Keesokan hari, Audrey sudah bersiap-siap akan meeting dengan salah satu perusahaan besar yang merupakan rekan bisnis Spencer Group. Sampai detik ini, Audrey memang belum memberitahu kedua orang tuanya kalau dirinya berada di Roma. Bukan tidak mau, tapi Audrey memilih fokus membantu Dakota lebih dulu. Lagi pula, Audrey yakin pasti anak buah ayahnya sudah melaporkan ayahnya kalau dirinya berada di Roma.“Audrey, ini dokumen yang dibutuhkan di meeting nanti.” Dakota memberikan dokumen yang ada di tangannya pada Audrey.“Siapa nama perusahaan yang menjadi rekan bisnis Spencer Group?” tanya Audrey lagi untuk memastikan.“Ewald Group. Nanti kau akan bertemu dengan CEO Ewald Group yang bernama Frank Ewald,” jawab Dakota memberitahu.“Ewald Group, kalau tidak salah baru-baru ini perusahaan besar itu berhasil memasuki sepuluh besar di Amerika. Benar kan?” tanya Audrey memastikan.Dakota mengangguk. “Tepat sekali. Aku takut salah bicara, Audrey. Nanti malah masalah akan rumit. Bisa-bisa aku aka
“Hi, Audrey. Aku tidak menyangka perwakilan Spencer Group adalah dirimu.” Wanita itu menyapa dengan senyuman yang anggun. Terlihat pancaran mata wanita itu sedikit terkejut melihat Audrey di hadapannya.“Hi, Serry. Aku juga tidak menyangka perwakilan Ewald Group adalah dirimu.” Audrey duduk di depan wanita itu. Nada bicaranya berusaha untuk tenang dan seolah tak peduli.Audrey tak menyangka kalau perwakilan Ewald Group adalah Serry. Kalau saja dia tahu maka dia lebih memilih untuk tidak datang. Meski telah berdamai dengan kenyataan tapi setiap kali melihat Serry tetap saja hati Audrey begitu sesak. Tak mudah berjalan melewati badai.“Ya, aku adalah Direktur pemasaran di Ewald group. Hari ini Tuan Frank Ewald tidak bisa hadir karena beliau memiliki meeting dengan rekan bisnisnya dari Melbourne,” ujar Serry memberitahu. “Anyway, lama tidak melihatmu, Audrey. Kau semakin cantik dan dewasa. Tadi aku sedikit tidak mengenalimu.”“Terima kasih.” Audrey tersenyum tipis begitu professional. Da
Serry menatap Xander yang tengah melajukan mobil dengan raut wajah nampak berbeda. Sejak di restoran tadi, kekasihnya itu lebih banyak diam tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dalam hati, entah kenapa Serry seperti merasakan sesuatu. Sesuatu hal yang sudah lama mengusik hati dan pikirannya. Bahkan membuat keresahan muncul dalam lubuk hatinya terdalam. “Apa kau memikirkan Audrey, Xander?” tegur Serry dengan nada pelan namun tersirat menuntut Xander untuk menjawabnya.Xander terdiam sejenak mendengar pertanyaan Serry. Perlahan, laju mobil Xander diperlambat. Aura wajah dingin melekat. Sepasang iris mata cokelat Xander berkilat memendung sebuah rasa yang bercampur. Marah, kesal, penyesalan, bersalah, semua telah melebur menjadi satu.“Aku dan Audrey dulunya adalah sepasang suami istri. Kalau sekarang kami kembali bertemu, pasti aku memikirkan kabarnya. Selain itu Audrey dan aku tumbuh besar bersama. Jadi hal normal kalau aku memikirkannya,” tukas Xander menegaskan dan penuh penekanan.Se
Cuaca pagi hari begitu dingin akibat salju turun cukup lebat. Jendela apartemen Audrey telah mengumpul salju di sana. Biasanya jika di Jepang, Audrey akan bermain bola salju dengan putra kesayangannya. Namun, kali ini Audrey harus menahan diri tak bermain dengan putranya. Setelah semua pekerjaan selesai di Roma, maka Audrey akan segera kembali ke Jepang.“Audrey! Astaga gawat, Audrey! Matilah aku!” Dakota menerobos kamar Audrey dengan wajah yang begitu cemas dan takut.“Ada apa, Dakota? Kenapa kau berteriak-teriak seperti orang hutan?” Audrey menatap dingin Dakota yang berteriak-teriak tidak jelas.Dakota menggigit kukunya seraya mondar-mandir tidak jelas di hadapan Audrey. Terlihat raut wajah Dakota begitu panik dan cemas. “Audrey, aku baru saja dimarahi Paman Athes. Astaga, Paman Athes tampan kenapa galak sekali? Bagaimana ini, Audrey? Paman Athes marah padaku.”“Ayahku marah padamu? Kenapa, Dakota? Memangnya kau berbuat salah apa sampai ayahku marah padamu?” Kening Audrey mengerut,
Audrey menatap bingung sekaligus sedikit terkejut kala Xander membawanya ke sebuah penthouse asing. Penthouse ini belum pernah Audrey datangi sebelumnya. Pun, Audrey tak mungkin lupa penthouse pribadi milik Xander.Benak Audrey mulai menerka-nerka, mungkin saja penthouse ini adalah penthouse baru Xander. Itu yang ada di dalam benak Audrey. Tak mungkin Xander membawanya ke apartemen yang dulu mereka tempati. Pasti Serry sudah tinggal di apartemen milik Xander itu.“Xander, kenapa kau membawaku ke sini?” tanya Audrey dingin dan sorot mata lekat serta penuh tuntutan pada Xander.“Ini penthouse baruku. Aku tinggal di sini sekarang.” Xander membawa Audrey duduk di sofa, lalu pria itu meminta pelayan membawakan kotak obat.“Tinggal di sini? Kenapa kau pindah?” Raut wajah Audrey berubah mendengar ucapan Xander. Manik mata abu-abu Audrey memancarkan jelas rasa penasarannya.“Karena aku ingin tinggal di sini. Aku ingin mencari suasana baru,” jawab Xander memberitahu seraya menatap hangat Audre
“Aku tidak tinggal dengan Serry. Aku tinggal di sini sendiri. Alasan aku pindah dari apartemen kita ke penthouse ini karena aku ingin tenang. Aku tidak ingin diganggu siapa pun. Hidupku benar-benar merasa kosong saat kau pergi, Audrey,” jawab Xander seraya menatap dalam manik mata abu-abu Audrey.Audrey terdiam mendengar semua kata-kata Xander. Audrey tak mengira kalau ternyata Xander tidak tinggal dengan Serry. “Aku pergi semua karena keinginanmu, Xander. Aku hanya ingin melihatmu bahagia.”Xander memejamkan matanya. “Tapi kenyataannya, aku tidak pernah merasakan kebahagiaan. Semua yang kau pikirkan salah, Audrey.”Mata Audrey nyaris berkaca-kaca. Buru-buru, Audrey segera menyeka air matanya. Audrey tak mau sampai Xander melihatnya menangis. “Aku harus pulang sekarang. Aku tidak bisa berlama-lama di sini.”Audrey bangkit berdiri dan hendak melangkah pergi. Namun, tiba-tiba tubuh Audrey berputar kala Xander menarik tangannya cukup keras. Refleks, Audrey terkejut bahkan dirinya tak bis
Audrey duduk di sofa kamar apartemennya seraya memeluk lututnya. Derai air mata Audrey tak henti berlinang membayangkan kejadian tadi, kejadian di mana Xander bersikap egois bahkan bertindak sesukanya.Ingatan Audrey pun seakan tergali akan masa lalunya. Masa lalu yang telah menghancurkannya. Bertahan di tengah luka hatinya bukanlah hal yang mudah. Rasa sakit yang Audrey alami lebih dari dirinya mendapatkan ribuan luka tusuk.Audrey tak pernah mengira kalau Xander akan terus mengusik hidupnya. Tujuan Audrey berada di Roma hanya karena ingin membantu Dakota menyelesaikan masalah pekerjaan. Tak pernah sedikit pun terbesit dalam pikiran Audrey untuk kembali melihat Xander. Audrey menyadari rasa cintanya pada Xander sangatlah kuat. Namun, cinta itu telah terselimuti rasa marah, kecewa, dan benci.“Apa sebenarnya yang kau inginkan, Xander? Bukankah aku sudah menuruti keinginanmu?” Bahu Audrey bergetar akibat tangisnya yang begitu pilu. Audrey terisak pelan. Sungguh, Audrey membenci dirinya
“Audrey, hari ini kau akan menemui kedua orang tuamu, kan?” Dakota bertanya seraya duduk di samping Audrey yang tengah menikmati sarapan. Wanita itu pun mengambil sandwich tuna yang ada di atas meja, dan memakannya perlahan. Seperti biasa, Dakota dan Audrey sarapan di kamar. Mereka berdua memang kurang menyukai sarapan di ruang makan. Hanya terkadang saja mereka akan sarapan di ruang makan.“Iya, hari ini aku akan menemui keluargaku, Dakota,” jawab Audrey pelan. “Jadwalmu hari ini apa, Dakota? Apa kau sibuk?” tanyanya ingin tahu.“Seperti biasa, aku bekerja dan bekerja. Sangat membosankan. Padahal aku sudah ingin sekali berlibur, tapi ayahku masih belum mengizinkanku berlibur. Lihat saja kalau aku sudah berhasil menyelesaikan pekerjaan dengan baik, aku akan berlibur satu bulan. Aku ingin berjalan-jalan menikmati kehidupanku,” balas Dakota dengan senyuman di wajahnya.Benak Dakota saat ini hanya memikirkan tentang liburan. Dulu memang Dakota terkenal dengan hobby berlibur ke berbagai n