"Jangan lancang kamu, Vanya!"Semua orang menoleh. Nyonya Nia berjalan mendekat ke arah kami dengan wajah merah padam karena murka."Papamu sudah menyerahkan semua aset miliknya padaku!"Vanya masih terlihat tenang menghadapi tiga orang di depannya. Aku hanya bisa melongo menyaksikan itu semua. Apa sebenarnya hubungan mereka berempat?"Papa tidak pernah melakukan itu, Tante!" bantah Vanya. "Aku punya bukti surat wasiat asli yang ditinggalkan Papa pada notaris! Secuilpun kalian tidak punya hak atas semua aset milik Papa!"Nyonya Nia melotot, merampas map dari tangan Dion lalu membacanya. Dengan penuh emosi di merobek dan meremas map itu."Ini cuma, sampah!" Nyonya Nia melempar sobekan map itu ke arah Vanya."Sobek saja, Tante! Itu hanya salinannya. Yang asli masih aman di tangan notaris," ucap Vanya lagi."Berani sekali kamu!" Nyonya Nia melayangkan tangannya pada Vanya, tapi segera kutahan tangannya sebelum sempat menyentuh Vanya."Jangan sentuh istriku, Tante," ucapku sambil menghemp
POV VANYA"Vanya, Papa mau menikah lagi."Aku yang sedang menikmati sarapan dengan Papa, urung menyuap ke mulutku. Aku menatap Papa penuh tanda tanya. Kenapa bisa Papa secepat itu mencari pengganti Mama, sedangkan makam Mama saja belum kering?Papa menatapku seraya tersenyum meyakinkan, seolah tahu apa yang kupikirkan."Kamu tenang saja, istri baru Papa itu sangat baik, dan kamu pasti sudah mengenalnya. Dia punya dua orang anak, dan salah satunya seumuran denganmu. Jadi kamu tidak akan kesepian lagi.""Tunggu dulu, Pa," ucapku selembut mungkin, agar Papa tidak tersinggung dengan ucapanku. "Mama baru saja meninggal dua bulan yang lalu, dan Papa sudah mencari pengganti?"Tiba-tiba raut wajah Papa berubah merah padam. Seperti itulah Papa. Dia tidak pernah sedikitpun bisa bersikap lembut, bahkan pada Mama saat masih ada. Sikap yang sampai membuat Mama sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia beberapa bulan yang lalu."Tau apa kamu tentang Papa, Vanya? Papa sudah kesepian! Apa kamu mau
POV VANYA"Apa yang kamu lakukan, Dion?! Kamu sudah tidak waras!!!""Papamu akan membunuhmu jika tahu!!!"Suara Tante Nia menggelegar ke setiap sudut rumah. Terdengar suara Dion menjelaskan sesuatu. Tidak, itu bukan penjelasan! Itu fitnah! Aku tidak melakukannya!Aku hanya bisa terbaring di atas tempat tidur dengan jiwa dan raga yang terkoyak. Aku tidak bisa berbuat apapun, bahkan tidak bisa berpikir apapun. Entah kemana pikiranku melayang saat ini. Aku hanya bisa menatap kosong ke depan.Seharusnya aku menuntut keadilan!Baru saja belum lama menyeret tubuhku dengan menahan luka yang perih tak terkira, menyambut wanita yang seharusnya bisa kupanggil Mama. Suaraku tak bisa keluar. Aku hanya bisa meraung seraya mencengkeram pakaiannya.PLAK!!!Aku jatuh tersungkur ketika sebuah tamparan justru mendarat di pipiku. Panas, pedih. Tapi tak sebanding dengan pedihnya jiwa dan ragaku ketika kehormatannya baru saja terenggut dengan paksa.Aku yang ingin mendapatkan keadilan dari sosok yang seha
POV VANYAPerlahan aku membuka mata, dan seketika merasakan sakit luar biasa di sekujur badan. Terdengar lantunan suara ayat suci Al-Qur'an yang terdengar begitu merdu di sampingku. Aku lekas sadar kalau telah berada di rumah sakit.Aku menatap seseorang yang begitu khidmat melantunkan ayat suci, sampai tak menyadari jika aku sudah siuman dan kini tengah memperhatikannya. Seorang wanita yang berjilbab panjang dan bercadar. Terlihat dari suaranya, dia sudah masuk usia paruh baya. Tapi siapa dia?Saat ini aku tak peduli. Aku terus mendengarkan ayat demi ayat yang dia baca. Air mataku tanpa sadar mengalir. Ya Allah, betapa dahsyatnya setiap ayat-Mu menyentuh kalbu.Sampai wanita itu membaca ayat penutup, dan menutup mushafnya, hati ini masih bergetar. Betapa selama ini aku jauh dari Al-Qur'an ...."Masyaa Allah, syukur alhamdulilah kamu sudah siuman," ucap wanita itu seraya menatapku.Aku tak menjawab, hanya balas menatapnya dengan penuh tanya."Saya ustadzah Zahra. Saya tak sengaja mene
POV ALDIAku yang mendengarkan kisah Vanya hingga akhir berulang kali menahan napas. Hatiku seperti teriris-iris pisau ketika mendengarnya. Vanya telah mengalami begitu banyak hal, dan dia masih bisa begitu tegar."Sekarang semua terserah padamu, Mas," ucapnya kemudian dengan memilin jari."Mas boleh menceraikan aku setelah tahu semuanya. Tapi ijinkan aku lebih dulu menyelamatkanmu dari pekerjaan."Aku membuang napas, lalu tersenyum. Perlahan aku mendekati wanita yang ternyata begitu kuat di balik semua ketakutannya itu. Kupegang kedua tangannya dengan kedua tanganku. Jemari yang dingin itu terasa bergetar."Sampai seperti ini pun, kamu masih memikirkan tentang diriku, Dek," ucapku.Vanya terlihat membulatkan mata sejenak, lalu menunduk. Kulihat butiran bening mengalir di kedua pipinya."Mas tidak jijik padaku? Aku kotor, Mas ...."Aku tersenyum lagi ketika mendengar ucapannya. Kupegang tangannya lebih erat."Mas juga bukan orang suci, Dek," jawabku pelan."Aku sudah ternoda, Mas. Bah
"Jangan mencoba mengarang cerita lagi, Tante!" ucapku dengan suara meninggi. "Sudah cukup kalian menebar fitnah tentang istriku sebelumnya. Drama apa lagi yang akan kalian lakukan sekarang?"Nyonya Nia tersenyum mengejek lagi."Jadi kamu lebih percaya pada cerita istri sok sucimu itu, Aldi?" tanyanya. "Dia itu munafik! Pintar sekali mengarang cerita."Aku membuang napas kesal, lalu mengambil map yang Nyonya Nia berikan pada Vanya. Ternyata map itu berisi hasil tes DNA, dan tidak ada kecocokan di sana.Aku melirik ke arah Vanya yang masih terlihat shock, lalu menatap ke arah Nyonya Nia lagi."Putri kandung atau tidak, itu surat wasiat yang sah, dan dibuat oleh Pak Hari secara resmi melalui catatan notaris," ucapku kemudian. "Kalian tidak bisa menggangu gugat hal itu.""Bagaimana kami tahu kalau istrimu itu tidak memalsukannya?" Nyonya Nia tampak tersenyum licik."Vanya sudah diusir dari keluarga kami, bahkan Papanya sendiri sudah tidak menganggapnya sebagai anak! Lalu bagaimana mungkin
Kami melihat foto-foto yang ada di sana, dan ternyata itu adalah sebuah foto pernikahan. Foto pernikahan Pak Hari Wicaksono dengan seorang wanita berhijab. Mungkin dia adalah Mamanya Vanya.Selama ini aku memang tidak tahu-menahu tentang keluarga Vanya. Saat menikah, Vanya menggunakan identitas sebagai anak angkat dari Ustadzah Zahra, karena Vanya memang telah yatim piatu. Karena tidak memiliki saudara kandung, akhirnya diwalikan oleh hakim.Aku sama sekali tak menyangka jika Vanya sebenarnya adalah putri kandung dari presiden Direktur perusahaan tempatku bekerja, yang wafat beberapa waktu yang lalu."Itu mamamu, Dek?" tanyaku saat Vanya termenung sambil menatap foto itu.Vanya terlihat tersadar dari lamunan."Iya, Mas," jawabnya kemudian."Cantik sekali. Pantas kamu juga cantik, Dek," ucapku, mencoba mencairkan suasana.Vanya terlihat tersenyum dengan pipi merona mendengar ucapanku. Dia mengambil sebuah foto lagi, kali ini bertiga, yaitu Pak Hari, Mama Vanya, juga seorang wanita lagi
"Kamu ... berani melakukannya, Vanya?" suara Nyonya Nia terdengar bergetar.Vanya menatap Nyonya Nia dengan ekspresi datar."Sebenarnya sebelum masuk ke dalam rumah ini, aku berharap jauh dari dalam lubuk hati Tante akan menyesali semua perbuatan Tante," ucapnya. "Tapi ternyata aku salah. Seharusnya dari dulu aku tidak membiarkan keluarga kalian masuk ke dalam keluargaku lebih dalam. Aku mengutuk diriku yang lemah."Aku ikut terdiam mendengar ucapan Vanya. Aku seakan bisa merasakan betapa pedih hatinya saat dia mengucapkan hal itu."Sekarang tak ada pilihan lain dariku selain menegakkan hukum demi kedua orang tuaku," lanjutnya."Kamu tidak akan berani melakukan itu, Vanya! Kamu tidak akan berani!" Nyonya Nia berteriak histeris sambil mencengkeram kepalanya dengan kedua tangan."Aku membuang napas miris melihatnya. Bahkan sampai seperti inipun, Nyonya Nia tidak menunjukkan sedikitpun penyesalan."Apa-apaan ini?"Kami semua menoleh. Rupanya Tasya baru saja pulang dan langsung berjalan k