudah pulang?” Audrey melangkah keluar dari kamar mandi. Tubuh wanita itu hanya memakai bathrobe dan rambut yang dililit oleh handuk. Meski kecewa tapi Audrey tetap berusaha menutupi itu. Bahkan Audrey tetap memberikan senyuman pada sang suami.Xander menatap dingin A
Xander menatap wajah polos Audrey yang tertidur dalam pelukannya. Tangan pria itu mulai membelai pipi Audrey, menelusuri setiap inci wajah Audrey. Meski tak memakai riasan wajah, tapi Audrey memiliki wajah yang cantik dan awet muda. Kulit pipinya kenyal dan sehat. Bahkan Audrey tidak memiliki noda sedikit pun di pipinya.Tadi malam, Xander kembali menyentuh Audrey untuk kesekian kalinya. Sungguh, Xander sudah berusaha menahan diri dan ingin berhenti menyentuh Audrey. Tetapi, sayangnya Xander tidak pernah bisa berhenti untuk menyentuh Audrey.Lagi dan lagi, Xander mencumbu Audrey dan berada di dalam Audrey. Gairah hasrat yang tergulung dalam pikiran Xander, mendorongnya melakukan itu. Entah Xander tak mengerti kenapa gairah dan hasrat selalu ada setiap kali melihat Audrey.Xander mengembuskan napas berat. Xander menyadari dirinya telah masuk ke dalam jurang kerumitan. Membuat dirinya terbelenggu dan tak bisa kembali. Di sisi lain, Xander mengingat janjinya pada Serry namun di sisi lain
“Xander, aku berangkat sekarang.” Audrey melangkahkan kakinya mendekat pada Xander yang masih duduk di sofa. Refleks, Xander yang tengah membaca pesan—langsung mengalihkan pandangannya—menatap Audrey.Xander terdiam sejenak melihat dress berwarna kuning terang dengan model tube top yang Audrey kenakan. Dress itu sangat seksi di tubuh Audrey. Xander segera bangkit berdiri—mengambil jaket kulit berwarna hitam milik Audrey yang ada di sofa, lalu memakaikan pada tubuh Audrey sambil berkata, “Di luar dingin, jangan lupa pakai jaketmu.”Audrey tersenyum dan memberikan kecupan di rahang Xander. “Iya, Sayang. Kalau begitu aku berangkat sekarang. Aku janji tidak akan pulang terlambat.”Xander mengangguk singkat merespon ucapan Audrey. Lantas, Audrey mengambil kunci mobilnya yang ada di atas meja dan melangkah meninggalkan Xander yang masih bergeming di tempatnya.Hingga ketika Audrey sudah pergi, Xander pun melangkahkan kaki keluar dari apartemennya. Ya, pesan masuk dari Serry tak mungkin Xand